Pemilu Biometrik 2029: Lompatan Modernisasi atau Ancaman Privasi Massal?



BOGOR – Di sebuah kantor kelurahan yang ramai di Kota Bogor, puluhan warga dengan antusias mengantre untuk mencoba sebuah teknologi baru. Mereka menempelkan ibu jari pada sebuah alat pemindai kecil, kemudian wajah mereka dipindai oleh kamera yang terpasang di atas laptop. Proses ini hanya memakan waktu kurang dari satu menit. Inilah wajah dari uji coba sistem verifikasi pemilih berbasis biometrik, sebuah proyek ambisius Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang digadang-gadang akan merevolusi pemilihan umum di Indonesia pada tahun 2029.

Gagasan di baliknya terdengar sempurna: dengan menggunakan data unik seperti sidik jari atau kontur wajah, KPU berharap dapat menciptakan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang paling akurat dalam sejarah republik ini. Masalah klasik seperti data ganda, pemilih fiktif, atau bahkan penggunaan hak pilih orang lain (joki) secara teoretis dapat dieliminasi. Ini adalah janji akan sebuah pemilu yang lebih bersih, transparan, dan berintegritas.

Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, sangat optimistis dengan proyek ini. "Ini adalah lompatan kuantum bagi demokrasi kita. Teknologi biometrik akan menjadi benteng pertahanan terhadap manipulasi DPT, yang sering kali menjadi sumber sengketa pemilu. Kepercayaan publik terhadap hasil pemilu akan meningkat secara drastis," ujarnya saat meninjau langsung lokasi uji coba. Ia menjelaskan bahwa sistem ini nantinya akan terintegrasi dengan data kependudukan nasional yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Secara teknis, alur kerjanya adalah sebagai berikut: saat pendaftaran pemilih, data biometrik warga akan direkam. Kemudian pada hari pemungutan suara, pemilih akan melakukan verifikasi di TPS dengan memindai sidik jari atau wajah mereka. Sistem akan mencocokkan data tersebut dengan yang ada di database. Jika cocok, pemilih diizinkan untuk mencoblos. Sederhana, cepat, dan aman—setidaknya di atas kertas.

Namun, di balik janji-janji manis modernisasi, tersembunyi sejumlah risiko besar yang membuat para pakar keamanan siber dan aktivis hak-hak digital merasa sangat khawatir. Isu utamanya adalah keamanan dan privasi data. Data biometrik bukanlah data biasa. Jika kata sandi atau nomor PIN Anda bocor, Anda bisa menggantinya. Namun, jika data sidik jari atau wajah Anda dicuri, Anda tidak bisa menggantinya. Data itu melekat pada diri Anda seumur hidup.

Pratama Persadha, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, memberikan peringatan keras. "Kita harus bertanya, seberapa siap infrastruktur digital negara kita untuk menyimpan dan mengelola database biometrik seluruh penduduk dewasa Indonesia? Kita punya rekam jejak yang buruk dalam hal kebocoran data. Data dari lembaga pemerintah, termasuk data kependudukan, sudah berulang kali bocor. Menyatukan data biometrik dalam satu database raksasa adalah seperti menaruh semua telur emas dalam satu keranjang yang pengamanannya masih diragukan," tegasnya.

Potensi penyalahgunaan data ini sangat menakutkan. Jika jatuh ke tangan yang salah, data biometrik bisa digunakan untuk berbagai kejahatan, mulai dari penipuan finansial, pencurian identitas, hingga pengawasan massal oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, baik negara maupun non-negara.

Selain masalah keamanan, ada juga isu eksklusi digital dan sosial. Teknologi biometrik tidak selalu sempurna. Pemindai sidik jari sering kali kesulitan membaca sidik jari para pekerja manual, petani, atau nelayan yang kulitnya kasar atau sering tergores. Lansia dengan kulit yang sudah keriput juga sering mengalami masalah serupa. Demikian pula dengan teknologi pengenalan wajah yang terkadang memiliki tingkat akurasi lebih rendah pada kelompok etnis tertentu atau dalam kondisi pencahayaan yang kurang ideal.

"Bayangkan jika seorang petani tua di pelosok desa ditolak hak pilihnya oleh mesin karena sidik jarinya tidak terbaca. Ini bukan lagi soal teknologi, tapi soal hak konstitusional warga negara. Apakah kita siap mengorbankan hak pilih sebagian warga demi sebuah sistem yang 'canggih'?" tanya Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet. Ia menambahkan bahwa ketergantungan pada listrik dan koneksi internet yang stabil juga akan menjadi tantangan besar di ribuan TPS yang berada di daerah terpencil.

Aspek biaya juga tidak bisa diabaikan. Pengadaan jutaan alat pemindai biometrik, pembangunan pusat data yang super aman, serta pelatihan bagi petugas KPPS di seluruh Indonesia akan menelan biaya yang sangat besar. Beberapa kalangan menilai, dana sebesar itu lebih baik dialokasikan untuk memperkuat pengawasan pemilu yang berbasis manusia dan meningkatkan pendidikan politik bagi warga.

KPU sendiri mengklaim telah mengantisipasi berbagai risiko ini. Mereka berjanji akan menggunakan teknologi enkripsi tercanggih dan membangun sistem keamanan berlapis. Untuk masalah eksklusi, mereka sedang menyiapkan prosedur manual sebagai cadangan jika verifikasi biometrik gagal. Namun, janji-janji ini belum cukup untuk menenangkan semua pihak.

Proyek pemilu biometrik ini menempatkan Indonesia di sebuah persimpangan jalan. Di satu sisi, ada peluang untuk meningkatkan kualitas demokrasi secara signifikan. Di sisi lain, ada risiko bencana privasi berskala nasional dan potensi tercerabutnya hak pilih sebagian warga. Keberhasilan atau kegagalan proyek ini tidak hanya akan ditentukan oleh kecanggihan teknologinya, tetapi juga oleh kesiapan pemerintah dalam membangun benteng keamanan data yang kokoh dan memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang tertinggal di belakang dalam derap langkah modernisasi ini.


Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama