Krisisnya Relasi antara Masyarakat dan Pemerintah Desa dalam Pembangunan Desa

Pembangunan desa merupakan inti dari proses pembangunan nasional. Di Indonesia, lebih dari 70% wilayah terdiri dari desa yang memiliki potensi besar dalam menggerakkan roda ekonomi, budaya, dan sosial. Namun, harapan besar tersebut seringkali terganjal oleh persoalan klasik, relasi yang tidak harmonis antara masyarakat dan pemerintah desa. Krisis hubungan ini, yang seharusnya menjadi pilar utama pembangunan partisipatif, kini justru menjadi hambatan serius dalam mendorong kemajuan desa.

Konflik, ketidakpercayaan, minimnya transparansi, dan rendahnya partisipasi menjadi gambaran umum relasi yang terjadi di banyak desa. Krisis ini bukan sekadar soal miskomunikasi, tetapi mengakar pada struktur kuasa, pola interaksi yang timpang, serta pengabaian terhadap prinsip demokrasi desa. Akibatnya, pembangunan desa kehilangan arah dan tidak mampu menyentuh kebutuhan riil masyarakat.

Salah satu akar persoalan relasi masyarakat dan pemerintah desa adalah warisan budaya paternalistik yang masih kuat. Kepala desa sering kali diposisikan sebagai “bapak” yang tak bisa dibantah. Meski sistem pemerintahan desa telah mengalami reformasi melalui Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014, namun dalam praktiknya, nilai-nilai demokrasi partisipatif belum sepenuhnya mengakar. Masyarakat masih ragu atau takut menyuarakan kritik karena dianggap sebagai tindakan tidak hormat atau melawan otoritas.

Situasi ini menciptakan hubungan yang timpang: pemerintah desa merasa berhak menentukan arah pembangunan, sedangkan masyarakat hanya sebagai objek, bukan subjek. Demokrasi di tingkat desa menjadi formalitas belaka—musyawarah desa digelar hanya untuk memenuhi persyaratan administratif, bukan sebagai wadah partisipasi yang substantif.

Faktor lain yang memperparah krisis ini adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa. Banyak warga yang merasa bahwa alokasi Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) tidak dikelola secara transparan. Kasus-kasus penyalahgunaan dana desa yang marak di media menjadi pemicu hilangnya kepercayaan publik.

Transparansi yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pengelolaan keuangan desa seringkali hanya menjadi slogan. Masyarakat tidak tahu bagaimana perencanaan dilakukan, siapa yang terlibat, dan untuk apa dana digunakan. Laporan pertanggungjawaban pun kerap dibuat secara sepihak, tanpa keterlibatan masyarakat. Akibatnya, muncul stigma bahwa pembangunan desa hanya menguntungkan elite lokal.

Partisipasi masyarakat sering diklaim menjadi fondasi pembangunan desa. Namun kenyataannya, yang terjadi lebih sering adalah partisipasi semu. Warga hanya diundang untuk hadir dalam rapat atau upacara peresmian, tanpa ruang nyata untuk menyampaikan ide atau melakukan evaluasi.

Dalam banyak kasus, program pembangunan justru tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jalan dibangun di tempat yang kurang strategis, bantuan diberikan kepada yang tidak tepat sasaran, dan proyek-proyek fisik lebih diutamakan daripada pemberdayaan. Ini semua menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat hanya dijadikan legitimasi, bukan substansi.

Politik di tingkat desa juga turut memperumit relasi ini. Pilkades yang diwarnai dengan politik uang, janji-janji kosong, dan mobilisasi massa telah menciptakan pembelahan sosial di masyarakat. Setelah terpilih, kepala desa cenderung mengakomodasi pendukungnya dan mengabaikan kelompok lain. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan memperparah krisis kepercayaan.

Fenomena ini menumbuhkan “klik kekuasaan” di tingkat desa—sekelompok kecil orang yang mengendalikan anggaran, kebijakan, dan program pembangunan. Warga yang tidak masuk dalam lingkaran ini merasa terpinggirkan, dan akhirnya memilih untuk bersikap apatis terhadap pembangunan desa.

Masalah relasi juga diperparah oleh minimnya literasi sosial, politik, dan hukum masyarakat desa. Banyak warga yang tidak memahami hak dan kewajiban mereka dalam proses pembangunan. Mereka tidak tahu bahwa mereka berhak mendapatkan informasi, mengawasi, dan menyampaikan aspirasi secara sah.

Literasi yang rendah ini membuat warga enggan terlibat atau bahkan takut untuk bersuara. Pemerintah desa pun tidak berupaya mendorong pendidikan politik warga. Padahal, relasi yang sehat hanya bisa terwujud jika kedua belah pihak memiliki pemahaman yang setara dan komunikasi yang terbuka.

Di era digital, informasi menjadi kunci. Namun, banyak desa masih mengalami ketimpangan akses terhadap teknologi informasi. Pemerintah desa memiliki akses dan jaringan, sementara masyarakatnya tidak. Hal ini menciptakan “asimetri informasi” yang membuat warga selalu tertinggal dalam proses pengambilan keputusan.

Padahal, jika digunakan secara tepat, media sosial dan platform digital desa bisa menjadi sarana untuk meningkatkan keterlibatan warga. Tetapi ketika hanya pemerintah desa yang menguasai kanal informasi, maka kontrol narasi hanya dimiliki satu pihak. Kesenjangan ini memperlebar jurang relasi antara pemerintah dan masyarakat.

Krisis relasi ini berdampak langsung terhadap efektivitas pembangunan desa. Pertama, pembangunan menjadi tidak tepat sasaran. Karena tidak berdasarkan aspirasi masyarakat, maka program yang dijalankan kerap tidak menjawab kebutuhan riil.

Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat membuat pembangunan tidak berkelanjutan. Proyek-proyek yang dibangun sering mangkrak karena tidak ada rasa memiliki dari warga. Ketiga, konflik sosial muncul akibat ketimpangan dan eksklusi. Warga saling curiga, saling menjatuhkan, bahkan tak jarang terjadi aksi protes atau pelaporan kepada aparat hukum.

Untuk mengatasi krisis ini, dibutuhkan upaya rekonstruksi relasi antara masyarakat dan pemerintah desa dengan pendekatan partisipatif, transparan, dan berkeadilan. Beberapa strategi berikut bisa menjadi alternatif solusi:

1. Revitalisasi Musyawarah Desa

Musyawarah desa harus difungsikan kembali sebagai forum deliberatif, bukan formalitas administratif. Setiap warga harus diberi ruang untuk berbicara dan pendapatnya harus dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan.

2. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa

Perlu ada pelatihan rutin bagi perangkat desa mengenai kepemimpinan partisipatif, pengelolaan konflik, dan akuntabilitas publik. Kepala desa tidak boleh hanya menjadi administrator, tetapi juga fasilitator partisipasi warga.

3. Pendidikan Politik dan Hukum Warga

Masyarakat desa perlu dibekali pemahaman mengenai hak-haknya dalam sistem pemerintahan desa. Pendampingan hukum, literasi sosial, dan pelatihan keterlibatan warga bisa dilakukan oleh LSM atau perguruan tinggi setempat.

4. Pemanfaatan Teknologi Informasi 

Pemerintah desa harus mendorong keterbukaan informasi melalui media digital. Website desa, grup WhatsApp warga, atau aplikasi pelaporan mandiri bisa digunakan untuk memperkuat komunikasi dua arah.

5. Transparansi dan Akuntabilitas

Setiap penggunaan dana desa harus dilaporkan secara terbuka. Papan informasi publik, audit terbuka, dan pelibatan warga dalam pengawasan harus menjadi kewajiban, bukan pilihan.

Krisis relasi ini tidak bisa diatasi hanya oleh dua pihak (pemerintah desa dan masyarakat). Diperlukan peran pihak ketiga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kampus, dan media lokal yang independen. LSM dapat berfungsi sebagai jembatan dan pendamping warga, sementara akademisi bisa membantu dalam merancang kebijakan pembangunan berbasis riset.

Beberapa desa di Indonesia telah menunjukkan praktik baik dalam membangun relasi harmonis antara pemerintah desa dan masyarakat. Misalnya, Desa Ponggok di Klaten berhasil menjadikan warganya sebagai investor pembangunan wisata desa. Keputusan-keputusan dibuat secara terbuka, dan hasil pembangunan dinikmati bersama.

Studi ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan secara penuh—bukan hanya sebagai pelengkap—maka pembangunan desa bisa berjalan lebih efektif, berkelanjutan, dan mensejahterakan.

Pembangunan desa tidak hanya soal jalan, jembatan, atau infrastruktur fisik. Pembangunan yang sejati dimulai dari membangun relasi sosial yang sehat antara pemerintah desa dan masyarakat. Relasi ini harus dibangun di atas fondasi kepercayaan, partisipasi aktif, dan keadilan.

Krisis relasi yang terjadi hari ini bukanlah takdir, melainkan hasil dari sistem yang tidak demokratis dan praktik yang koruptif. Dengan komitmen bersama, krisis ini bisa diubah menjadi peluang untuk membangun tata kelola desa yang lebih manusiawi, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Masyarakat bukan sekadar penonton dalam panggung pembangunan desa, tetapi aktor utama yang memiliki hak dan kewajiban. Pemerintah desa bukan penguasa, tetapi pelayan rakyat. Ketika peran ini dijalankan dengan benar, maka desa akan tumbuh menjadi pusat peradaban lokal yang kuat dan berdaya.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama