Kontroversi Pengangkatan Mantan Napi Korupsi Jadi ASN di PN Surabaya

SURABAYA – Sebuah keputusan kontroversial yang mengusik rasa keadilan publik datang dari institusi peradilan Indonesia. Seorang mantan narapidana kasus korupsi, yang sebelumnya pernah bertugas sebagai hakim, secara resmi diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Pengangkatan ini sontak memicu perdebatan sengit di kalangan praktisi hukum, aktivis anti-korupsi, dan masyarakat luas, serta mempertanyakan komitmen pemerintah dan Mahkamah Agung dalam memberantas korupsi dan menjaga marwah lembaga peradilan.

Keputusan yang dianggap sebagai preseden buruk ini terungkap setelah surat keputusan pengangkatan yang bersangkutan beredar di kalangan terbatas sebelum akhirnya dikonfirmasi oleh pihak-pihak terkait. Berdasarkan informasi yang dihimpun, hakim berinisial DS tersebut kembali ke institusi yang pernah mencoreng namanya, bukan lagi sebagai pengadil, melainkan sebagai staf administrasi dengan status ASN. Proses pengangkatannya disebut telah melalui serangkaian prosedur formal yang melibatkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) atas usulan dari Mahkamah Agung.

Sumber internal di lingkungan peradilan menyebutkan bahwa proses ini berjalan senyap namun sistematis. "Semua berjalan sesuai prosedur yang ada. Usulan datang dari atas (Mahkamah Agung), dan proses verifikasi di BKN tampaknya tidak menemukan halangan berarti," ujar sumber tersebut yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana seorang mantan terpidana kasus korupsi, kejahatan yang dikategorikan sebagai extraordinary crime, dapat lolos seleksi dan diangkat kembali menjadi abdi negara di lembaga peradilan?

Untuk memahami akar kontroversi ini, penting untuk menilik kembali kasus yang pernah menjerat DS. Beberapa tahun lalu, DS, yang saat itu menjabat sebagai hakim di salah satu pengadilan di luar Jawa, terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia terbukti menerima suap terkait penanganan sebuah perkara perdata yang tengah ditanganinya.

Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), terungkap bahwa DS menerima sejumlah uang dari pihak yang berperkara dengan janji akan memenangkan putusannya. Bukti-bukti yang dihadirkan jaksa KPK, mulai dari rekaman percakapan hingga bukti transfer, tidak dapat dibantah. Majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis bersalah dengan hukuman penjara selama beberapa tahun dan denda, serta pencabutan hak politik.

Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan DS telah selesai menjalani masa hukumannya. Setelah bebas, ia meniti jalan untuk kembali mengabdi, yang akhirnya berlabuh pada posisi ASN di PN Surabaya. Fenomena ini seolah menjadi justifikasi bahwa hukuman pidana bagi koruptor tidak memberikan efek jera yang permanen, terutama dalam konteks akses kembali ke sektor publik.

Pengangkatan DS menjadi ASN memicu perdebatan mengenai regulasi yang berlaku. Secara umum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) secara tegas melarang seorang yang pernah dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara 2 tahun atau lebih, untuk diangkat menjadi PNS.

Namun, terdapat dinamika hukum yang kompleks, terutama setelah adanya beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan penafsiran berbeda terhadap syarat tersebut. Beberapa putusan MK memberikan ruang bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik tertentu setelah melewati masa jeda waktu tertentu dan mengumumkan statusnya secara terbuka kepada publik. Akan tetapi, para ahli hukum berpendapat bahwa putusan tersebut lebih relevan untuk jabatan politik yang dipilih melalui mekanisme elektoral, bukan untuk jabatan karir seperti ASN, apalagi di lembaga yudikatif.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, memberikan kritik tajam terhadap pengangkatan ini. "Ini adalah sebuah ironi dan kemunduran luar biasa bagi reformasi birokrasi dan peradilan. Mahkamah Agung seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas, bukan malah memberikan karpet merah bagi mantan koruptor untuk kembali masuk," tegasnya dalam siaran pers.

Menurut Lalola, membiarkan mantan narapidana korupsi kembali menjadi ASN di pengadilan sama saja dengan menormalisasi korupsi. "Pesan apa yang ingin disampaikan kepada publik? Bahwa setelah dihukum, seorang koruptor bisa kembali bekerja di pusat keadilan? Ini merusak kepercayaan publik secara fundamental," tambahnya.

Di sisi lain, pihak Mahkamah Agung (MA) dan BKN kemungkinan akan berlindung di balik argumen prosedural dan hak asasi manusia. Argumen yang mungkin muncul adalah bahwa setiap warga negara yang telah selesai menjalani hukumannya memiliki hak untuk kembali bekerja dan berkontribusi, sesuai dengan prinsip reintegrasi sosial. Selama seluruh persyaratan administrasi terpenuhi, maka secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar.

Seorang pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Zainal Arifin Mochtar, berpendapat bahwa persoalan ini tidak bisa dilihat dari kacamata hukum prosedural semata. "Hukum tidak hidup di ruang hampa. Ada etika, moralitas, dan rasa keadilan publik yang harus dipertimbangkan. Khusus untuk lembaga peradilan, standar integritasnya harus beyond reproach atau tidak tercela sama sekali," jelasnya.

Menurut Zainal, pengangkatan ini menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam proses rekrutmen ASN yang tidak menjadikan rekam jejak integritas sebagai syarat mutlak. "Seharusnya ada filter yang lebih ketat. Sistem verifikasi tidak boleh hanya mengandalkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), tetapi juga harus melibatkan penelusuran rekam jejak digital dan putusan pengadilan," sarannya.

Keputusan ini tak pelak akan menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan. Pertama, hal ini akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang selama ini terus berjuang untuk memulihkan citranya dari berbagai skandal korupsi dan mafia peradilan. Publik akan semakin skeptis terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.

Kedua, ini dapat menjadi preseden berbahaya yang bisa diikuti oleh institusi lain. Jika lembaga peradilan saja bisa menerima kembali mantan koruptor, maka tidak ada lagi benteng moral yang bisa mencegah lembaga eksekutif atau legislatif melakukan hal serupa.

Ketiga, bagi internal institusi peradilan sendiri, kehadiran seorang ASN dengan latar belakang narapidana korupsi dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat. Ini bisa menurunkan moral para hakim dan pegawai yang berintegritas, serta membuka potensi konflik kepentingan di masa depan.

Pada akhirnya, kasus ini menjadi cermin dari tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam perang melawan korupsi. Perang ini bukan hanya tentang menangkap dan memenjarakan para koruptor, tetapi juga tentang memastikan bahwa mereka yang telah terbukti mengkhianati amanah publik tidak lagi diberi kesempatan untuk kembali menduduki posisi strategis di pemerintahan. Tanpa ketegasan dalam menjaga benteng integritas, cita-cita reformasi birokrasi dan peradilan yang bersih akan selamanya menjadi angan-angan. Publik kini menanti langkah tegas dari Mahkamah Agung dan pemerintah untuk meninjau kembali keputusan yang telah melukai rasa keadilan ini.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama