Sebuah Kematian yang Seharusnya Tak Terjadi: Ironi Balita Meninggal Akibat Cacingan di Era Modern
Sukabumi – Di sebuah dusun sunyi di pelosok Sukabumi, sebuah tangis pecah dalam keheningan. Bukan tangis bayi yang baru lahir, melainkan tangis duka dari seorang ibu yang baru saja kehilangan buah hatinya. Anaknya, seorang balita yang belum genap berusia tiga tahun, telah pergi untuk selamanya. Penyebab kematiannya bukanlah penyakit langka yang ganas atau kecelakaan tragis yang tak terhindarkan. Ia meninggal karena cacingan. Sebuah kata yang terdengar begitu sepele, begitu kuno, namun ternyata masih bisa merenggut nyawa di Indonesia, di abad ke-21 ini.
Kisah ini adalah sebuah anomali yang menyakitkan, sebuah anomali yang seharusnya tidak boleh ada. Di tengah gemerlap pembangunan kota-kota besar, di tengah program-program kesehatan yang menelan anggaran triliunan rupiah, seorang anak kecil di negeri ini masih harus menyerah pada penyakit yang bisa dicegah dengan sebutir obat seharga beberapa ribu rupiah. Kematiannya bukan sekadar statistik duka, ia adalah sebuah dakwaan telak terhadap sistem yang gagal melindunginya.
Bagi keluarga yang ditinggalkan, ini adalah puncak dari perjuangan panjang yang tak terlihat. Mereka hidup dalam kungkungan kemiskinan, di sebuah rumah sederhana dengan sanitasi yang jauh dari layak. Air bersih adalah barang mewah. Di lingkungan seperti inilah, telur-telur cacing menemukan surga untuk berkembang biak. Tanpa disadari, parasit-parasit kecil itu masuk ke dalam tubuh mungil sang balita.
Awalnya, gejalanya tidak kentara. Sang anak hanya terlihat sedikit lebih kurus dan kurang nafsu makan. Orang tuanya, dengan pengetahuan kesehatan yang terbatas, menganggapnya sebagai hal yang biasa. Namun, di dalam tubuhnya, para penyusup itu terus berkembang biak, menggerogoti setiap nutrisi yang masuk. Perlahan tapi pasti, tubuhnya mulai menyerah. Ia menjadi lemas, perutnya membuncit, wajahnya pucat. Anemia akut dan malnutrisi parah menjadi vonis tak tertulis baginya. Ketika akhirnya dibawa ke fasilitas kesehatan, semuanya sudah terlambat. Infeksi telah menyebar begitu parah, merusak organ-organnya hingga tak bisa lagi diselamatkan.
Kabar kematian balita ini menyebar cepat di media sosial, memantik gelombang kesedihan dan kemarahan. Foto wajahnya yang polos beredar luas, menjadi simbol dari ketidakadilan yang tersembunyi. Publik pun bertanya-tanya, di mana peran negara? Ke mana perginya para petugas Posyandu? Apakah program pemberian obat cacing massal di sekolah dan puskesmas hanya sekadar seremoni tanpa benar-benar menyentuh akar masalah?
Pertanyaan-pertanyaan itu sangat relevan. Tragedi ini menunjukkan adanya lubang besar dalam jaring pengaman sosial dan kesehatan kita. Program yang bagus di atas kertas sering kali gagal dalam implementasinya di lapangan. Petugas kesehatan mungkin kekurangan sumber daya, sementara edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kebersihan dan deteksi dini penyakit sering kali tidak efektif. Kemiskinan struktural menjadi tembok penghalang utama, di mana prioritas keluarga adalah bagaimana cara mengisi perut hari ini, bukan memikirkan ancaman cacing yang tak kasat mata.
Pemerintah pusat dan daerah memang telah merespons. Tim dari kementerian terkait diturunkan, bantuan disalurkan, dan janji-janji untuk melakukan evaluasi diucapkan. Namun, respons reaktif semacam ini terasa seperti pemadam kebakaran yang datang setelah rumah ludes terbakar. Yang dibutuhkan bukanlah sekadar bantuan sesaat, melainkan sebuah perubahan sistemik yang memastikan bahwa tidak ada lagi anak yang bernasib sama.
Kematian balita di Sukabumi ini harus menjadi sebuah lonceng pengingat yang memekakkan telinga kita semua. Ia memaksa kita untuk melihat kenyataan pahit di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi. Bahwa kemajuan sebuah bangsa sejatinya tidak diukur dari tingginya gedung pencakar langit, melainkan dari kemampuannya untuk menjamin hak hidup dan hak untuk tumbuh sehat bagi warganya yang paling lemah sekalipun. Selama masih ada satu anak pun yang meninggal karena penyakit yang bisa dicegah, maka kita semua, sebagai sebuah bangsa, masih memiliki utang kemanusiaan yang belum terbayar.