Paradoks Digitalisasi: Ketika Teknologi Memperlebar Jurang si Miskin Kota



Di etalase-etalase pusat perbelanjaan megah Jakarta, narasi tentang revolusi digital Indonesia terpampang nyata. Startup berstatus unicorn dan decacorn lahir, aplikasi super menawarkan segala kemudahan dalam satu genggaman, dan ekonomi digital digadang-gadang sebagai mesin pertumbuhan baru bangsa. Namun, jika kita bergeser sedikit saja dari gemerlap pusat bisnis ke gang-gang sempit di perkampungan urban, narasi itu mulai terdengar sumbang. Di sana, di tengah masyarakat miskin kota, digitalisasi hadir dengan wajah yang paradoksal: ia menawarkan peluang sekaligus menciptakan jebakan-jebakan baru yang justru memperlebar jurang ketimpangan sosial dan ekonomi.

Salah satu manifestasi paling nyata dari paradoks ini adalah ekonomi gig. Aplikasi ojek online, kurir logistik, dan layanan pesan-antar makanan telah menjadi katup pengaman sosial bagi jutaan orang yang sulit terserap di sektor formal. Ia menawarkan fleksibilitas dan akses instan terhadap pendapatan. Namun, di balik kemudahan itu, tersembunyi sebuah realitas kerja yang prekarius. Para pekerja gig ini disebut sebagai "mitra", sebuah eufemisme yang menempatkan mereka di luar kerangka hukum ketenagakerjaan formal. Mereka tidak memiliki jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan), tidak ada pesangon, tidak ada serikat pekerja yang kuat, dan sepenuhnya bergantung pada belas kasihan algoritma. Algoritma yang mengatur pesanan, tarif, dan insentif adalah "bos" yang tak terlihat, tak bisa diajak bernegosiasi, dan dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan. Ketika tarif diturunkan atau skema insentif diubah, pendapatan mereka bisa anjlok drastis, menjerumuskan mereka ke dalam ketidakpastian ekonomi yang konstan. Mereka terjebak dalam ilusi kebebasan, padahal sesungguhnya mereka adalah pekerja informal digital yang paling rentan.

Masalah kedua adalah kesenjangan digital (digital divide) yang lebih dalam dari sekadar kepemilikan ponsel pintar. Bagi masyarakat miskin kota, akses internet bukan soal ada atau tidak, tapi soal kualitas dan keterjangkauan. Mereka mungkin memiliki ponsel, tetapi sering kali harus berhemat dalam membeli paket data. Koneksi internet yang tidak stabil di permukiman padat membuat mereka kesulitan mengakses layanan yang membutuhkan bandwidth besar. Lebih penting lagi adalah kesenjangan literasi digital. Kemampuan menggunakan media sosial tidak serta-merta berarti mampu memanfaatkan teknologi untuk hal-hal produktif seperti mencari pekerjaan formal, mengakses layanan perbankan digital, atau mendaftar program bantuan sosial pemerintah. Banyak dari mereka, terutama generasi yang lebih tua, merasa terintimidasi oleh antarmuka aplikasi yang rumit dan rentan menjadi korban penipuan online.

Kesenjangan ini menciptakan bentuk eksklusi sosial yang baru. Ketika layanan publik secara masif beralih ke platform digital, mereka yang tidak memiliki akses atau literasi yang memadai akan otomatis tertinggal. Pendaftaran bantuan sosial (Bansos) yang kini banyak dilakukan secara online, layanan kesehatan yang mengharuskan pendaftaran melalui aplikasi, hingga informasi lowongan kerja yang mayoritas disebarkan melalui portal web, semuanya menjadi tembok penghalang bagi kelompok paling rentan. Mereka menjadi "warga negara kelas dua" di era digital, tidak dapat mengakses hak-hak dasar mereka hanya karena tidak terhubung secara digital. Ini adalah ironi yang menyakitkan: teknologi yang seharusnya mempermudah justru menjadi alat diskriminasi baru.

Di sisi lain, digitalisasi juga secara perlahan namun pasti menggerus sektor-sektor ekonomi informal tradisional yang selama ini menjadi sandaran hidup masyarakat miskin kota. Kehadiran e-commerce dan toko-toko online raksasa telah memukul telak para pedagang di pasar tradisional dan pemilik warung kelontong. Mereka kalah bersaing dalam hal harga, variasi produk, dan kemudahan promosi. Pasar-pasar tradisional yang dulu ramai kini semakin sepi, sementara warung-warung kecil di perkampungan kesulitan bertahan di tengah gempuran layanan pesan-antar dari minimarket modern. Para pedagang ini, yang sering kali adalah perempuan dan lansia, menghadapi ancaman kehilangan satu-satunya sumber pendapatan mereka. Proses disrupsi ini terjadi begitu cepat, tanpa ada jaring pengaman sosial atau program alih profesi yang efektif dari pemerintah untuk membantu mereka beradaptasi.

Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan sebuah pendekatan kebijakan yang lebih humanis dan inklusif. Pertama, pemerintah harus segera membuat regulasi yang melindungi para pekerja di ekonomi gig. Status "kemitraan" harus ditinjau ulang untuk memastikan mereka mendapatkan hak-hak dasar sebagai pekerja, termasuk jaminan sosial dan upah yang layak. Kekuatan algoritma harus diatur agar tidak sewenang-wenang dan lebih transparan. Kedua, program untuk mengatasi kesenjangan digital harus diperluas melampaui sekadar pembangunan infrastruktur. Perlu ada program pendampingan literasi digital yang masif dan menyasar langsung komunitas-komunitas miskin kota, dengan materi yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Pemerintah bisa bekerja sama dengan komunitas lokal, PKK, atau karang taruna untuk menjalankan program ini.

Ketiga, harus ada kebijakan afirmatif untuk melindungi dan memberdayakan ekonomi informal tradisional. Pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi pedagang pasar untuk go-digital, misalnya dengan membuat platform e-commerce kolektif untuk pasar tradisional atau memberikan pelatihan fotografi produk dan pemasaran digital. Subsidi atau bantuan modal juga perlu diberikan kepada warung-warung kecil agar mereka bisa tetap kompetitif. Terakhir, digitalisasi layanan publik harus diimbangi dengan tetap mempertahankan layanan luring (offline) yang mudah diakses bagi mereka yang membutuhkan. Tidak boleh ada seorang pun warga negara yang kehilangan haknya hanya karena tidak memiliki ponsel atau tidak bisa menggunakan aplikasi.

Digitalisasi adalah keniscayaan, tetapi arahnya bisa kita tentukan. Jika dibiarkan berjalan tanpa intervensi kebijakan yang berpihak pada yang lemah, ia hanya akan menjadi mesin pencipta ketimpangan yang efisien. Namun, jika dikelola dengan bijak dan berlandaskan prinsip keadilan sosial, teknologi dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan. Pilihan ada di tangan kita.


Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama