Api Amarah di Daerah: Kronologi Pembakaran DPRD Makassar dan Kerusuhan Surabaya

Sementara mata bangsa tertuju pada episentrum gejolak di Jakarta, api kemarahan yang sesungguhnya berkobar dengan intensitas yang lebih merusak di dua kota besar lainnya: Makassar dan Surabaya. Peristiwa di kedua kota ini bukan sekadar riak dari gelombang protes nasional, melainkan manifestasi puncak dari amarah massa yang berubah menjadi aksi destruktif. Di Makassar, Gedung DPRD, simbol demokrasi perwakilan, hangus dilalap api dalam sebuah insiden tragis yang bahkan merenggut korban jiwa. Di Surabaya, jalanan di sekitar Gedung Negara Grahadi dan pusat perbelanjaan berubah menjadi medan pertempuran. Merekam kembali kronologi di kedua kota ini adalah upaya untuk memahami bagaimana kekecewaan kolektif dapat bermetastasis menjadi anarki yang melumpuhkan.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, ketegangan telah terasa sejak sore hari. Massa yang terdiri dari berbagai elemen, termasuk mahasiswa dan masyarakat umum, berkumpul di sekitar Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di Jalan Urip Sumoharjo. Awalnya, aksi berjalan dengan orasi-orasi yang menyuarakan tuntutan keadilan atas tragedi yang menimpa Affan Kurniawan di Jakarta. Namun, seiring berjalannya waktu dan tidak adanya respons yang dianggap memuaskan, kesabaran massa mulai menipis. Menjelang malam, situasi berubah drastis. Aksi saling lempar antara demonstran dan aparat keamanan yang berjaga menjadi pemantik eskalasi.

Puncak kengerian terjadi ketika sekelompok massa berhasil menembus barikade dan merangsek masuk ke dalam kompleks gedung dewan. Dalam sekejap, api mulai terlihat dari beberapa titik di dalam gedung. Api dengan cepat membesar, melahap interior gedung yang berisi materi-materi mudah terbakar. Kepanikan terjadi. Asap hitam tebal membubung ke langit malam kota Makassar, menjadi sinyal visual yang mengerikan tentang runtuhnya ketertiban. Upaya pemadaman api terhambat oleh situasi yang masih chaos di luar gedung. Di tengah kobaran api, berita yang lebih tragis muncul: ada orang yang terjebak di dalam. Laporan awal menyebutkan setidaknya satu orang tewas, seorang pegawai pemerintah daerah yang tidak sempat menyelamatkan diri. Korban jiwa ini menambah daftar kelam dari rangkaian protes nasional, mengubah aksi perusakan fasilitas menjadi sebuah tragedi kemanusiaan. Pembakaran Gedung DPRD Makassar adalah sebuah pesan simbolik yang brutal: ketika suara rakyat tidak lagi didengar melalui jalur demokrasi formal, maka simbol-simbol demokrasi itu sendiri yang menjadi sasaran kemarahan.

Di waktu yang hampir bersamaan, ribuan kilometer jauhnya di Surabaya, Jawa Timur, suasana "Kota Pahlawan" juga memanas. Titik konsentrasi massa berada di depan Gedung Negara Grahadi di Jalan Gubernur Suryo, kediaman resmi Gubernur Jawa Timur. Seperti di kota-kota lain, demonstrasi diawali dengan damai, namun tensi meningkat tajam saat malam tiba. Bentrokan tak terhindarkan. Massa yang marah mulai melakukan perusakan. Pagar gedung pemerintahan dijebol, dan beberapa kendaraan yang terparkir di sekitar lokasi, termasuk mobil dinas, menjadi sasaran pembakaran.

Kerusuhan kemudian meluas ke area komersial di sekitarnya, termasuk kawasan Jalan Tunjungan, salah satu arteri utama dan pusat perbelanjaan ikonik di Surabaya. Api dilaporkan berkobar di depan Tunjungan Plaza, menciptakan pemandangan yang sureal: gemerlap lampu pusat perbelanjaan modern berpadu dengan kobaran api amarah jalanan. Aparat keamanan berupaya membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata dan menggunakan meriam air, namun perlawanan dari demonstran cukup sengit. Mereka membalas dengan lemparan batu, botol, dan bahkan kembang api. Jalanan di jantung kota Surabaya lumpuh total selama beberapa jam, berubah menjadi zona konflik terbuka. Kerusuhan di Surabaya menunjukkan bahwa sentimen anti-kemapanan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah tidak hanya terpusat di Jakarta, tetapi telah merasuk kuat di berbagai daerah. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa stabilitas di kota-kota besar sangat rapuh dan dapat dengan cepat terkoyak ketika rasa keadilan kolektif terluka.

Kedua peristiwa di Makassar dan Surabaya memberikan pelajaran penting tentang dinamika protes massa. Mereka menunjukkan adanya titik kritis di mana frustrasi dapat dengan mudah melintasi batas dari aksi damai menjadi kekerasan destruktif. Faktor-faktor lokal, penanganan aparat di lapangan, dan tingkat kemarahan yang terpendam menjadi variabel penentu. Kini, kedua kota tersebut harus menghadapi tugas berat untuk memulihkan tidak hanya kerusakan fisik, tetapi juga luka sosial dan psikologis yang ditinggalkan oleh malam-malam yang mencekam itu.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama