Sebuah negara tengah berada di titik didih. Dari Sabang sampai Merauke, jalanan yang biasanya dipenuhi hiruk pikuk aktivitas ekonomi kini berubah menjadi lautan manusia yang meluapkan amarah. Indonesia, dalam beberapa hari terakhir, menyaksikan salah satu eskalasi protes massa terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Pemicunya bukan lagi sekadar satu isu tunggal, melainkan akumulasi kekecewaan yang menemukan momentumnya dalam sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan: kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online (ojol) berusia 21 tahun. Kematiannya, yang terekam dalam video viral yang menyayat hati, diduga akibat terlindas oleh kendaraan taktis (rantis) Brimob, menjadi simbol brutalitas dan memantik api yang lebih besar dari sekadar penolakan terhadap tunjangan perumahan anggota DPR yang menjadi pemantik awal.
Rangkaian peristiwa ini dimulai dari percikan yang relatif kecil di dunia maya. Wacana mengenai kenaikan tunjangan perumahan bagi 580 anggota parlemen di tengah kesulitan ekonomi rakyat memicu perdebatan sengit dan sinisme publik. Namun, apa yang semula hanya berupa kritik dan satire di media sosial, dengan cepat bertransformasi menjadi aksi nyata di jalanan. Mahasiswa dan elemen masyarakat sipil mulai bergerak, menyuarakan aspirasi mereka di depan gedung-gedung parlemen di berbagai daerah. Demonstrasi pada awalnya berjalan dengan tensi yang terkendali, sebuah ritual demokrasi yang sudah biasa terjadi. Namun, semua berubah pada malam yang nahas itu di Jakarta. Dalam pusaran aksi di kompleks parlemen, di mana gas air mata dan barikade menjadi pemandangan umum, tragedi itu terjadi. Video yang menunjukkan detik-detik rantis Brimob melaju di tengah kerumunan dan insiden yang menimpa Affan Kurniawan menyebar seperti api. Dalam hitungan jam, narasi protes bergeser total. Ini bukan lagi soal tunjangan; ini soal keadilan, kemanusiaan, dan akuntabilitas institusi negara.
Gelombang amarah kemudian pecah tak terbendung. Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan lokasi tragedi, menjadi episentrum ledakan sosial. Dari Markas Brimob di Kwitang hingga berbagai sudut kota, massa—yang kini didominasi oleh ribuan pengemudi ojol berjaket hijau—turun ke jalan. Solidaritas komunitas ojol yang terkenal kuat menjadi tulang punggung gerakan ini. Mereka tidak hanya menuntut keadilan bagi rekan mereka, tetapi juga menyuarakan frustrasi yang lebih dalam tentang posisi mereka sebagai kelas pekerja yang rentan. Aksi di Jakarta dengan cepat menjadi barometer bagi daerah lain. Surabaya, kota pahlawan, menyaksikan pemandangan yang mencekam. Gedung Negara Grahadi, simbol pemerintahan Jawa Timur, menjadi sasaran amuk massa. Api berkobar, kendaraan dibakar, dan pusat perbelanjaan ikonik seperti Tunjungan Plaza menjadi latar belakang bentrokan sengit antara demonstran dan aparat.
Di seberang lautan, di Makassar, Sulawesi Selatan, eskalasi mencapai tingkat yang lebih tragis. Kemarahan massa diluapkan dengan membakar Gedung DPRD. Peristiwa ini bukan hanya mengakibatkan kerugian materiel yang masif, tetapi juga merenggut nyawa, dengan laporan adanya korban jiwa yang terjebak di dalam gedung yang terbakar. Insiden ini menunjukkan betapa dalamnya tingkat ketidakpercayaan dan kemarahan publik terhadap institusi politik. Kota-kota lain seperti Bandung, Solo, dan Yogyakarta tak luput dari gejolak serupa. Di Bandung, mobil-mobil di sekitar Gedung Sate dan DPRD Jawa Barat menjadi sasaran pembakaran. Di Solo, kota yang dikenal tenang, suasana menjadi tegang dengan aksi blokade jalan dan bentrokan sporadis. Fenomena ini menunjukkan bahwa isu yang terjadi di Jakarta memiliki resonansi yang kuat di seluruh negeri, menandakan adanya persoalan fundamental yang dirasakan secara kolektif oleh masyarakat.
Para analis sosial dan politik melihat fenomena ini sebagai manifestasi dari "puncak gunung es" ketidakpuasan publik. Isu tunjangan DPR dan tragedi ojol hanyalah pemicu terakhir dari serangkaian kekecewaan yang telah menumpuk lama. Mulai dari persepsi terhadap penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, hingga arogansi elite politik yang dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Media sosial memainkan peran krusial sebagai akselerator. Informasi, baik yang akurat maupun yang bersifat provokatif, menyebar tanpa filter, memobilisasi massa dalam waktu singkat dan membentuk opini publik secara masif. Pemerintah dan aparat keamanan kini dihadapkan pada tantangan yang sangat berat: bagaimana meredam amarah tanpa menimbulkan korban lebih lanjut, dan yang lebih penting, bagaimana mengembalikan kepercayaan publik yang telah terkikis begitu dalam. Langkah-langkah awal seperti permintaan maaf dari Kapolri dan dimulainya investigasi terhadap personel Brimob adalah langkah yang niscaya, namun pasarannya adalah apakah langkah-langkah tersebut cukup untuk memuaskan dahaga publik akan keadilan sejati. Indonesia kini berada di persimpangan jalan, di mana respons negara terhadap krisis ini akan menentukan arah stabilitas sosial dan politiknya di masa depan.