Di tengah deru protes dan kepulan asap di jalanan ibu kota, sebuah proses senyap namun krusial tengah berlangsung di balik dinding markas kepolisian. Tujuh personel Korps Brigade Mobil (Brimob) kini berada di bawah sorotan tajam Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Mereka adalah orang-orang yang berada di dalam kendaraan taktis (rantis) Wolf Rimueng buatan Korea Selatan pada malam tragis yang merenggut nyawa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online. Penyelidikan terhadap mereka bukan lagi sekadar prosedur internal, melainkan telah menjadi pertaruhan terbesar bagi citra dan akuntabilitas institusi Polri di mata publik yang sedang terluka dan marah. Proses ini akan menjadi ujian litmus, apakah negara mampu memberikan keadilan yang transparan atau kembali terjebak dalam siklus impunitas yang selama ini dikritik.
Langkah cepat yang diambil oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memerintahkan penyelidikan dan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka menandakan kesadaran institusi akan gentingnya situasi. Dalam iklim sosial yang sangat sensitif, di mana rekaman video kejadian telah menjadi "hakim" di pengadilan media sosial, setiap penundaan atau kesan menutup-nutupi dapat memicu eskalasi yang lebih parah. Tim dari Propam Polri dan Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) segera dibentuk untuk melakukan pemeriksaan mendalam. Fokus investigasi tidak hanya terbatas pada aspek pidana, tetapi juga pelanggaran kode etik profesi yang berat. Pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus dijawab adalah: Apa perintah yang diterima oleh awak rantis saat itu? Mengapa kendaraan tersebut melaju ke arah kerumunan massa? Apakah ada pelanggaran prosedur tetap (protap) dalam pengendalian massa? Dan yang terpenting, apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa?
Tantangan terbesar dalam penyelidikan ini adalah objektivitas dan transparansi. Polri harus berhadapan dengan skeptisisme publik yang telah lama terbentuk. Sejarah mencatat sejumlah kasus kekerasan aparat yang penanganannya dianggap tidak tuntas atau tidak adil, menciptakan luka kolektif dalam memori masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan lembaga eksternal seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menjadi sangat vital. Kehadiran mereka sebagai pengawas independen diharapkan dapat memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai koridor, bebas dari intervensi, dan semua fakta diungkap secara terang benderang. Komnas HAM, misalnya, akan menelisik dari perspektif potensi pelanggaran HAM, terutama hak untuk hidup dan hak atas rasa aman.
Dari sisi hukum, para personel yang terlibat dapat dijerat dengan pasal berlapis. Jika ditemukan unsur kelalaian, mereka bisa dihadapkan pada Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian yang menyebabkan kematian. Namun, jika investigasi menemukan adanya unsur kesengajaan atau penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) yang tidak dapat dibenarkan, dakwaan yang lebih berat seperti penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) atau bahkan pembunuhan (Pasal 338 KUHP) bisa saja diterapkan. Selain proses pidana umum, mereka juga akan menghadapi sidang kode etik kepolisian. Sanksi terberat dalam sidang etik adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), sebuah keputusan yang sering kali dituntut oleh publik sebagai bentuk pertanggungjawaban institusional.
Penyelidikan ini juga membuka kembali diskursus yang lebih luas mengenai reformasi di tubuh Polri, khususnya terkait pendekatan dalam penanganan unjuk rasa. Penggunaan kendaraan taktis berat di tengah kerumunan demonstran sipil menjadi pertanyaan besar. Para ahli keamanan dan aktivis masyarakat sipil berargumen bahwa pendekatan keamanan (security approach) yang represif seringkali terbukti kontraproduktif dan justru memicu eskalasi kekerasan. Seharusnya, pendekatan yang lebih humanis dan persuasif, yang mengedepankan komunikasi dan de-eskalasi, lebih diutamakan. Tragedi ini menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa evaluasi menyeluruh terhadap doktrin, peralatan, dan pelatihan personel dalam menghadapi massa aksi adalah sebuah urgensi yang tidak bisa ditawar lagi. Hasil dari penyelidikan ini akan mengirimkan pesan yang kuat. Jika prosesnya berjalan adil dan transparan dengan sanksi yang setimpal, ini bisa menjadi langkah awal untuk memulihkan kepercayaan publik. Namun, jika hasilnya mengecewakan dan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, itu hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan dan menanam benih konflik sosial yang lebih besar di masa depan. Seluruh mata bangsa kini tertuju pada proses ini, menanti jawaban atas satu pertanyaan sederhana namun fundamental: apakah keadilan dapat benar-benar ditegakkan?