JAKARTA – Di tengah hiruk pikuk politik nasional, sebuah perjuangan senyap namun krusial tengah berlangsung di dalam ruang-ruang rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan. Perjuangan itu bernama revisi kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Setelah lebih dari satu dekade menjadi momok bagi kebebasan berekspresi, pemerintah dan DPR kini berpacu dengan waktu untuk menuntaskan revisi yang dijanjikan akan lebih berkeadilan. Namun, jalan menuju reformasi sejati ternyata lebih terjal dari yang dibayangkan, dipenuhi perdebatan sengit mengenai definisi, niat, dan masa depan ruang digital Indonesia.
Fokus utama dari revisi ini tertuju pada serangkaian "pasal karet" yang selama ini menjadi biang keladi kriminalisasi. Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA adalah dua pasal yang paling sering memakan korban. Data dari SAFEnet, organisasi pembela hak-hak digital, menunjukkan bahwa sejak UU ITE diberlakukan hingga akhir tahun 2023, lebih dari 780 orang telah terjerat oleh pasal-pasal ini, dengan spektrum korban yang sangat luas, mulai dari aktivis, jurnalis, hingga warga biasa yang mengeluhkan layanan publik di media sosial.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menegaskan bahwa pemerintah memiliki itikad baik untuk mengakhiri era kriminalisasi ini. "Spirit revisi ini adalah untuk membersihkan UU ITE dari interpretasi liar. Hukum harus menjadi pelindung, bukan alat untuk membungkam. Kami ingin memastikan bahwa kritik yang membangun terhadap pemerintah atau badan publik tidak bisa lagi dipidanakan dengan pasal pencemaran nama baik," ujarnya dalam sebuah diskusi publik beberapa waktu lalu.
Salah satu terobosan utama yang diusulkan dalam draf revisi adalah penguatan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Konsep ini mengedepankan mediasi dan pemulihan hubungan antara pelapor dan terlapor, alih-alih langsung menempuh jalur pidana. Nantinya, laporan terkait pencemaran nama baik tidak akan bisa langsung diproses oleh kepolisian sebelum melalui upaya mediasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Jika mediasi berhasil dan terlapor bersedia meminta maaf atau melakukan klarifikasi, maka kasus tersebut akan dihentikan.
Dr. Herlambang P. Wiratraman, seorang pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga, menilai langkah ini sebagai kemajuan signifikan. "Keadilan restoratif adalah napas dari hukum pidana modern. Ini menggeser paradigma dari penghukuman (retributif) menjadi pemulihan (restoratif). Untuk delik aduan seperti pencemaran nama baik, ini adalah pendekatan yang paling tepat. Ini akan mengurangi beban sistem peradilan dan, yang lebih penting, mencegah penjara diisi oleh orang-orang yang sebenarnya hanya salah paham atau kurang bijak dalam berekspresi," jelasnya.
Namun, di sisi lain, kalangan masyarakat sipil masih menyimpan kekhawatiran. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, mengingatkan bahwa implementasi keadilan restoratif tidak akan mudah. "Siapa yang akan menjadi mediator? Bagaimana memastikan mediator tersebut benar-benar netral dan tidak berpihak? Tanpa pedoman teknis yang jelas dan pengawasan yang ketat, mekanisme ini bisa menjadi alat baru untuk menekan korban agar 'berdamai' di bawah tekanan," ujarnya.
Kekhawatiran lain muncul dari perumusan ulang pasal-pasal itu sendiri. Meskipun ada upaya memperjelas definisi "pencemaran nama baik" dengan merujuk pada KUHP, beberapa frasa dalam draf revisi masih dianggap ambigu. Misalnya, frasa "mendistribusikan informasi yang menyerang kehormatan seseorang" masih bisa ditafsirkan secara luas. Para aktivis khawatir, tanpa definisi yang sangat ketat dan limitatif, pasal ini akan tetap menjadi pasal karet dalam wujud yang baru.
Perdebatan di DPR pun tidak kalah sengit. Anggota Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan, Anton Sukartono, menyatakan dukungannya terhadap revisi, namun menekankan pentingnya menjaga "ketertiban sosial" di ruang digital. "Kebebasan berekspresi itu tidak absolut. Harus ada batasnya. Revisi ini harus bisa menyeimbangkan antara melindungi hak individu untuk berbicara dan mencegah penyebaran hoaks, fitnah, serta ujaran kebencian yang bisa memecah belah bangsa," katanya.
Pandangan ini mencerminkan tarik-menarik kepentingan yang klasik dalam perumusan undang-undang: antara kubu yang pro-kebebasan sipil dan kubu yang lebih mengutamakan keamanan dan ketertiban. Hasil akhir dari revisi ini akan sangat bergantung pada kubu mana yang memiliki pengaruh lebih kuat selama proses pembahasan.
Kisah Anita, bukan nama sebenarnya, seorang ibu rumah tangga di Jawa Tengah, menjadi cerminan nyata betapa destruktifnya UU ITE. Pada tahun 2022, ia divonis 6 bulan penjara karena mengunggah keluhan di Facebook mengenai dugaan malapraktik di sebuah klinik lokal. Laporannya dianggap mencemarkan nama baik klinik tersebut. "Saya hanya ingin mencari keadilan untuk anak saya. Saya tidak tahu kalau tulisan saya bisa membawa saya ke penjara. Trauma itu masih ada sampai sekarang," tuturnya dengan suara bergetar.
Bagi Anita dan ratusan korban lainnya, revisi UU ITE adalah harapan. Harapan agar tidak ada lagi orang yang harus merasakan dinginnya lantai penjara hanya karena sebuah status di media sosial. Masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia kini berada di ujung pena para legislator di Senayan. Apakah revisi ini akan menjadi fajar baru bagi demokrasi digital, atau sekadar tambal sulam yang tak mengubah substansi, waktu yang akan menjawabnya.