Hukum & Teknologi: Perppu Identitas Digital—Benteng Keamanan atau Gerbang Menuju Pengawasan Massal?



Jakarta – Sebuah draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang bocor ke publik akhir pekan lalu telah menyulut salah satu perdebatan paling fundamental di era digital Indonesia: di mana batas antara keamanan nasional dan kebebasan sipil? Draf berjudul "Perppu tentang Penyelenggaraan Sistem Identitas Digital Terpadu" itu mengusulkan sebuah langkah radikal: mewajibkan seluruh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat—termasuk raksasa media sosial seperti Instagram, TikTok, X, Facebook, serta aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Telegram—untuk mengintegrasikan sistem verifikasi pengguna berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara real-time melalui API (Application Programming Interface) yang terhubung langsung ke server Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).

Pemerintah, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika, Jenderal (Purn.) Airlangga Perkasa, dengan sigap membela proposal kontroversial ini. Dalam sebuah wawancara eksklusif di stasiun televisi nasional, Airlangga memaparkan argumennya dengan kerangka keamanan negara. "Ruang digital kita sedang dalam kondisi darurat. Setiap hari, ribuan warga kita menjadi korban penipuan, judi online, pinjaman ilegal, dan terorisme siber. Hoaks dan ujaran kebencian berbasis SARA menyebar seperti virus, mengancam persatuan bangsa. Akar dari semua ini adalah satu: anonimitas absolut yang disalahgunakan," papar Airlangga. Menurutnya, kebijakan ini adalah "vaksin" yang dibutuhkan. "Dengan menautkan setiap akun digital ke identitas tunggal yang sah di dunia nyata, kita menciptakan ekosistem yang akuntabel. Ini bukan untuk mengintip percakapan pribadi Anda. Enkripsi end-to-end pada aplikasi pesan tetap kami hormati. Ini adalah tentang memastikan bahwa jika sebuah akun digunakan untuk melakukan kejahatan, penegak hukum memiliki jejak yang jelas untuk menindak pelakunya. Ini adalah tentang supremasi hukum di dunia maya." Pemerintah juga berjanji bahwa perlindungan data akan menjadi prioritas utama, dengan mengacu pada payung hukum Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dan sanksi berat bagi platform yang lalai menjaga data.

Namun, argumen pemerintah ini ditolak mentah-mentah oleh koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari puluhan organisasi pegiat hak-hak digital, kebebasan pers, dan bantuan hukum. Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, dalam sebuah pernyataan pers yang berapi-api, menyebut rencana ini sebagai "langkah paling berbahaya menuju distopia pengawasan sejak era Orde Baru." "Ini adalah resep sempurna untuk menciptakan chilling effect (efek gentar) berskala nasional," tegas Damar. "Bayangkan, seorang mahasiswa yang ingin mengkritik kebijakan kampus, seorang buruh yang ingin mengorganisir protes, atau seorang jurnalis yang ingin berkomunikasi dengan narasumber sensitif. Mereka semua akan berpikir dua kali jika setiap kata yang mereka ketik tertaut langsung pada NIK mereka. Ini akan membunuh kritik, membungkam oposisi, dan melanggengkan kekuasaan. Ini bukan tentang memberantas judi online; ini tentang memberantas perbedaan pendapat."

Kekhawatiran terbesar, yang diamini oleh para pakar keamanan siber, adalah potensi penyalahgunaan dan kebocoran data dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dr. Alfons Tanujaya, seorang pakar keamanan siber terkemuka, menggambarkan skenario terburuk dengan sangat gamblang. "Kita berbicara tentang menyatukan dua set data paling sensitif: data kependudukan (NIK, nama, alamat, tanggal lahir, nama ibu kandung) dengan data perilaku digital (siapa teman Anda, apa minat Anda, di mana Anda berada, apa pandangan politik Anda). Ini sama saja dengan menciptakan 'sarang madu' data yang akan menjadi target utama peretas dari seluruh dunia, baik yang disponsori negara lain maupun sindikat kriminal," analisis Alfons. Ia mengingatkan rekam jejak Indonesia yang kelam dalam hal keamanan data. "Data BPJS, data pemilih KPU, data registrasi SIM card, semuanya pernah bocor. Apa jaminannya kali ini akan berbeda? Jika basis data terpadu ini jebol, dampaknya akan katastrofik. Ini bukan lagi hanya soal kerugian finansial, tapi juga soal keamanan fisik dan pemerasan terhadap warga negara."

Industri teknologi sendiri berada dalam posisi yang canggung. Secara terbuka, para pemain besar seperti Meta dan Google hanya memberikan pernyataan diplomatis bahwa mereka akan "mempelajari draf regulasi dan berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia." Namun, secara tertutup, para pelobi mereka dikabarkan bekerja keras untuk menyoroti kompleksitas teknis dan biaya implementasi yang sangat besar. Seorang sumber di dalam industri membocorkan bahwa kewajiban verifikasi NIK untuk ratusan juta pengguna aktif akan membutuhkan investasi infrastruktur server dan sistem keamanan yang masif, yang pada akhirnya bisa dibebankan kepada pengguna atau pengiklan. Perdebatan ini telah melampaui ranah teknis dan hukum, menjadi sebuah referendum tentang masa depan demokrasi digital di Indonesia. Di satu sisi ada janji ketertiban dan keamanan, di sisi lain ada ancaman terhadap privasi dan kebebasan berekspresi. Keputusan Presiden untuk menandatangani atau menolak Perppu ini akan menjadi warisan monumental yang akan dikenang selama bertahun-tahun.


Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama