Di tengah kobaran api kerusuhan yang melanda ibu kota dan sejumlah daerah, sebuah percikan api lain muncul di ranah digital, mengancam untuk membakar reputasi dua politisi ternama Senayan. Nama Ahmad Sahroni dan Eko Patrio tiba-tiba menjadi buah bibir, bukan karena pernyataan politik mereka, melainkan karena isu liar yang menyebar secepat kilat di media sosial: keduanya dikabarkan telah 'kabur' ke luar negeri.
Isu ini pertama kali mengemuka pada Jumat malam, ketika situasi keamanan nasional sedang berada di titik paling genting. Berawal dari beberapa cuitan anonim di platform X (dulu Twitter) dan unggahan di grup-grup WhatsApp, narasi kepergian dua anggota DPR RI ini dengan cepat liar dan bercabang. Beberapa akun bahkan menyertakan tangkapan layar data penerbangan yang kebenarannya sangat diragukan, menunjukkan nama yang mirip dengan keduanya dalam manifes penerbangan menuju Singapura dan Kuala Lumpur.
Sontak, jagat maya bergemuruh. Warganet, yang emosinya sudah terpancing oleh kerusuhan yang terjadi, seolah menemukan sasaran baru untuk meluapkan kekecewaan. Berbagai spekulasi dan tudingan keji pun dialamatkan kepada keduanya. Mereka dituduh melarikan diri dari tanggung jawab, meninggalkan negara di saat-saat kritis, bahkan dianggap terlibat dalam masalah yang lebih besar yang memicu kerusuhan tersebut. "Enak ya, rakyatnya susah, wakilnya malah piknik ke luar negeri," tulis seorang pengguna Instagram di kolom komentar sebuah portal berita.
Kekuatan rumor ini semakin menjadi-jadi karena momentumnya yang sangat tepat. Ahmad Sahroni, yang dikenal vokal dan memiliki posisi strategis sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan, adalah figur yang sangat relevan dengan situasi saat ini. Ketiadaannya di ruang publik pada saat genting seperti ini menjadi pertanyaan besar.
Kondisi diperparah dengan beredarnya sebuah informasi—yang kemudian dikonfirmasi oleh sumber internal di parlemen—bahwa Ahmad Sahroni telah dicopot dari jabatannya sebagai pimpinan komisi. Meski belum ada rilis resmi dari pimpinan DPR maupun partai yang menaunginya, kabar pencopotan ini seolah menjadi pembenaran bagi narasi 'pelarian' tersebut. Publik mulai mengaitkan-ngaitkan. Apakah pencopotan ini adalah hukuman karena ia melarikan diri? Ataukah ia melarikan diri karena tahu akan dicopot dan menghadapi masalah hukum yang lebih serius?
"Ini adalah contoh sempurna bagaimana ruang hampa informasi dapat diisi oleh disinformasi," jelas Dr. Riant Nugraha, seorang pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina. "Ketika pejabat publik yang biasanya aktif di media sosial mendadak senyap di tengah krisis, dan tidak ada klarifikasi resmi dari lembaga terkait, maka publik akan membuat kesimpulan sendiri. Dan biasanya, kesimpulan itu adalah yang paling buruk."
Hal yang sama juga menimpa Eko Patrio. Sebagai seorang figur publik yang beralih menjadi politisi, Eko memiliki popularitas yang membuatnya selalu menjadi sorotan. Keterkaitannya dengan beberapa bisnis dan lingkaran pertemanan para pesohor membuat isu kepergiannya semakin berwarna. Narasi yang beredar menyebutkan ia pergi untuk 'mengamankan aset' di luar negeri, sebuah tuduhan serius yang sama sekali belum terbukti.
Hingga Minggu siang, belum ada satu pun konfirmasi resmi dari kedua belah pihak. Upaya para jurnalis untuk menghubungi Ahmad Sahroni dan Eko Patrio melalui telepon seluler maupun pesan singkat tidak membuahkan hasil. Staf dan orang-orang terdekat mereka pun memilih untuk bungkam, hanya menyatakan bahwa "Bapak sedang ada agenda lain" tanpa memberikan rincian yang jelas. Kesenyapan ini, alih-alih meredakan situasi, justru semakin menyuburkan spekulasi.
Pihak imigrasi, ketika dikonfirmasi, menolak untuk memberikan data perlintasan individu dengan alasan kerahasiaan data pribadi, kecuali ada permintaan resmi untuk kepentingan penyidikan. Pernyataan normatif ini tentu tidak memuaskan dahaga publik akan kebenaran.
Di tengah kebingungan ini, isu tersebut telah berhasil mengalihkan sebagian perhatian publik dari substansi masalah utama, yaitu kerusuhan dan tuntutan para demonstran. Perdebatan di media sosial terbelah antara mereka yang mengutuk para politisi yang dituduh melarikan diri dan mereka yang mencoba mengingatkan untuk tidak mudah percaya pada rumor.
Pada akhirnya, kisah ini menjadi cerminan betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap para elite politik. Tanpa perlu bukti yang kuat, sebuah rumor dapat dengan mudah diterima sebagai kebenaran hanya karena ia sesuai dengan prasangka dan kekecewaan yang sudah lama terpendam. Apakah Ahmad Sahroni dan Eko Patrio benar-benar berada di luar negeri? Atau mereka hanya memilih untuk menenangkan diri di suatu tempat di dalam negeri sambil menunggu badai reda? Jawaban atas pertanyaan itu kini menjadi tidak sepenting kerusakan yang telah ditimbulkan oleh rumor itu sendiri. Nama baik mereka telah tercoreng, dan di pengadilan opini publik, mereka telah divonis bersalah bahkan sebelum sempat membela diri.