Politik & Pembangunan: IKN di Persimpangan Jalan—Antara Akselerasi Ambisius dan Jerat Masalah Fiskal-Sosial



Jakarta – Satu dekade setelah pertama kali digagas dan hampir setahun di bawah nakhoda pemerintahan baru, megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur kini memasuki fase paling kritis dalam sejarahnya. Pemerintah, dalam upaya menunjukkan kesinambungan dan kemajuan yang tak terbantahkan, hari ini mengumumkan strategi akselerasi untuk pembangunan infrastruktur tahap kedua. Namun, di balik narasi optimistis tentang gedung-gedung pencakar langit yang akan segera berdiri dan teknologi kota pintar yang canggih, IKN terperangkap dalam pusaran masalah fundamental yang semakin sulit diabaikan: ketidakpastian pendanaan swasta, eskalasi konflik agraria dengan masyarakat adat, dan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas serta transparansi Otorita IKN sebagai lembaga superbody.

Dalam sebuah konferensi pers yang digelar megah di Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Budi Santoso, memaparkan cetak biru yang ambisius. Targetnya adalah menyelesaikan 80% infrastruktur esensial di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) pada akhir 2026. Ini bukan hanya tentang istana presiden atau kantor kementerian, melainkan ekosistem yang lebih luas, mencakup klaster finansial internasional, pusat riset dan inovasi, serta kampus-kampus ternama. "Momentum pasca-pemilu harus kita manfaatkan. Kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, sedang berada di titik tertinggi," klaim Budi. Ia merinci beberapa kesepakatan investasi strategis (Non-Disclosure Agreement) yang sedang dalam tahap finalisasi, terutama di sektor energi terbarukan dari perusahaan Uni Emirat Arab dan infrastruktur telekomunikasi 5G dari konsorsium Korea Selatan. Untuk mendukung klaim ini, pemerintah mengumumkan alokasi dana tambahan sebesar Rp 50 triliun dari APBN 2026, yang secara spesifik akan diarahkan untuk pembangunan infrastruktur konektivitas krusial, seperti perpanjangan landasan pacu bandara VVIP agar bisa didarati pesawat berbadan lebar dan pembangunan jalur kereta api otonom yang menghubungkan KIPP dengan kota penyangga seperti Balikpapan.

Namun, narasi penuh percaya diri ini disambut dengan skeptisisme oleh para ekonom dan analis pasar. Dr. Faisal Rahman, seorang ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), secara tajam menyoroti apa yang ia sebut sebagai "tumit Achilles" proyek IKN: ketergantungan akut pada investasi swasta yang realisasinya masih jauh dari harapan. "Pemerintah boleh saja mengklaim minat investor tinggi, tetapi angka berbicara lain. Mari kita lihat data realisasi investasi swasta murni, bukan BUMN atau dana APBN yang disamarkan. Hingga kuartal kedua 2025, angka tersebut baru menyentuh sekitar 45% dari target kumulatif. Ini adalah kemajuan, tapi tidak cukup untuk menopang skala pembangunan yang masif dan cepat ini," papar Faisal dalam sebuah diskusi terpisah. Ia memperingatkan bahwa kondisi ekonomi global yang diliputi ketidakpastian—mulai dari fluktuasi harga komoditas hingga kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat—membuat investor asing cenderung wait and see. "Pertanyaan yang harus dijawab pemerintah secara transparan adalah: apa Rencana B? Jika dana swasta seret, apakah APBN akan terus 'berdarah'? Dari pos mana anggaran akan direalokasi? Apakah dana pendidikan, kesehatan, atau subsidi energi yang akan dikorbankan? Tanpa transparansi fiskal, IKN bisa menjadi beban laten bagi generasi mendatang," tegasnya.

Di tengah perdebatan angka dan anggaran di Jakarta, api dalam sekam justru membara ratusan kilometer jauhnya di Kecamatan Sepaku. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria (KEMALA) merilis laporan investigatif setebal 50 halaman yang mendokumentasikan peningkatan tensi sosial. Laporan tersebut menyoroti nasib sekitar 200 kepala keluarga dari komunitas adat Paser-Balik yang tanah leluhurnya masuk dalam zona pengembangan KIPP. Juru bicara KEMALA, Rina Halim, S.H., mengungkapkan bahwa proses ganti rugi dan relokasi berjalan buntu dan penuh intimidasi. "Ini bukan sekadar ganti rugi, ini adalah pemusnahan ruang hidup. Skema yang ditawarkan pemerintah tidak manusiawi. Warga ditawari relokasi ke lahan kering di lokasi yang puluhan kilometer jauhnya, tanpa akses air bersih yang memadai dan jauh dari ladang tempat mereka mencari nafkah. Nilai ganti rugi pun dihitung sepihak, tidak mempertimbangkan nilai historis, budaya, dan potensi ekonomi masa depan dari tanah tersebut," ungkap Rina. Ia menambahkan adanya laporan intimidasi dari oknum aparat terhadap warga yang menolak menandatangani surat persetujuan. "Klaim pemerintah bahwa pembangunan IKN berkeadilan sosial dan menghormati kearifan lokal terdengar seperti lelucon pahit bagi mereka yang terusir dari tanahnya sendiri."

Suara kritis juga datang dari Senayan. Hermawan Sutanto, seorang anggota senior Komisi V DPR RI yang membidangi infrastruktur, menyatakan bahwa parlemen akan memperketat fungsi pengawasan. "Kami di DPR pada prinsipnya mendukung IKN sebagai amanat undang-undang. Namun, dukungan ini tidak tanpa syarat. Kami melihat adanya gejala 'proyek mercusuar' yang dikebut pengerjaannya demi citra, namun mengabaikan aspek fundamental seperti perencanaan anggaran yang matang dan penyelesaian konflik sosial. Kecepatan tidak boleh mengorbankan kualitas dan kehati-hatian fiskal," ujarnya. Komisi V berencana memanggil Kepala Otorita IKN dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam waktu dekat. "Kami ingin melihat rincian cash flow proyek, progres serapan anggaran APBN, dan langkah konkret apa yang telah diambil untuk menyelesaikan sengketa lahan secara adil dan bermartabat. Jangan sampai IKN menjadi monumen megah yang berdiri di atas air mata rakyatnya sendiri." Pemerintah kini berada di bawah tekanan dari tiga penjuru: tekanan untuk membuktikan kemajuan kepada investor, tekanan untuk menjaga stabilitas fiskal negara, dan tekanan untuk memenuhi tuntutan keadilan dari masyarakat yang terdampak langsung. Langkah selanjutnya akan menentukan apakah IKN benar-benar menjadi simbol kemajuan Indonesia atau justru menjadi monumen kegagalan perencanaan yang mahal.

 

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama