Di panggung-panggung politik Indonesia, dari kampanye pemilihan presiden hingga pidato kenegaraan, "swasembada pangan" adalah sebuah mantra sakti. Para politisi dengan lantang menyuarakan janji untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat di atas pangannya sendiri, tidak bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan perut rakyatnya. Namun, di balik retorika nasionalistis yang membara itu, tersembunyi sebuah ironi yang pahit: Indonesia, sebuah negara agraris yang sering dijuluki sebagai lumbung padi, justru semakin terperosok dalam jurang ketergantungan pada impor untuk komoditas-komoditas pangan strategis.
Ketegangan antara cita-cita swasembada dan realitas impor ini bukanlah fenomena baru, melainkan sebuah drama politik-ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Kebijakan pangan nasional sering kali terjebak dalam siklus yang tidak konsisten dan sarat dengan kepentingan jangka pendek. Ketika musim panen raya tiba dan produksi domestik melimpah, pemerintah sering kali terlambat dalam menyerap gabah petani, menyebabkan harga di tingkat petani anjlok. Para petani, yang telah berjuang melawan hama, perubahan iklim, dan mahalnya biaya produksi, harus menelan pil pahit karena jerih payah mereka tidak dihargai dengan layak. Namun, beberapa bulan kemudian, ketika pasokan di pasar mulai menipis dan harga beras di tingkat konsumen merangkak naik, pemerintah dengan sigap membuka keran impor sebagai solusi instan untuk meredam inflasi dan gejolak sosial di perkotaan.
Kebijakan "pemadam kebakaran" ini menunjukkan adanya sebuah dilema struktural. Di satu sisi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas harga pangan bagi 270 juta lebih konsumen, yang mayoritas sensitif terhadap kenaikan harga beras. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki mandat untuk menyejahterakan jutaan petani yang menjadi tulang punggung produksi pangan nasional. Sayangnya, dalam praktiknya, kepentingan konsumen perkotaan sering kali lebih diutamakan daripada kepentingan produsen di pedesaan. Impor, yang seharusnya menjadi pilihan terakhir, justru sering kali menjadi jalan pintas yang paling mudah.
Persoalan ini menjadi semakin rumit karena adanya permainan kepentingan di sekitar kebijakan impor. Proses penentuan kuota impor, penunjukan importir, dan distribusi komoditas impor adalah area abu-abu yang sangat rentan terhadap praktik perburuan rente (rent-seeking). Kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki koneksi politik yang kuat, yang sering disebut sebagai "mafia pangan", diduga bermain di area ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari selisih harga impor dan harga jual di pasar domestik. Mereka memiliki insentif untuk terus mendorong kebijakan impor karena di situlah keuntungan besar berada. Akibatnya, kebijakan pangan tidak lagi murni didasarkan pada data kebutuhan dan produksi riil, tetapi telah tercemar oleh lobi-lobi politik dan kepentingan bisnis segelintir elite.
Di tingkat petani, dampak dari kebijakan yang tidak berpihak ini sangat terasa. Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur terus terjadi secara masif tanpa bisa dikendalikan. Regenerasi petani berjalan sangat lambat; anak-anak muda di pedesaan tidak lagi melihat profesi petani sebagai pilihan hidup yang menjanjikan. Mereka lebih memilih untuk urbanisasi dan bekerja di sektor informal perkotaan. Petani yang tersisa adalah mereka yang semakin menua, dengan penguasaan teknologi yang terbatas dan akses yang minim terhadap permodalan, pupuk bersubsidi yang sering langka, dan pasar yang adil. Program-program ambisius seperti Food Estate, yang bertujuan untuk menciptakan lumbung pangan baru dalam skala besar, sering kali menghadapi tantangan ekologis dan sosial yang kompleks, dan hasilnya masih jauh dari harapan untuk bisa menggantikan penurunan produksi di lahan-lahan pertanian tradisional.
Ketergantungan ini tidak hanya terjadi pada beras. Untuk komoditas seperti kedelai, yang merupakan bahan baku utama tahu dan tempe—makanan rakyat sehari-hari—tingkat ketergantungan pada impor bahkan mencapai lebih dari 90%. Hal yang sama juga terjadi pada gula, bawang putih, dan daging sapi. Situasi ini sangat berbahaya bagi ketahanan nasional. Ketika terjadi gejolak di pasar global, krisis geopolitik, atau negara eksportir utama memberlakukan larangan ekspor, pasokan pangan domestik Indonesia akan sangat terancam, dan harga-harga akan melonjak tak terkendali. Kedaulatan pangan yang selama ini didengungkan ternyata hanyalah sebuah ilusi.
Untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia membutuhkan sebuah perombakan total dalam politik ketahanan pangannya. Paradigma harus bergeser dari sekadar mengejar "swasembada" yang sering kali bersifat seremonial, menjadi pembangunan "kedaulatan pangan" yang substantif. Kedaulatan pangan berarti menempatkan hak petani untuk memproduksi pangan dan hak rakyat untuk mengakses pangan yang sehat dan bergizi sebagai pusat dari seluruh kebijakan.
Langkah konkret yang harus dilakukan adalah, pertama, memberikan perlindungan maksimal terhadap lahan pertanian yang ada melalui penegakan hukum yang tegas terhadap alih fungsi lahan. Kedua, investasi besar-besaran harus diarahkan pada modernisasi pertanian di tingkat petani kecil, bukan hanya pada proyek-proyek skala korporasi. Ini mencakup penyediaan benih unggul, teknologi irigasi yang efisien, kemudahan akses terhadap kredit usaha rakyat (KUR), dan jaminan ketersediaan pupuk bersubsidi. Ketiga, tata niaga pangan harus direformasi secara radikal. Peran Bulog harus diperkuat sebagai penyangga (buffer stock) nasional yang proaktif menyerap hasil panen petani dengan harga yang menguntungkan, dan rantai distribusi harus dipangkas untuk mengurangi disparitas harga antara petani dan konsumen. Transparansi dalam kebijakan impor harus ditingkatkan, dan praktik perburuan rente harus diberantas tanpa pandang bulu.
Pada akhirnya, mencapai kedaulatan pangan bukanlah tugas yang mudah. Ini adalah sebuah perjuangan politik yang panjang untuk melawan kepentingan-kepentingan mapan. Namun, tanpa keberanian untuk melakukan perubahan fundamental ini, Indonesia akan selamanya menjadi bangsa yang ironis: sebuah raksasa agraris yang nasib perut rakyatnya ditentukan oleh pasar global.