Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan sekadar proyek pemindahan pusat administrasi pemerintahan. Ini adalah sebuah pertaruhan peradaban yang melibatkan investasi triliunan rupiah, mobilisasi sumber daya besar-besaran, dan yang paling krusial, penggunaan lahan dalam skala masif. Di tengah narasi besar tentang kota pintar, hutan berkelanjutan, dan pusat pertumbuhan ekonomi baru, terselip sebuah pertanyaan fundamental yang sering kali terpinggirkan: bagaimana nasib hak atas tanah masyarakat adat yang telah mendiami wilayah tersebut selama berabad-abad? Benturan antara kepentingan strategis nasional dan hak konstitusional masyarakat adat menjadi arena yuridis yang kompleks dan berpotensi menimbulkan konflik sosial berkepanjangan.
Secara hukum, landasan utama proyek IKN adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Undang-undang ini memberikan kewenangan luar biasa kepada Otorita IKN untuk mengatur segala aspek pembangunan, termasuk pengadaan tanah. Pasal 16 ayat (2) UU IKN, misalnya, menyebutkan bahwa hak atas tanah di IKN dapat berasal dari pelepasan kawasan hutan, tanah negara, maupun pengadaan tanah oleh pemerintah. Mekanisme pengadaan tanah ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Di sinilah letak persoalan pertamanya. Konsep "kepentingan umum" dalam UU tersebut sering kali ditafsirkan secara kaku dan sentralistik, di mana proyek strategis nasional secara otomatis dianggap sebagai kepentingan umum yang dapat mengesampingkan hak-hak kepemilikan lainnya, termasuk hak ulayat atau hak adat.
Di sisi lain, konstitusi Indonesia secara tegas memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Pengakuan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang secara monumental mengeluarkan hutan adat dari kategori hutan negara. Putusan ini seharusnya menjadi tonggak perlindungan, namun implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Proses pengakuan masyarakat hukum adat dan penetapan tanah adatnya adalah sebuah labirin birokrasi yang panjang dan melelahkan, yang sering kali tidak dapat diikuti oleh masyarakat adat itu sendiri. Mereka harus membuktikan eksistensi mereka melalui peraturan daerah (Perda), sebuah proses politik yang rentan terhadap intervensi kepentingan ekonomi dan politik lokal.
Dalam konteks IKN, situasi ini menjadi semakin pelik. Sebagian besar wilayah yang masuk dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dan area pengembangannya adalah wilayah yang secara historis merupakan tanah leluhur suku Paser dan Balik. Namun, banyak dari komunitas ini belum mendapatkan pengakuan formal dari negara dalam bentuk Perda. Akibatnya, ketika proses pengadaan tanah IKN berjalan, posisi tawar mereka sangat lemah. Mereka tidak dianggap sebagai subjek hukum pemegang hak komunal (ulayat), melainkan sebagai individu-individu penggarap tanah negara. Kompensasi yang ditawarkan pun sering kali didasarkan pada nilai ganti rugi fisik (tanaman dan bangunan), bukan pada nilai kehilangan ruang hidup, nilai budaya, dan keterikatan spiritual dengan tanah leluhur mereka. Ini adalah sebuah reduksi tragis dari hak komunal menjadi sekadar klaim individual yang bersifat material.
Pendekatan legalistik yang digunakan pemerintah dalam pengadaan tanah IKN menciptakan sebuah "kekerasan yuridis". Dengan berlindung di balik UU IKN dan UU Pengadaan Tanah, negara dapat secara sah mengambil alih lahan tanpa sepenuhnya mengakomodasi hak-hak substantif masyarakat adat. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang merupakan standar internasional dalam setiap proyek yang berdampak pada masyarakat adat, tampak tidak menjadi prioritas utama. Sosialisasi yang dilakukan sering kali bersifat satu arah—memberitahukan rencana pemerintah, bukan membuka ruang dialog yang setara untuk negosiasi. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit: menerima kompensasi yang mungkin tidak adil atau berisiko kehilangan segalanya tanpa kompensasi apa pun.
Lebih jauh lagi, dampak dari penggusuran ini tidak hanya bersifat ekonomi. Kehilangan tanah bagi masyarakat adat berarti tercerabutnya mereka dari akar budaya dan identitas. Tanah bukan sekadar aset produksi, melainkan ibu yang memberi kehidupan, tempat para leluhur dimakamkan, dan pusat dari ritual-ritual adat. Ketika hutan diubah menjadi beton dan lahan pertanian menjadi kawasan komersial, yang hilang bukan hanya mata pencaharian, tetapi juga pengetahuan tradisional tentang ekologi, obat-obatan herbal, dan tatanan sosial yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Ini adalah bentuk pemiskinan struktural yang dampaknya akan dirasakan lintas generasi.
Untuk mencegah konflik sosial yang lebih dalam, diperlukan sebuah terobosan hukum dan kebijakan. Pertama, pemerintah pusat dan Otorita IKN harus proaktif melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat di seluruh kawasan IKN dan sekitarnya. Proses ini harus melibatkan lembaga adat, organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan para ahli antropologi. Kedua, harus ada mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan berperspektif hak asasi manusia, bukan sekadar mekanisme ganti rugi. Ini bisa berupa pembentukan komisi independen yang bertugas memverifikasi klaim adat dan menengahi sengketa antara masyarakat dengan Otorita IKN. Ketiga, skema kompensasi harus diubah dari sekadar ganti rugi material menjadi skema bagi hasil atau kepemilikan saham di proyek-proyek tertentu di IKN, sehingga masyarakat adat tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menjadi bagian dari pembangunan.
Pada akhirnya, pembangunan IKN adalah cermin dari cara negara memandang warganya. Apakah pembangunan hanya untuk segelintir elite dan investor, atau untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk mereka yang paling rentan seperti masyarakat adat? Jika IKN ingin benar-benar menjadi kota dunia yang berkelanjutan dan inklusif, maka fondasi pertamanya harus dibangun di atas penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia, terutama hak masyarakat adat atas tanah leluhur mereka. Tanpa itu, IKN hanya akan menjadi monumen megah yang berdiri di atas air mata dan ketidakadilan.