Api Demokrasi atau Amuk Massa? Gelombang Protes di Senayan yang Mengguncang Ibu Kota


Langit Jakarta seolah ikut meredup pada Senin, 25 Agustus lalu. Bukan karena awan mendung, melainkan karena gumpalan asap hitam yang membubung dari kawasan Senayan, episentrum kekuasaan legislatif Indonesia. Apa yang dimulai sebagai sebuah demonstrasi damai ribuan orang yang menuntut peninjauan ulang kenaikan gaji dan dana pensiun para pejabat negara, dalam hitungan hari, bermetamorfosis menjadi sebuah gelombang amuk massa yang tak terkendali, meninggalkan luka mendalam bagi demokrasi dan wajah ibu kota.

Semuanya berawal dari sebuah ironi. Di tengah lesunya perekonomian pasca-pandemi yang masih terasa, di saat sebagian besar rakyat masih berjuang untuk menata kembali hidup mereka, kabar persetujuan kenaikan gaji dan tunjangan bagi para wakil rakyat dan pejabat negara menjadi pemantik api. "Kami datang dengan damai! Kami hanya ingin suara kami didengar!" teriak seorang orator dari atas mobil komando pada hari pertama aksi. Ribuan orang yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya mengamini. Spanduk-spanduk berisi satire pedas hingga tuntutan serius terbentang, ditujukan langsung ke Gedung Kura-Kura yang berdiri megah di hadapan mereka.

Hari pertama dan kedua, aksi berjalan relatif tertib. Negosiasi coba diupayakan. Beberapa perwakilan massa diterima oleh pimpinan dewan, namun pertemuan itu berakhir buntu. "Kami hanya diberi janji-janji klise. Mereka tidak benar-benar mendengarkan," ujar salah satu perwakilan mahasiswa dengan nada kecewa usai pertemuan. Kebuntuan inilah yang menjadi bensin yang menyiram bara yang sudah ada. Kesabaran massa menipis seiring teriknya matahari Jakarta.

Memasuki hari ketiga, Rabu, 27 Agustus, suasana mulai berubah drastis. Jumlah massa membengkak, kini mencapai puluhan ribu. Barikade kawat berduri dan barisan aparat keamanan yang semula hanya berjaga, kini tampak seperti benteng pertahanan terakhir. Sore hari, ketegangan mencapai puncaknya. Dorong-mendorong antara massa dan aparat tak terhindarkan. Sebuah lemparan botol dari arah kerumunan menjadi penanda dimulainya babak baru yang mengerikan: kekacauan.

Polisi merespons dengan tembakan gas air mata. Udara yang semula dipenuhi pekik orasi kini berganti dengan suara batuk dan jeritan pedih. Massa yang panik terpecah. Namun, sebagian besar tidak mundur. Kemarahan mereka justru tersulut lebih hebat. Batu, botol, hingga potongan kayu beterbangan ke arah aparat. Barikade berhasil diterobos. Pintu gerbang utama Gedung DPR/MPR yang ikonik itu jebol oleh kekuatan ribuan orang yang marah.

Inilah momen ketika demonstrasi kehilangan arahnya. Massa yang berhasil masuk meluapkan amarahnya pada apa saja yang mereka lihat. Kaca-kaca gedung pecah berderai, fasilitas lobi hancur, dan api mulai terlihat di beberapa titik. Aparat yang terdesak mundur untuk berkonsolidasi, meninggalkan kompleks parlemen dalam cengkeraman massa untuk sesaat. "Ini bukan lagi soal tuntutan, ini soal pelampiasan. Mereka marah pada sistem, pada simbol-simbol kemewahan yang selama ini mereka lihat," tutur Ardi, seorang jurnalis foto yang terjebak di tengah kerusuhan. Matanya memerah, bukan hanya karena sisa gas air mata, tapi juga karena menyaksikan pemandangan yang tak pernah ia bayangkan.

Kekacauan tidak berhenti di Senayan. Malam harinya, gelombang massa yang lebih kecil namun lebih beringas mulai bergerak menyebar. Sasaran mereka kini lebih personal: rumah-rumah pejabat negara yang dianggap bertanggung jawab atas kebijakan yang menyakiti hati rakyat. Laporan-laporan mulai masuk dengan cepat. Rumah dinas anggota dewan di kawasan Kalibata dan Ulujami diserang. Pagar-pagar dirobohkan, mobil-mobil yang terparkir di halaman dilempari batu, bahkan beberapa di antaranya dibakar.

Warga sekitar yang semula hanya menonton dari kejauhan, kini dilanda ketakutan. "Kami tidak bisa tidur semalaman. Suara teriakan, pecahan kaca, dan sirine terus bersahutan. Rasanya seperti zona perang," kata Ibu Rina, seorang warga yang tinggal tak jauh dari salah satu rumah pejabat yang menjadi sasaran. Ketakutan itu nyata, terasa di setiap sudut gang dan jalanan. Ibu kota lumpuh dalam semalam.

Hingga akhir pekan, situasi tak kunjung sepenuhnya reda. Meski aparat berhasil memukul mundur massa dari kompleks parlemen dan objek-objek vital lainnya, bentrokan-bentrokan kecil masih sporadis terjadi. Senayan berubah menjadi hamparan puing. Sisa-sisa ban yang terbakar, pecahan kaca, selongsong gas air mata, dan spanduk-spanduk yang kini terinjak-injak menjadi saksi bisu dari apa yang terjadi.

Peristiwa ini meninggalkan pertanyaan besar yang menggantung di udara Jakarta yang pengap oleh sisa-sisa kemarahan. Apakah ini puncak dari akumulasi kekecewaan rakyat yang tak pernah didengar? Ataukah ada pihak-pihak yang menunggangi aksi murni ini untuk menciptakan destabilisasi? Di antara puing-puing demokrasi di Senayan, satu hal yang pasti: kepercayaan publik pada para penguasanya kini berada di titik terendah, dan membangunnya kembali akan jauh lebih sulit daripada membersihkan sisa-sisa kerusuhan di jantung ibu kota.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama