Jakarta – Suara demokrasi yang bergemuruh di depan kompleks Parlemen Senayan pada hari Kamis kemarin menyisakan duka yang mendalam. Di tengah riuh rendahnya tuntutan massa, sebuah tragedi memilukan terjadi, merenggut nyawa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online (ojol) yang berada di lokasi unjuk rasa. Peristiwa nahas yang melibatkan kendaraan taktis (rantis) Brimob ini bukan hanya menjadi catatan kelam dalam sejarah aksi massa di ibu kota, tetapi juga menyulut perdebatan sengit mengenai prosedur tetap (protap) pengamanan unjuk rasa dan akuntabilitas aparat di lapangan.
Insiden yang terjadi pada sore hari tersebut berlangsung cepat dan brutal. Menurut kesaksian sejumlah orang di lokasi dan rekaman video amatir yang kemudian beredar luas di jagat maya, Affan Kurniawan terjatuh dari sepeda motornya di tengah kerumunan massa yang mulai memanas. Nahas, pada saat yang bersamaan, sebuah rantis jenis Barakuda milik Korps Brimob Polri melintas di dekatnya. Dalam hitungan detik, kendaraan lapis baja itu melindas tubuh Affan, menyebabkan cedera fatal yang merenggut nyawanya seketika.
Video yang merekam detik-detik mengerikan itu sontak viral, memicu gelombang kemarahan dan simpati dari seluruh penjuru negeri. Tagar berisi tuntutan keadilan untuk Affan menggema di berbagai platform media sosial, mengubah tragedi personal menjadi isu nasional. Publik tidak hanya berduka, tetapi juga mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah kendaraan aparat yang seharusnya berfungsi mengayomi justru menjadi penyebab hilangnya nyawa warga sipil dalam sebuah aksi damai.
Reaksi cepat datang dari pucuk pimpinan Kepolisian Republik Indonesia. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menunjukkan langkah proaktif dengan mendatangi langsung rumah duka pada malam harinya. Di hadapan keluarga Affan yang diselimuti duka, Kapolri menyampaikan belasungkawa mendalam dan permohonan maaf atas nama institusi Polri. Ia berjanji akan mengusut tuntas peristiwa ini secara transparan dan profesional. "Kami akan menindak tegas siapa pun anggota yang terbukti lalai atau bersalah dalam insiden ini. Tidak ada yang akan ditutup-tutupi," tegas Jenderal Sigit di hadapan awak media.
Langkah konkret pun segera diambil. Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri langsung bergerak mengamankan tujuh personel Brimob yang berada di dalam dan sekitar rantis pada saat kejadian. Mereka menjalani pemeriksaan intensif untuk mendalami kronologi peristiwa dari sudut pandang internal, termasuk kemungkinan adanya pelanggaran protap dalam pengendalian massa dan penggunaan kendaraan taktis di tengah kerumunan.
Namun, janji pengusutan tuntas dari Kapolri belum sepenuhnya meredakan amarah publik, terutama dari komunitas ojek online. Solidaritas di antara para pengemudi jaket hijau ini begitu kuat. Ratusan rekan seprofesi Affan secara spontan berkumpul dan mendatangi Markas Komando (Mako) Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat. Mereka menyalakan lilin, menabur bunga, dan menyuarakan tuntutan keadilan. Aksi ini menjadi simbol perlawanan diam terhadap apa yang mereka anggap sebagai arogansi dan kelalaian aparat. "Hari ini Affan, besok bisa jadi siapa saja di antara kami. Kami hanya mencari nafkah, bukan musuh negara," ujar salah seorang koordinator aksi dengan suara bergetar.
Tragedi ini secara tak terhindarkan membuka kembali kotak pandora mengenai protap keamanan dalam menghadapi unjuk rasa. Para pengamat kepolisian dan aktivis hak asasi manusia menyoroti beberapa aspek krusial. Pertama, urgensi evaluasi penggunaan kendaraan berat dan lapis baja di tengah kerumunan massa. Kendaraan seperti rantis memiliki visibilitas yang terbatas bagi pengemudinya (blind spot yang luas) dan sulit untuk bermanuver di ruang sempit, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan fatal di tengah lautan manusia.
Kedua, muncul pertanyaan mengenai eskalasi pengamanan. Apakah kondisi di lapangan saat itu benar-benar sudah memerlukan pengerahan rantis? Apakah pendekatan persuasif dan metode pengendalian massa yang lebih lunak (soft approach) sudah dimaksimalkan sebelum alat berat diturunkan? Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa insiden ini adalah bukti nyata dari pendekatan keamanan yang masih cenderung represif dan kurang mengutamakan keselamatan jiwa warga sipil.
Ketiga, isu akuntabilitas dan transparansi menjadi taruhan utama bagi citra Polri. Proses hukum terhadap para personel yang terlibat harus berjalan terbuka dan adil. Publik menantikan hasil investigasi yang tidak hanya menyalahkan individu, tetapi juga mengevaluasi sistem dan kebijakan yang ada. Jika kasus ini tidak ditangani dengan serius, dikhawatirkan akan semakin menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Di sisi lain, Polri berargumen bahwa kondisi di lapangan saat unjuk rasa seringkali sangat dinamis dan penuh tekanan. Potensi kericuhan yang bisa meluas seringkali memaksa aparat untuk mengambil keputusan cepat dalam situasi yang tidak ideal. Namun, argumen ini tidak bisa menjadi pembenaran atas hilangnya nyawa. Keselamatan warga negara harus tetap menjadi prioritas tertinggi dalam kondisi apa pun.
Kematian Affan Kurniawan adalah pengingat yang menyakitkan bahwa ruang untuk menyuarakan pendapat, yang merupakan pilar demokrasi, harus dijaga keamanannya oleh semua pihak. Bagi masyarakat, unjuk rasa harus berjalan damai dan tertib. Bagi aparat, pengamanan harus dilakukan secara profesional, terukur, dan humanis. Tragedi di simpang jalan demokrasi ini harus menjadi pelajaran mahal bagi Indonesia, agar duka serupa tidak pernah terulang kembali di masa depan. Proses hukum yang adil bagi Affan kini menjadi ujian bagi komitmen negara dalam melindungi setiap nyawa warganya.