BANDUNG – Di sebuah sudut kota Bandung yang padat, di antara deretan rumah dan jalanan yang ramai, terhampar sebuah pemandangan yang tak biasa. Sebuah lahan kosong yang dulunya dipenuhi ilalang dan sampah kini telah berubah menjadi kebun hijau yang subur. Rak-rak pipa paralon berisi sayuran sawi dan selada yang ditanam secara hidroponik berjajar rapi. Di sebelahnya, puluhan ember besar menjadi rumah bagi ikan lele dan kangkung dalam sistem "budikdamber". Ini adalah wajah dari program "Bandung Berkebun 2.0", sebuah gerakan ambisius yang bertujuan mengubah wajah kota sekaligus menjawab salah satu tantangan terbesar abad ini: krisis iklim dan ketahanan pangan.
Inisiatif ini lahir dari sebuah kesadaran yang semakin mendesak. Perubahan iklim bukan lagi isu abstrak yang dibicarakan di konferensi internasional. Dampaknya sudah terasa nyata di tingkat lokal. Curah hujan yang ekstrem menyebabkan gagal panen di sentra-sentra produksi pertanian, sementara kekeringan panjang mengancam pasokan air. Akibatnya, rantai pasok pangan menjadi terganggu, harga-harga di pasar melonjak, dan masyarakat berpenghasilan rendah menjadi yang paling rentan.
Pemerintah Kota Bandung, bekerja sama dengan komunitas lingkungan seperti "Komunitas Kebun Kolektif", memutuskan untuk tidak lagi hanya berpangku tangan. Mereka mengidentifikasi ratusan titik lahan tidur di seluruh kota—mulai dari lahan milik pemerintah yang belum terpakai, sempadan sungai, hingga atap-atap gedung perkantoran—dan mengubahnya menjadi pusat-pusat produksi pangan skala kecil.
"Konsepnya adalah desentralisasi produksi pangan. Kita tidak bisa lagi 100% bergantung pada pasokan dari luar daerah. Kota harus memiliki kemandirian pangan, setidaknya untuk komoditas-komoditas hortikultura dasar," jelas Asep Kurnia, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung. "Ini bukan hanya soal menanam, ini adalah gerakan sosial-ekonomi untuk membangun ketahanan komunitas."
Model yang dikembangkan sangat beragam, disesuaikan dengan kondisi lahan dan kapasitas masyarakat sekitar. Di lahan yang lebih luas, dikembangkan pertanian organik konvensional. Di lahan sempit, solusi vertikal seperti hidroponik dan akuaponik menjadi pilihan. Program ini juga memberdayakan kelompok ibu-ibu PKK dan karang taruna sebagai pengelola utama, memberikan mereka pelatihan intensif mulai dari teknik pembibitan, perawatan, hingga pengolahan pasca-panen.
Salah satu inovasi yang paling menarik adalah model ekonomi sirkular yang coba diterapkan. Hasil panen tidak hanya untuk dikonsumsi oleh para pengelolanya. Sebagian besar disalurkan ke "Bank Pangan" lokal yang kemudian mendistribusikannya kepada warga kurang mampu. Sebagian lagi dijual melalui koperasi atau aplikasi digital dengan harga yang lebih murah dari harga pasar, karena memotong rantai distribusi yang panjang. Sisa-sisa organik dari panen diolah menjadi kompos untuk menyuburkan kembali tanah, menciptakan sebuah siklus yang berkelanjutan.
Ibu Tita, seorang ibu rumah tangga berusia 45 tahun yang menjadi koordinator kebun di wilayahnya, merasakan langsung manfaat program ini. "Dulu saya harus ke pasar setiap hari, sekarang tinggal petik di kebun belakang. Lebih segar, lebih sehat, dan yang pasti, pengeluaran dapur jadi jauh berkurang. Anak-anak juga jadi suka makan sayur karena mereka ikut menanam," ceritanya dengan antusias.
Namun, perjalanan revolusi hijau di tengah kota ini tidaklah mulus. Tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir masyarakat. Banyak yang masih skeptis dan menganggap bertani adalah pekerjaan rendahan yang identik dengan lumpur dan desa. Edukasi dan sosialisasi berkelanjutan menjadi kunci untuk menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap program ini.
Tantangan lain adalah aspek teknis dan pendanaan. Investasi awal untuk sistem hidroponik atau akuaponik tidaklah murah. Meskipun pemerintah memberikan bantuan stimulan, keberlanjutan program ini akan sangat bergantung pada kemampuan komunitas untuk mandiri secara finansial. Dr. Irfan Hakim, seorang ahli teknologi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menekankan pentingnya pendampingan teknis. "Urban farming itu high-tech. Perlu pemahaman yang baik tentang nutrisi tanaman, pengendalian hama terpadu, dan manajemen air. Tanpa pendampingan yang serius, banyak kebun urban yang hanya akan bertahan beberapa bulan lalu mati suri," ujarnya.
Meskipun demikian, optimisme tetap membara. Gerakan urban farming di Bandung ini dilihat sebagai sebuah prototipe yang bisa direplikasi di kota-kota lain di Indonesia. Ini adalah bukti bahwa solusi untuk masalah global seperti krisis iklim sering kali bisa dimulai dari langkah-langkah kecil di tingkat lokal. Ini adalah perpaduan antara kearifan lokal dalam bertani dengan sentuhan teknologi modern.
Lebih dari sekadar menanam sayuran dan beternak ikan, gerakan ini sedang menanam benih-benih baru: benih kemandirian, benih kolaborasi, dan benih harapan. Di tengah beton dan aspal perkotaan, mereka membuktikan bahwa kota pun bisa menjadi lumbung pangan, memberikan jawaban nyata atas pertanyaan bagaimana kita akan memberi makan generasi masa depan di planet yang terus berubah.