Klaten, Jawa Tengah – Sebuah insiden yang terjadi di lingkungan sekolah menengah pertama negeri di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, telah memicu gelombang perdebatan sengit yang meluas hingga ke tingkat nasional. Kabar mengenai seorang siswi berinisial AN, yang diduga gagal terpilih menjadi anggota tim paduan suara (aubade) untuk upacara kenegaraan karena mengenakan hijab, telah menyebar dengan cepat di media sosial dan menjadi viral. Kasus ini tidak hanya menyulut amarah dan simpati dari warganet, tetapi juga membuka kembali kotak pandora perdebatan tentang praktik toleransi, hak beragama, dan ruang ekspresi di institusi pendidikan negeri.
Peristiwa ini pertama kali mencuat ke publik melalui unggahan salah satu kerabat AN di media sosial pada akhir pekan lalu. Dalam unggahan tersebut, diceritakan bahwa AN, yang memiliki bakat menyanyi dan telah lolos seleksi awal, tiba-tiba diinformasikan bahwa ia tidak dapat melanjutkan ke tim inti. Alasannya, menurut narasi yang beredar, adalah karena seragam tim aubade tidak dirancang untuk mengakomodasi siswi yang mengenakan hijab. Keputusan ini sontak dianggap sebagai bentuk diskriminasi terang-terangan terhadap AN atas dasar keyakinan agamanya.
Sontak, jagat maya pun bergemuruh. Tagar yang berkaitan dengan kasus ini menjadi trending topic di berbagai platform. Banyak pihak mengecam keras kebijakan sekolah yang dinilai intoleran dan bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika serta prinsip pendidikan yang inklusif. "Sekolah negeri seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi semua siswa, apapun latar belakang suku, ras, dan agamanya. Melarang siswi berhijab untuk berprestasi di bidang non-akademik adalah sebuah kemunduran besar bagi dunia pendidikan kita," tulis seorang pegiat pendidikan dalam kolom komentarnya.
Menghadapi tekanan publik yang begitu masif, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten segera memberikan klarifikasi. Kepala Sekolah SMPN terkait, dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (25/8), membantah adanya unsur diskriminasi. Ia menjelaskan bahwa keputusan tersebut murni didasarkan pada pertimbangan teknis dan estetika keseragaman tim. "Tidak ada niat sedikit pun dari kami untuk mendiskriminasi ananda AN. Ini murni soal keseragaman seragam tim yang sudah ditetapkan sejak lama. Kami akui ada kekeliruan dalam komunikasi awal sehingga menimbulkan persepsi yang salah," ujarnya.
Pihak sekolah juga menambahkan bahwa mereka telah menawarkan solusi kepada AN untuk tetap bisa menyalurkan bakatnya di kegiatan ekstrakurikuler lain. Namun, penjelasan ini tidak serta-merta meredakan polemik. Bagi banyak pihak, alasan "keseragaman" dianggap sebagai dalih yang lemah untuk menutupi praktik eksklusi yang tidak dapat dibenarkan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan berbagai organisasi masyarakat sipil turut angkat bicara. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menyatakan bahwa apapun alasannya, hak anak untuk berpartisipasi dan mengembangkan potensinya tidak boleh dihalangi oleh aturan-aturan yang diskriminatif. "Sekolah harusnya mencari solusi kreatif, bukan justru mengorbankan hak anak. Misalnya, dengan mendesain seragam alternatif yang tetap serasi dan bisa mengakomodasi siswi berhijab. Alasan teknis tidak boleh mengalahkan prinsip keadilan dan inklusivitas," tegas Retno.
Kasus di Klaten ini menjadi cerminan dari persoalan yang lebih besar dan seringkali tersembunyi di banyak sekolah di Indonesia. Di satu sisi, ada semangat untuk menjaga keberagaman dan toleransi. Namun, di sisi lain, masih ada aturan-aturan atau praktik-praktik tidak tertulis yang secara tidak sadar bersifat eksklusif dan diskriminatif. Hal ini seringkali terjadi karena kurangnya pemahaman dan kepekaan dari para pemangku kebijakan di tingkat sekolah.
Seorang sosiolog pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Budi Setiawan, menilai bahwa kasus ini adalah momentum penting untuk melakukan audit kebijakan di seluruh sekolah negeri. "Kita perlu memeriksa kembali semua aturan, dari seragam, kegiatan ekstrakurikuler, hingga materi ajar. Apakah semuanya sudah benar-benar mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berekspresi? Jangan sampai sekolah, yang seharusnya menjadi tempat menyemai toleransi, justru menjadi ladang pertama bagi tumbuhnya benih-benih intoleransi," paparnya.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga telah merespons isu ini dengan menyatakan akan menurunkan tim investigasi untuk mendalami kasus tersebut secara komprehensif. Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Dr. Iwan Syahril, menegaskan bahwa Kemendikbudristek tidak akan menoleransi segala bentuk diskriminasi di satuan pendidikan.
Kini, bola panas ada di tangan pihak-pihak terkait. Publik menantikan resolusi yang tidak hanya menyelesaikan kasus AN secara personal, tetapi juga memberikan preseden yang baik untuk masa depan. Kasus secarik kain di panggung paduan suara Klaten ini telah menjadi lebih dari sekadar masalah seragam. Ia telah menjelma menjadi sebuah ujian nasional tentang seberapa jauh kita sebagai bangsa telah benar-benar menghayati dan mempraktikkan makna dari keberagaman yang selalu kita banggakan. Hasil dari ujian ini akan menentukan wajah pendidikan Indonesia di tahun-tahun mendatang.