Jaket Hijau Bersatu: Solidaritas Ojol sebagai Kekuatan Sosial Baru


Mereka adalah pemandangan sehari-hari di setiap sudut kota di Indonesia. Dengan jaket hijau khas mereka, mereka menyusuri kemacetan, mengantar makanan, barang, dan orang, menjadi urat nadi perekonomian digital yang terus menggeliat. Namun, dalam beberapa hari terakhir, para pengemudi ojek online (ojol) ini menunjukkan wajah mereka yang lain. Bukan sebagai pekerja gig economy individual, melainkan sebagai sebuah kekuatan kolektif yang terorganisir, solid, dan mampu mengguncang stabilitas nasional. Tragedi yang menimpa salah satu dari mereka, Affan Kurniawan, telah menjadi katalisator yang mengubah lautan jaket hijau di jalanan menjadi gelombang protes yang menuntut keadilan, mengubah mereka dari sekadar entitas ekonomi menjadi kekuatan sosial-politik baru yang patut diperhitungkan.

Solidaritas di kalangan pengemudi ojol bukanlah fenomena yang baru. Terbentuk dari pengalaman sehari-hari yang serupa—menghadapi ketidakpastian pendapatan, risiko di jalanan, dan kebijakan aplikator yang seringkali dianggap tidak adil—mereka telah membangun ikatan komunitas yang sangat kuat. Grup-grup WhatsApp, pangkalan-pangkalan informal di pinggir jalan, dan forum-forum online telah lama menjadi wadah mereka untuk berbagi informasi, saling membantu, dan bahkan mengorganisir aksi-aksi protes skala kecil terhadap perusahaan aplikasi. Namun, krisis saat ini mengangkat solidaritas itu ke level yang sama sekali berbeda. Kematian Affan Kurniawan tidak dilihat sebagai kecelakaan biasa, melainkan sebagai serangan terhadap seluruh komunitas mereka. Ia adalah "salah satu dari kita," seorang anak muda yang bekerja keras di jalanan, yang nasibnya bisa menimpa siapa saja di antara mereka.

Mobilisasi yang terjadi pasca-tragedi menunjukkan betapa efektifnya jaringan komunikasi informal mereka. Dalam hitungan jam setelah video insiden viral, seruan untuk aksi solidaritas menyebar dari satu grup WhatsApp ke grup lainnya. Tidak ada komando terpusat, tidak ada pemimpin tunggal. Gerakan ini bersifat organik, cair, dan dimotori oleh rasa senasib sepenanggungan. Tagar-tagar seperti #JusticeForAffan dan seruan "Jangan Lindas Kami Lagi" menjadi pekik perjuangan mereka di dunia maya, yang kemudian mereka wujudkan menjadi aksi nyata dengan turun ke jalan, mengepung markas polisi, dan menjadi garda depan dalam demonstrasi yang lebih besar. Kehadiran mereka secara massal memberikan energi dan skala yang berbeda pada protes kali ini, mengubahnya dari aksi yang didominasi mahasiswa menjadi gerakan rakyat yang lebih luas.

Fenomena ini juga menyoroti posisi unik ojol dalam struktur sosial-ekonomi Indonesia. Mereka adalah wajah dari kelas pekerja urban di era digital. Di satu sisi, mereka adalah mitra, wirausahawan mikro yang memiliki fleksibilitas. Namun di sisi lain, mereka adalah pekerja rentan tanpa jaminan sosial yang memadai, tanpa tunjangan kesehatan, dan tanpa kepastian hari tua. Frustrasi ekonomi ini menjadi bahan bakar yang subtil namun kuat di balik kemarahan mereka. Ketika mereka melihat negara, melalui aparaturnya, melakukan kekerasan fatal terhadap salah satu dari mereka, sementara di saat yang sama para elite politik menikmati fasilitas mewah, kontras tersebut menjadi terlalu tajam untuk diabaikan. Protes mereka bukan hanya tentang Affan; ini adalah teriakan tentang ketidakadilan yang lebih luas yang mereka rasakan setiap hari.

Lebih jauh, gerakan ojol ini menunjukkan pergeseran dalam lanskap aktivisme di Indonesia. Jika sebelumnya gerakan sosial seringkali diidentikkan dengan mahasiswa atau serikat buruh formal, kini komunitas-komunitas informal berbasis profesi atau identitas digital mampu menjadi aktor yang sangat kuat. Mereka mungkin tidak memiliki struktur organisasi yang formal, tetapi mereka memiliki sesuatu yang tak kalah penting: jaringan yang luas, kemampuan mobilisasi cepat melalui teknologi, dan narasi perjuangan yang kuat dan mudah dipahami oleh publik. Kisah seorang pengemudi ojol yang tewas saat mencari nafkah adalah narasi yang jauh lebih menyentuh dan memobilisasi emosi publik daripada argumen-argumen abstrak tentang demokrasi atau kebijakan publik. Pemerintah dan elite politik kini harus menyadari bahwa "jaket hijau" bukan lagi sekadar penyedia jasa transportasi. Mereka adalah sebuah konstituensi, sebuah blok sosial dengan aspirasi dan kekuatan nyata. Mengabaikan suara mereka atau merespons tuntutan mereka dengan kekerasan hanya akan terbukti menjadi kesalahan strategis yang fatal. Solidaritas ojol telah membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak selalu terletak pada struktur formal, tetapi pada ikatan kemanusiaan dan perjuangan bersama di tingkat akar rumput.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama