"Bubarkan Saja DPR!" – Gampang Diucapkan, Tapi Apa Akibatnya?



Kalimat "Bubarkan saja DPR!" mungkin pernah terlintas di benak kita, atau setidaknya kita dengar dari obrolan di warung kopi hingga media sosial. Rasanya wajar, apalagi kalau kita baru saja melihat berita tentang anggota dewan yang tersandung korupsi, rapat yang kosong, atau produk undang-undang yang kontroversial. Gemas, kesal, dan rasanya lembaga itu tidak mewakili suara kita sama sekali.

Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan benar-benar membayangkan: apa yang akan terjadi kalau besok pagi kita bangun dan DPR benar-benar sudah tidak ada?

Sebelum kita berandai-andai lebih jauh, ada satu fakta penting yang harus kita pegang: Presiden di Indonesia tidak punya kuasa untuk membubarkan DPR. Titik. Konstitusi kita, UUD 1945, sudah mengunci posisi keduanya agar setara. Ini bukan sistem parlementer di mana perdana menteri bisa membubarkan parlemen. Di sini, Presiden dan DPR ibarat dua pilar utama yang saling menopang sekaligus mengawasi. Kalau satu pilar dirobohkan, seluruh bangunan negara bisa ambruk.

Namun, mari kita coba masuk ke skenario "gila" di mana pembubaran itu terjadi. Entah karena krisis politik yang luar biasa parah atau ada perubahan konstitusi besar-besaran. Apa dampaknya?

Jangka Pendek: Kekacauan di Depan Mata

Begitu DPR dibubarkan, efeknya akan langsung terasa dan mungkin tidak seperti yang kita bayangkan.

  1. Negara ‘Mogok Kerja’ Gedung parlemen yang kosong artinya tidak ada lagi yang membuat undang-undang. Padahal, roda pemerintahan berputar di atas rel UU. Mau menaikkan upah minimum? Perlu UU. Mau membangun ibu kota baru? Perlu UU. Tanpa DPR, semua rencana besar pemerintah akan mandek.Yang paling fatal adalah soal anggaran negara (APBN). Setiap tahun, pemerintah dan DPR "bertarung" ide dan data untuk menyusun APBN. Tanpa persetujuan DPR, pemerintah tidak punya dasar hukum untuk membelanjakan uang negara. Gaji PNS, guru, polisi, dan tentara bisa macet. Proyek jalan tol yang lagi dibangun? Mandek. Subsidi BBM dan listrik? Bisa-bisa dicabut karena tidak ada payung hukumnya. Negara bisa lumpuh secara finansial.
  2. Presiden Menjadi ‘Raja Kecil’ Untuk mengisi kekosongan, Presiden terpaksa akan terus-menerus mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Awalnya mungkin terlihat efisien, karena semua keputusan bisa diambil cepat tanpa perdebatan panjang di Senayan.Tapi ini adalah jebakan berbahaya. Tidak ada lagi yang mengawasi, mengkritik, atau menolak kebijakan Presiden. Semua keputusan hanya berdasarkan satu sudut pandang. Fungsi checks and balances—jantungnya demokrasi—berhenti berdetak. Perlahan tapi pasti, kekuasaan akan terpusat di satu tangan, dan ini adalah jalan tol menuju pemerintahan yang sewenang-wenang.

Jangka Panjang: Menggali Kubur untuk Demokrasi

Jika kondisi tanpa parlemen ini berlanjut, dampaknya akan mengakar dan merusak fondasi negara.

  1. Hilangnya Suara Rakyat (yang Sesungguhnya) Seberapapun kita tidak suka dengan DPR, di sanalah satu-satunya tempat semua suara—dari Sabang sampai Merauke, dari partai besar hingga kecil, dari yang pro-pemerintah hingga oposisi—berkumpul dan beradu argumen secara resmi. Mungkin prosesnya berisik dan sering tidak ideal, tapi itu lebih baik daripada semua suara dibungkam.Tanpa DPR, aspirasi jutaan rakyat Indonesia tidak punya wadah. Siapa yang akan memperjuangkan nasib petani di desa terpencil? Siapa yang akan memprotes kebijakan yang merugikan buruh? Pemerintah akan berjalan tanpa mendengar kritik dan masukan yang beragam.
  2. Selamat Tinggal, Demokrasi Sejarah dunia sudah membuktikan: langkah pertama menuju kediktatoran sering kali diawali dengan pelemahan atau pembubaran parlemen. Ketika lembaga perwakilan rakyat sudah tidak ada, penguasa bisa berbuat apa saja tanpa takut diganggu.Membangun kembali lembaga demokrasi dari nol setelah dihancurkan adalah pekerjaan yang luar biasa sulit. Butuh pertumpahan darah, reformasi, dan waktu puluhan tahun untuk bisa kembali seperti semula. Risiko ini terlalu besar untuk dipertaruhkan hanya karena kekesalan sesaat.

Jadi, Apa Solusinya?

Rasa frustrasi terhadap DPR itu valid. Tapi, membubarkannya ibarat mengobati sakit kepala dengan cara memenggal kepala. Masalahnya tidak selesai, malah menimbulkan bencana yang lebih besar.

Solusinya bukan dengan merobohkan rumahnya, tapi dengan memperbaiki isinya. Caranya?

  • Pilih dengan Cerdas: Saat pemilu, jangan lagi memilih karena uang atau popularitas semata. Cari tahu rekam jejak calon wakil rakyat kita.
  • Awasi Terus-menerus: Setelah mereka terpilih, jangan ditinggal. Awasi kinerjanya, kritik kebijakannya melalui media sosial, petisi, atau bahkan demonstrasi yang tertib.
  • Perkuat Sistem: Dorong reformasi partai politik dan hukum agar proses seleksi calon anggota dewan lebih ketat dan transparan.

Memperbaiki DPR memang butuh waktu, kesabaran, dan energi kolektif. Jauh lebih sulit daripada sekadar berteriak "bubarkan!", tapi inilah satu-satunya jalan untuk menjaga demokrasi kita tetap hidup dan sehat.


Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama