Jakarta – Udara politik di sekitar Istana Kepresidenan terasa semakin menghangat, bukan karena cuaca, melainkan karena bisik-bisik yang kian santer mengenai kemungkinan perombakan atau reshuffle kabinet. Memasuki bulan kesepuluh masa pemerintahan, sebuah periode yang dianggap cukup untuk melakukan evaluasi kinerja awal, spekulasi mengenai siapa menteri yang akan "kena kartu merah" menjadi topik utama di kalangan elite politik, pengamat, dan media massa. Reshuffle ini diyakini didorong oleh dua mesin utama yang saling terkait: evaluasi teknokratik atas kinerja para pembantu presiden dan kalkulasi politik untuk menjaga stabilitas serta mengakomodasi dinamika baru dalam koalisi partai pendukung.
Dari sisi kinerja, beberapa kementerian berada dalam sorotan tajam. Sektor ekonomi, yang menjadi pertaruhan utama citra pemerintah, menunjukkan sejumlah rapor merah yang sulit ditutupi. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2025 menjadi alarm yang berbunyi nyaring. Tingkat inflasi bahan pangan (volatile food) yang secara konsisten bertahan di atas 5% telah menggerus daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Harga komoditas pokok seperti beras, cabai, dan minyak goreng terus bergejolak, mengindikasikan adanya masalah struktural dalam rantai pasok dan kebijakan perdagangan. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan pun menjadi sasaran kritik utama. Di sisi lain, angka pengangguran terbuka yang stagnan di level 5,3% menunjukkan bahwa janji penciptaan jutaan lapangan kerja berkualitas belum terealisasi secara signifikan. Kementerian Ketenagakerjaan dan kementerian teknis terkait dianggap belum mampu menciptakan terobosan. "Presiden adalah seorang manajer yang berorientasi pada hasil. Beliau memegang data dan memantau langsung keluhan publik di lapangan. Jika seorang menteri gagal mencapai Key Performance Indicator (KPI) yang telah ditetapkan dan menjadi beban elektoral karena sentimen negatif publik, maka pergantian adalah sebuah langkah logis dan tak terhindarkan," analisis Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia.
Namun, politik di Indonesia jarang sekali sesederhana evaluasi kinerja. Mesin kedua yang mendorong reshuffle adalah dinamika internal koalisi yang kompleks. Kemenangan dalam Pilpres 2024 yang diraih dengan dukungan koalisi gemuk menuntut adanya seni manajemen kekuasaan yang lihai dari presiden. Setelah hampir setahun, peta kekuatan mulai terlihat. Ada partai yang merasa kontribusinya lebih besar dari porsi kursi yang didapat, menimbulkan potensi friksi internal. Ada pula menteri dari partai tertentu yang kinerjanya dianggap kurang menonjol, membuka peluang bagi partai lain untuk menyodorkan kader terbaiknya sebagai pengganti. Lebih jauh lagi, rumor mengenai merapatnya satu atau dua partai yang tadinya berada di luar pemerintahan semakin menambah rumit kalkulasi. "Ini adalah catur politik tingkat tinggi," lanjut Yunarto. "Presiden perlu memastikan stabilitas di parlemen untuk lima tahun ke depan. Mengajak kekuatan baru masuk ke dalam kabinet bisa menjadi strategi untuk meredam potensi oposisi dan mengamankan agenda-agenda legislasi strategis. Konsekuensinya, kursi menteri dari partai yang sudah ada mungkin harus dikorbankan atau digeser. Di sinilah negosiasi alot terjadi di balik layar."
Beberapa pos kementerian yang menjadi buah bibir untuk dirombak antara lain Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial (terkait efektivitas penyaluran bansos), dan bahkan satu pos Menteri Koordinator yang dianggap kurang memiliki daya gedor. Nama-nama calon pengganti, baik dari kalangan profesional yang dianggap memiliki keahlian spesifik maupun politisi senior yang dianggap mampu mengamankan dukungan politik, telah ramai diperbincangkan dalam berbagai forum diskusi. Sumber internal di salah satu partai koalisi utama membocorkan bahwa ketua umum partainya telah beberapa kali diundang untuk "minum teh sore" di Istana, sebuah kode informal yang seringkali ditafsirkan sebagai sesi konsultasi penting menjelang keputusan besar. Menanggapi semua spekulasi ini, Juru Bicara Presiden, Hasan Nasution, memberikan jawaban standar yang justru membiarkan ruang interpretasi tetap terbuka lebar. "Evaluasi kinerja kabinet adalah proses yang berjalan terus-menerus dan menjadi hak prerogatif penuh Bapak Presiden. Kabinet saat ini tetap fokus bekerja. Mengenai ada atau tidaknya reshuffle, kita semua sebaiknya menunggu pengumuman resmi dari Bapak Presiden sendiri," ujarnya. Jawaban yang penuh kehati-hatian ini, alih-alih meredam, justru semakin meyakinkan banyak pihak bahwa pengumuman reshuffle kabinet jilid pertama hanya tinggal menghitung hari.