Perang Opini di Piring Rakyat: Program MBG Digoyang Isu Babi
Jakarta – Di era di mana informasi melesat lebih cepat dari peluru, sebuah program pemerintah yang paling ambisius sekalipun bisa goyah hanya karena sebuah unggahan di media sosial. Inilah yang baru saja dialami oleh program "Makan Bergizi Gratis" (MBG), sebuah inisiatif andalan yang digadang-gadang menjadi solusi untuk masalah gizi dan stunting, namun kini justru harus berjuang melawan serangan disinformasi yang menyasar titik paling sensitif masyarakat Indonesia: isu kehalalan.
Semuanya berawal dari sebuah unggahan yang tampak sepele. Sebuah foto nampan makanan berwarna oranye, yang identik dengan yang digunakan dalam uji coba program MBG, disertai narasi provokatif yang mengklaim bahwa material nampan tersebut mengandung turunan minyak babi. Tanpa verifikasi, tanpa sumber yang jelas, informasi itu dilempar ke ruang publik digital. Dalam hitungan jam, unggahan tersebut menyebar secara viral, dibagikan ribuan kali di berbagai platform media sosial dan diteruskan berantai di grup-grup percakapan WhatsApp.
Narasi yang dibangun sangat efektif. Ia tidak menyerang kualitas makanan atau efektivitas distribusi, melainkan langsung menusuk ke jantung keyakinan mayoritas penduduk. Bagi masyarakat Muslim, kontaminasi dengan unsur babi, sekecil apa pun, adalah hal yang tidak bisa ditoleransi. Isu ini dengan cepat memicu keresahan, kecurigaan, dan bahkan kemarahan. Kolom komentar di akun-akun media sosial pemerintah dipenuhi dengan pertanyaan dan caci maki. Kepercayaan publik terhadap program yang bahkan belum berjalan sepenuhnya itu terancam runtuh sebelum sempat terbangun.
"Ini bukan lagi soal gizi, ini soal akidah," tulis seorang pengguna Facebook. "Bagaimana kita bisa percaya pada pemerintah jika untuk urusan halal saja mereka tidak bisa menjamin?" timpal yang lain.
Pemerintah menyadari betul bahaya dari bola liar ini. Jika dibiarkan, isu ini tidak hanya akan menyabotase program MBG, tetapi juga bisa menggerus wibawa pemerintah secara keseluruhan. Kantor Komunikasi Presiden (PCO) pun bergerak cepat. Mereka segera menggelar konferensi pers untuk memberikan klarifikasi. Dengan tegas, juru bicara PCO menyatakan bahwa informasi yang beredar adalah hoaks yang sengaja diembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Namun, di zaman skeptisisme ini, sekadar bantahan verbal tidaklah cukup. Publik menuntut bukti. Sadar akan hal ini, pemerintah mengambil langkah yang cerdas dan transparan. Mereka mengumumkan bahwa sampel nampan yang menjadi sumber polemik akan segera diserahkan kepada satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas dan kredibilitas untuk menguji hal tersebut: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Kami tidak akan melawan opini dengan opini. Kami akan menyajikan fakta. Biarkan para ahli di laboratorium BPOM yang bekerja dan membuktikan kebenarannya secara ilmiah," ujar juru bicara PCO dalam pernyataannya. "Kami mengundang semua pihak untuk bersabar dan tidak terprovokasi hingga hasil resminya keluar."
Langkah ini diapresiasi oleh banyak kalangan sebagai respons krisis yang tepat. Dengan melibatkan BPOM, pemerintah tidak hanya menunjukkan keseriusannya dalam menangani keresahan publik, tetapi juga memindahkan perdebatan dari ranah emosi dan sentimen ke ranah data dan sains. Ini adalah upaya untuk memadamkan api dengan air, bukan dengan meniupnya lebih kencang.
Insiden ini menjadi pelajaran berharga tentang kompleksitas implementasi kebijakan di era digital. Sebuah niat baik, sebuah program yang dirancang untuk kesejahteraan rakyat, bisa dengan mudahnya dihantam oleh "senjata pemusnah massal" bernama disinformasi. Serangan semacam ini sering kali tidak memerlukan sumber daya besar, cukup dengan narasi yang kuat dan mampu mengeksploitasi kerentanan sosial, budaya, atau agama yang ada di masyarakat.
Kini, nasib program MBG untuk sementara waktu bergantung pada hasil uji laboratorium. Namun, pertarungan yang sesungguhnya jauh lebih besar dari itu. Ini adalah pertarungan untuk merebut kembali kepercayaan publik di tengah badai hoaks. Ini adalah ujian bagi kemampuan pemerintah untuk berkomunikasi secara efektif dan transparan. Dan yang terpenting, ini adalah cerminan bagi masyarakat tentang betapa pentingnya literasi digital dan kearifan dalam menyaring informasi, agar piring makan anak-anak kita tidak menjadi arena perang opini yang merugikan semua pihak.
