Bom Waktu di Balik Jeruji: Krisis Kelebihan Kapasitas dan Gagalnya Rehabilitasi di Lapas Indonesia



Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia saat ini bukan lagi sekadar tempat pembinaan, melainkan sebuah bom waktu kemanusiaan yang terus berdetak. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) secara konsisten menunjukkan angka yang mengerikan: tingkat hunian Lapas dan Rumah Tahanan (Rutan) di seluruh negeri telah melampaui kapasitasnya hingga ratusan persen. Kondisi kelebihan kapasitas yang kronis ini telah menciptakan krisis multidimensional yang tidak hanya melanggar hak asasi para narapidana, tetapi juga secara sistematis menggagalkan tujuan utama dari pemidanaan itu sendiri, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Akar utama dari masalah ini adalah pendekatan hukum pidana Indonesia yang terlalu berorientasi pada pemenjaraan (prison-centric). Setiap tindak pidana, dari yang paling ringan hingga yang paling berat, seolah-olah hanya memiliki satu jawaban: kurungan penjara. Filosofi penghukuman yang bersifat retributif (pembalasan) ini begitu mendominasi sehingga alternatif-alternatif pidana non-pemenjaraan seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau denda yang proporsional menjadi sangat jarang diterapkan oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, penjara menjadi "keranjang sampah" bagi berbagai macam pelaku tindak pidana, tanpa ada pemilahan yang efektif antara pelanggar ringan dan penjahat kelas kakap.

Faktor yang paling signifikan dalam menyumbang kelebihan kapasitas ini adalah perang terhadap narkotika yang bersifat punitif. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana minimalnya yang tinggi, telah menjebloskan ratusan ribu orang ke dalam penjara. Tragisnya, mayoritas dari mereka adalah pengguna atau kurir kelas teri, yang sesungguhnya adalah korban dari sindikat narkotika yang lebih besar. Pendekatan ini gagal membedakan antara pecandu yang seharusnya direhabilitasi dan pengedar yang harus dihukum berat. Alih-alih diperlakukan sebagai pasien yang membutuhkan pertolongan medis dan psikologis, para pengguna narkotika justru diberi stigma sebagai kriminal dan dijebloskan ke dalam sel yang sudah sesak. Kebijakan ini tidak hanya gagal menekan peredaran narkoba secara signifikan, tetapi juga secara langsung menyebabkan penjara-penjara di Indonesia meledak.

Kondisi di dalam Lapas yang kelebihan kapasitas adalah sebuah potret buram dari krisis kemanusiaan. Dalam satu sel yang dirancang untuk lima orang, bisa jadi dihuni oleh dua puluh hingga tiga puluh orang. Mereka harus tidur berdesakan, bergantian, atau bahkan dalam posisi duduk. Sanitasi yang buruk, minimnya akses terhadap air bersih, dan gizi makanan yang tidak memadai menjadi makanan sehari-hari. Kondisi ini merupakan lahan subur bagi penyebaran penyakit menular seperti tuberkulosis (TBC), penyakit kulit, dan berbagai infeksi lainnya. Selain itu, kelebihan kapasitas juga menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa, memicu tingkat stres yang tinggi, dan sering kali berujung pada kekerasan antar-narapidana. Dalam situasi seperti ini, petugas Lapas yang jumlahnya sangat tidak sebanding dengan jumlah narapidana menjadi kewalahan. Mereka tidak mampu melakukan pengawasan dan pembinaan secara efektif, sehingga kontrol di dalam Lapas sering kali diambil alih oleh kelompok-kelompok atau geng narapidana yang lebih kuat.

Dalam ekosistem yang brutal dan tidak manusiawi seperti ini, program rehabilitasi dan pembinaan menjadi sebuah ilusi. Bagaimana mungkin seorang narapidana dapat mengikuti program pelatihan keterampilan jika kebutuhan dasarnya untuk tidur dengan layak dan merasa aman saja tidak terpenuhi? Lapas yang seharusnya menjadi tempat untuk "memasyarakatkan kembali" justru berubah fungsi menjadi "sekolah tinggi kejahatan". Di dalam penjara, narapidana dengan kasus ringan bergaul dengan penjahat kambuhan, mempelajari teknik-teknik kriminal yang lebih canggih, dan membangun jaringan kejahatan baru. Akibatnya, setelah mereka bebas, alih-alih menjadi anggota masyarakat yang produktif, banyak dari mereka yang kembali melakukan kejahatan (residivisme) dengan tingkat keahlian yang lebih tinggi. Lingkaran setan ini terus berputar: kejahatan, penangkapan, pemenjaraan yang gagal, pembebasan, dan kembali melakukan kejahatan.

Untuk memotong lingkaran setan ini, diperlukan sebuah reformasi yang fundamental dan berani. Pertama, harus ada perubahan paradigma dalam kebijakan hukum pidana, dari yang bersifat retributif-punitif menjadi restoratif-rehabilitatif. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru sebenarnya telah membuka ruang untuk ini dengan memperkenalkan alternatif pidana non-pemenjaraan. Namun, implementasinya membutuhkan perubahan mindset yang radikal di kalangan hakim, jaksa, dan polisi. Mereka harus didorong untuk menggunakan pidana kerja sosial atau pidana pengawasan untuk kasus-kasus ringan.

Kedua, dan ini yang paling mendesak, adalah merevisi total UU Narkotika. Harus ada kebijakan dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika. Anggaran yang selama ini digunakan untuk memenjarakan mereka harus dialihkan untuk membangun pusat-pusat rehabilitasi medis dan sosial yang berkualitas di seluruh Indonesia. Penegakan hukum harus difokuskan untuk mengejar bandar-bandar besar dan memutus mata rantai sindikat, bukan mengkriminalisasi para korban.

Ketiga, program reintegrasi sosial harus diperkuat. Pembinaan di dalam Lapas harus benar-benar fokus pada pemberian keterampilan yang relevan dengan pasar kerja. Setelah narapidana bebas, harus ada sistem pendampingan yang efektif melalui Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk membantu mereka mendapatkan pekerjaan, diterima kembali oleh keluarga, dan diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat. Tanpa dukungan pasca-pembebasan, risiko mereka untuk kembali ke dunia kejahatan akan sangat tinggi.

Krisis di dalam Lapas bukanlah masalah internal Ditjenpas semata. Ini adalah cerminan dari kegagalan sistem peradilan pidana kita secara keseluruhan. Jika tidak segera diatasi, Lapas tidak hanya akan terus melanggar hak asasi manusia, tetapi juga akan terus memproduksi residivis yang pada akhirnya menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat itu sendiri. Sudah saatnya kita berhenti melihat penjara sebagai solusi untuk semua masalah sosial dan mulai membangun sistem keadilan yang benar-benar memulihkan dan memanusiakan.


Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama