Permohonan ini diajukan oleh sekelompok mahasiswa dan aktivis muda yang berargumen bahwa ketentuan batas usia tersebut bersifat diskriminatif dan menghalangi hak konstitusional warga negara untuk dipilih. Mereka berdalih bahwa kompetensi dan kapasitas seorang pemimpin tidak bisa diukur semata-mata dari usia biologis. Dalam argumen mereka, seorang pemuda berusia 28 tahun yang brilian dan berintegritas seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai gubernur layaknya seorang kandidat berusia 30 tahun.
Viktor Santoso, kuasa hukum para pemohon, menyatakan kekecewaannya sesaat setelah sidang. "Kami berpendapat bahwa pasal ini tidak sejalan dengan semangat zaman yang mendorong partisipasi anak muda dalam politik. Putusan ini seolah-olah membangun tembok kaca bagi para pemimpin muda potensial. Seharusnya, biarkan rakyat yang menilai melalui bilik suara, apakah seorang kandidat, berapapun usianya, layak memimpin atau tidak," ujarnya.
Namun, MK memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pertimbangan hukum setebal 150 halaman yang dibacakan secara bergantian, majelis hakim menegaskan bahwa penentuan batas usia termasuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Ini adalah sebuah doktrin hukum yang menyatakan bahwa MK tidak akan campur tangan dalam kebijakan yang menjadi kewenangan penuh pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah), selama kebijakan tersebut tidak secara nyata bertentangan dengan nilai-nilai dasar dalam UUD 1945.
Menurut MK, pembentuk undang-undang memiliki alasan yang rasional saat menetapkan batas usia tersebut. Asumsinya adalah bahwa pada usia 25 atau 30 tahun, seseorang dianggap telah mencapai tingkat kematangan emosional, pengalaman hidup, dan pemahaman yang cukup untuk mengemban tanggung jawab besar sebagai kepala daerah. Jabatan kepala daerah, menurut hakim, bukan hanya jabatan politik, tetapi juga jabatan manajerial yang kompleks, yang menuntut kemampuan mengelola birokrasi, anggaran triliunan rupiah, dan keragaman sosial masyarakat.
"Mahkamah tidak menemukan adanya niat diskriminatif dari pembentuk undang-undang. Pembatasan ini berlaku umum bagi semua warga negara dan didasarkan pada pertimbangan yang dapat diterima secara nalar untuk kepentingan publik yang lebih besar, yaitu memastikan kualitas kepemimpinan di daerah," demikian kutipan dari pertimbangan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.
Putusan ini memicu beragam reaksi. Kalangan politisi senior dan partai-partai mapan cenderung menyambut baik putusan ini. Mereka berpendapat bahwa pengalaman adalah guru terbaik dalam politik. "Memimpin daerah itu tidak bisa coba-coba. Perlu rekam jejak yang teruji. Batas usia yang ada saat ini sudah merupakan jalan tengah yang baik antara memberi kesempatan kepada yang muda dan menuntut adanya pengalaman," kata seorang politisi senior dari Partai Golkar.
Sebaliknya, organisasi kepemudaan dan partai-partai baru yang menyasar segmen pemilih muda merasa terpukul. Mereka melihat putusan ini sebagai bentuk pelanggengan status quo dan keengganan elite politik untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi regenerasi kepemimpinan. "Ini adalah kemenangan bagi pandangan konservatif. Di saat dunia dipimpin oleh para pemimpin muda yang inovatif, kita justru masih berkutat pada syarat-syarat formalistik seperti usia," kata Ketua Umum sebuah partai politik baru.
Prof. Bivitri Susanti, seorang pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, memberikan analisis yang lebih berimbang. "Secara doktrinal, putusan MK ini sudah tepat. MK memang harus menahan diri untuk tidak masuk ke ranah open legal policy. Namun, secara substansi, perdebatan ini belum selesai. Ini harus menjadi momentum bagi DPR dan Pemerintah untuk mengkaji kembali, apakah batas usia yang ada masih relevan dengan kondisi saat ini," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa perdebatan ini seharusnya tidak hanya berhenti pada usia, tetapi juga pada mekanisme kaderisasi partai politik. "Masalahnya bukan hanya soal usia, tetapi apakah partai politik kita sudah berhasil melahirkan kader-kader muda yang berkualitas? Jika kaderisasi berjalan baik, maka pada usia berapapun, seorang calon akan siap," tambahnya.
Putusan MK ini memang telah menutup pintu jalur yudisial untuk mengubah aturan main. Namun, ia justru membuka lebar pintu perdebatan di ranah politik dan sosial. Diskursus tentang peran anak muda, pentingnya pengalaman, dan masa depan kepemimpinan daerah di Indonesia akan terus berlanjut. Palu hakim di ruang sidang MK mungkin telah memberikan kepastian hukum, tetapi ia belum memberikan jawaban final atas pertanyaan yang lebih mendasar: seperti apakah profil pemimpin yang kita butuhkan untuk membawa Indonesia maju?
Mantap informasi nya
BalasHapus