SURABAYA – Di balik gemerlap gedung-gedung pencakar langit dan denyut ekonomi kota-kota besar di Indonesia, ada sebuah krisis senyap yang menggerogoti kesejahteraan jutaan keluarga. Mereka adalah "generasi sandwich", kelompok usia produktif yang terimpit di antara dua tanggung jawab finansial besar: merawat orang tua yang memasuki usia senja dan membesarkan anak-anak mereka sendiri. Fenomena ini bukanlah hal baru, namun kombinasi dari inflasi yang meroket, biaya hidup yang tak terkendali, dan sistem jaminan sosial yang rapuh telah mengubahnya menjadi bom waktu demografis dan sosial.
Istilah "generasi sandwich" pertama kali dipopulerkan oleh sosiolog Dorothy Miller pada tahun 1981, namun konteksnya di Indonesia saat ini memiliki dimensi yang lebih kompleks. Ini bukan hanya soal finansial, tetapi juga soal tekanan psikologis, pengorbanan karier, dan terkikisnya waktu untuk diri sendiri. Sebuah survei independen yang dilakukan oleh lembaga riset sosial "Citra Bangsa" pada awal tahun 2024 menemukan data yang mengkhawatirkan: 68% responden di Jakarta, Surabaya, dan Bandung yang berusia antara 30 hingga 45 tahun mengidentifikasi diri mereka sebagai generasi sandwich. Dari jumlah tersebut, 82% mengaku mengalami tingkat stres "tinggi hingga sangat tinggi" yang berkaitan dengan kondisi keuangan mereka.
Rian, seorang manajer pemasaran berusia 38 tahun di Jakarta, adalah potret nyata dari generasi ini. Dengan gaji bulanan sekitar Rp 15 juta, ia harus menafkahi istrinya, dua anak yang masih duduk di bangku SD, serta membiayai pengobatan rutin ayahnya yang menderita diabetes dan ibunya yang tinggal bersama mereka. "Setiap tanggal gajian, saya seperti seorang akuntan yang membagi-bagi dana ke berbagai pos. Cicilan KPR, SPP anak, asuransi, belanja bulanan, dan tentu saja, alokasi untuk orang tua. Sering kali, tidak ada yang tersisa untuk ditabung atau untuk kebutuhan pribadi," keluhnya.
Kisah Rian adalah cerminan dari jutaan orang lainnya. Dr. Amalia Kartika, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia yang mendalami studi keluarga, menjelaskan bahwa fenomena ini diperparah oleh beberapa faktor. "Pertama, ada pergeseran budaya. Dulu, merawat orang tua adalah tanggung jawab kolektif seluruh anak. Sekarang, dengan keluarga yang semakin kecil dan urbanisasi, beban itu sering kali jatuh pada satu atau dua anak saja," jelasnya. "Kedua, sistem pensiun kita belum merata. Banyak dari generasi orang tua saat ini adalah pekerja sektor informal yang tidak memiliki dana pensiun. Jaminan kesehatan nasional (JKN) memang membantu, tapi tidak menanggung semua biaya, terutama untuk penyakit kronis."
Faktor ketiga, lanjut Dr. Amalia, adalah ekspektasi sosial. Di Indonesia, berbakti kepada orang tua adalah nilai luhur yang sangat dijunjung tinggi. Namun, ketika nilai ini berbenturan dengan realitas ekonomi yang keras, ia justru menciptakan beban mental yang luar biasa. "Banyak yang merasa bersalah jika tidak bisa memberikan yang terbaik untuk orang tua, sekaligus cemas tidak bisa menyiapkan masa depan yang cerah untuk anak-anak mereka," tambahnya.
Tekanan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada produktivitas kerja dan hubungan pernikahan. Banyak dari generasi sandwich yang terpaksa mengambil pekerjaan sampingan, mengurangi waktu istirahat, dan pada akhirnya mengalami burnout. Konflik dengan pasangan mengenai alokasi keuangan juga menjadi hal yang umum terjadi.
Menanggapi krisis yang semakin nyata ini, suara-suara yang mendesak intervensi kebijakan dari pemerintah semakin kencang. Sejumlah anggota Komisi VIII DPR RI telah menyuarakan perlunya paket kebijakan kesejahteraan keluarga yang terintegrasi. Salah satu usulan yang paling sering dibicarakan adalah insentif pajak bagi mereka yang menanggung biaya hidup orang tua. Mekanismenya bisa berupa pengurangan penghasilan kena pajak (PTKP) tambahan bagi wajib pajak yang dapat membuktikan bahwa mereka merawat lansia.
Selain itu, ada pula desakan untuk memperkuat program jaminan hari tua dan memperluas cakupannya ke sektor informal. "Pemerintah harus memikirkan solusi jangka panjang. Generasi sandwich hari ini akan menjadi lansia di masa depan. Jika mereka tidak bisa menabung karena bebannya terlalu berat, maka siklus ini akan terus berulang. Anak-anak mereka akan menjadi generasi sandwich berikutnya," kata Bima Satria, seorang perencana keuangan independen.
Usulan lain yang bersifat lebih praktis adalah penyediaan fasilitas penitipan anak (daycare) dan lansia (elderly care) yang terjangkau dan berkualitas oleh pemerintah daerah. Keberadaan fasilitas ini akan sangat membantu, terutama bagi para ibu bekerja yang sering kali menanggung beban ganda sebagai pengasuh utama.
Namun, semua usulan ini masih berada di tataran wacana. Pemerintah hingga kini belum menunjukkan langkah konkret untuk merumuskan kebijakan yang secara spesifik menargetkan generasi sandwich. Isu ini masih dianggap sebagai masalah privat keluarga, bukan sebagai isu sosial struktural yang membutuhkan campur tangan negara.
Sementara para pembuat kebijakan masih berdebat, Rian dan jutaan orang sepertinya terus berjuang dalam diam. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang menopang fondasi keluarga Indonesia. Pertanyaannya adalah, sampai kapan mereka bisa bertahan? Tanpa jaring pengaman sosial yang kuat, generasi yang menjadi tulang punggung negara ini berisiko patah di tengah jalan, membawa konsekuensi sosial yang dampaknya akan terasa hingga beberapa dekade ke depan.