Di sebuah jalan tanah berlumpur yang membelah hamparan kebun karet dan hutan sekunder di Desa Suka Makmur, Kabupaten Rokan Hulu, sebuah drama kemanusiaan yang merepresentasikan ribuan konflik serupa di seluruh nusantara sedang berlangsung. Selama lebih dari sepekan, ratusan warga dari masyarakat adat Suku Petalangan, bersama para petani lokal, mendirikan tenda-tenda darurat, memasak dengan kayu bakar, dan secara bergantian membentuk barikade manusia. Tujuan mereka satu: menghadang laju buldoser dan ekskavator milik PT Agro Lestari Jaya (ALJ), sebuah korporasi perkebunan kelapa sawit raksasa, yang bersiap untuk meratakan lahan seluas 5.000 hektare untuk dijadikan perkebunan monokultur. Bagi warga, lahan itu bukan sekadar tanah kosong; ia adalah tanah ulayat, ruang hidup, dan sumber penghidupan yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Konflik ini meletus ketika PT ALJ, dengan bekal perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang baru saja diterbitkan oleh pemerintah pusat, mulai mengerahkan alat-alat beratnya. Warga yang terkejut mendapati hutan tempat mereka mencari rotan, madu, dan kayu bakar, serta kebun-kebun durian tua mereka, mulai ditandai dengan patok-patok beton. Batin Sembilan, kepala adat Suku Petalangan yang dihormati, dengan suara bergetar menahan amarah, menceritakan kronologi versinya. "Tidak ada pemberitahuan, tidak ada musyawarah, tidak ada dialog. Mereka datang seperti pencuri di malam hari, membawa surat dari Jakarta yang tidak kami mengerti, dan mengklaim ini tanah mereka. Ini tanah kami! Di sini kuburan nenek moyang kami. Setiap jengkal tanah ini memiliki nama dan cerita. Mereka mau menghapus sejarah kami demi sawit," serunya di hadapan massa yang menyemut. Warga mengklaim bahwa lahan yang disengketakan adalah bagian integral dari wilayah adat mereka, yang eksistensinya diakui secara lisan dan turun-temurun, meskipun seringkali lemah di hadapan hukum positif negara.
Aksi blokade ini adalah puncak dari frustrasi yang menumpuk. Menurut Surya Dharma, seorang pemuda desa yang menjadi koordinator lapangan, warga telah menempuh berbagai jalur formal namun hasilnya nihil. "Kami sudah mengirim surat ke Bupati, ke Gubernur, ke Kementerian ATR/BPN, bahkan ke Komnas HAM. Jawabannya selalu sama: 'sedang diproses' atau 'perusahaan memiliki izin yang sah'. Hukum seolah hanya tajam ke bawah, kepada kami rakyat kecil, tapi tumpul ke atas, kepada korporasi besar yang punya uang dan koneksi," keluhnya. Warga menuduh proses penerbitan dan perpanjangan HGU PT ALJ sarat dengan malapraktik administrasi dan mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
Dari sisi korporasi, narasi yang dibangun tentu saja berbeda 180 derajat. PT ALJ, melalui manajer hubungan eksternalnya, Dedi Kurniawan, mengeluarkan rilis pers yang menegaskan legalitas operasi mereka. "PT ALJ adalah perusahaan yang taat hukum. Kami telah mengantongi HGU yang sah dan diterbitkan oleh negara melalui prosedur yang benar. Lahan tersebut, menurut data pemerintah, adalah kawasan hutan produksi yang telah melalui proses pelepasan kawasan. Kami juga berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat melalui program kemitraan plasma dan Corporate Social Responsibility (CSR)," tulis Dedi. Ia menyayangkan aksi blokade yang disebutnya sebagai tindakan anarkis dan ilegal yang mengganggu iklim investasi yang sedang coba dibangun pemerintah. "Kami telah berkoordinasi dengan aparat keamanan dan berharap agar hukum dapat ditegakkan sehingga kegiatan operasional kami bisa berjalan kembali."
Di lokasi, ketegangan terasa di udara. Puluhan aparat kepolisian dan TNI berjaga-jaga, menciptakan suasana yang intimidatif. Negosiasi yang coba dimediasi oleh pemerintah kabupaten selalu berakhir buntu, karena kedua belah pihak berpegang pada klaim kebenarannya masing-masing: warga berpegang pada hak historis-kultural, sementara perusahaan berpegang pada legalitas formal-administratif. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, yang memberikan pendampingan hukum kepada warga, mendesak adanya intervensi dari pemerintah pusat. "Kasus ini adalah bukti nyata kegagalan negara dalam mengimplementasikan reforma agraria dan melindungi hak masyarakat adat. Pemerintah tidak bisa hanya menjadi 'tukang stempel' izin korporasi. Harus ada audit menyeluruh terhadap HGU PT ALJ dan pengakuan resmi atas wilayah adat Suku Petalangan," kata seorang pengacara publik dari LBH Pekanbaru. Tanpa solusi yang berpihak pada keadilan agraria, bara konflik di Rokan Hulu ini hanyalah satu dari ribuan titik api lain yang siap membakar lanskap sosial-ekologis Indonesia kapan saja.