Jakarta – Asap pedih itu membubung tinggi, mengubah langit Senayan yang biasanya biru menjadi kelabu pekat. Di bawahnya, ribuan anak muda berlarian, sebagian terbatuk hebat, sebagian lagi berusaha mengusap mata yang perih dengan air mineral seadanya. Suara dentuman gas air mata yang ditembakkan aparat bersahutan dengan teriakan amarah dan keputusasaan. Rabu itu, halaman depan Gedung DPR/MPR RI, yang seharusnya menjadi simbol rumah rakyat, telah berubah menjadi medan laga antara aspirasi dan represi.
Apa yang memicu lautan massa, yang mayoritas adalah mahasiswa, tumpah ruah ke jalanan hari itu? Pemicunya adalah sebuah isu yang terasa begitu menohok nurani di tengah himpitan ekonomi yang dirasakan banyak warga: rencana kenaikan tunjangan perumahan bagi para anggota dewan. Sebuah kebijakan yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanat rakyat, sebuah ironi di mana para wakil yang seharusnya berjuang untuk kesejahteraan konstituennya justru sibuk memperkaya diri.
Aksi sebenarnya dimulai dengan damai, bahkan cenderung kreatif. Sejak tengah hari, kelompok-kelompok mahasiswa dari berbagai almamater di sekitar Jakarta mulai berdatangan. Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Spanduk-spanduk dengan kalimat satir terbentang, "Rumah Rakyat Butuh Renovasi, Bukan Rumah Wakil Rakyat yang Minta Fasilitasi." Poster-poster bertuliskan tangan diacungkan tinggi-tinggi, menyuarakan kegelisahan yang sama. Orasi-orasi dari atas mobil komando silih berganti, membakar semangat massa dengan argumen-argumen yang menusuk.
"Kita datang ke sini bukan untuk membuat onar! Kita datang ke sini untuk mengetuk pintu hati para pejabat yang tampaknya sudah terlalu tebal untuk mendengar jeritan kita!" seru seorang koordinator lapangan dengan suara serak. "Di saat harga beras melambung, di saat biaya pendidikan semakin tak terjangkau, mereka justru membahas tunjangan untuk rumah mewah mereka. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata!"
Selama berjam-jam, aksi berjalan dalam koridornya. Nyanyian lagu-lagu perjuangan, yel-yel, dan tepuk tangan ritmis menjadi musik latar penantian mereka. Massa menunggu, berharap ada perwakilan dewan yang sudi turun menemui mereka, membuka dialog, dan mendengar langsung apa yang menjadi keresahan anak-anak bangsa. Namun, penantian itu seolah tak berujung. Pagar tinggi dan barikade kawat berduri yang dipasang aparat menjadi dinding bisu yang memisahkan antara rakyat dan wakilnya.
Matahari mulai condong ke barat, kesabaran massa pun mulai menipis. Suasana yang tadinya terkendali perlahan memanas. Beberapa oknum yang tidak teridentifikasi mulai melakukan provokasi. Botol-botol air mineral melayang ke arah barisan polisi, disusul dengan batu dan benda-benda lainnya. Aksi saling dorong di gerbang utama tak terhindarkan. Situasi ini menjadi justifikasi bagi aparat untuk mengambil tindakan yang lebih keras.
Dentuman pertama gas air mata menjadi awal dari kekacauan. Massa yang panik langsung pecah, berlarian ke segala arah. Namun, tembakan-tembakan berikutnya terus menyusul, seolah tak memberi ruang bagi massa untuk mundur secara teratur. Kepulan asap putih yang menyesakkan membuat jarak pandang terbatas, mengubah suasana menjadi lebih mencekam. Di tengah kepanikan itu, beberapa kelompok massa yang terprovokasi justru melakukan perlawanan. Mereka membakar ban, merusak beberapa fasilitas umum di sekitar lokasi, termasuk sebuah pos polisi yang menjadi sasaran amuk.
Pihak kepolisian berdalih bahwa tindakan tersebut adalah prosedur tetap untuk membubarkan massa yang sudah anarkis. "Kami sudah memberikan peringatan berulang kali, tetapi tidak diindahkan. Tindakan mereka sudah membahayakan keamanan dan ketertiban umum," ungkap seorang perwira menengah di lokasi. Namun, bagi para aktivis mahasiswa, tindakan tersebut adalah bentuk respons berlebihan yang sengaja dilakukan untuk mendelegitimasi gerakan mereka.
"Kami yakin ada penyusup yang sengaja menciptakan kerusuhan ini. Pola-polanya selalu sama. Gerakan murni kami selalu coba dirusak dengan tuduhan anarkisme," ujar salah seorang aktivis sambil membantu rekannya yang pingsan akibat gas air mata.
Malam itu, Senayan menyisakan pemandangan yang memilukan. Sisa-sisa ban yang terbakar, batu-batu yang berserakan, dan puluhan mahasiswa yang diamankan oleh pihak kepolisian. Lebih dari sekadar kerusakan fisik, insiden ini meninggalkan luka yang lebih dalam pada demokrasi Indonesia. Ia menjadi potret nyata dari lebarnya jurang komunikasi antara pemerintah dan warganya. Ketika dialog tersumbat, maka jalanan menjadi satu-satunya pilihan. Dan ketika suara di jalanan pun coba dibungkam dengan kekerasan, maka yang tersisa hanyalah kekecewaan dan ketidakpercayaan. Api di Senayan mungkin telah padam, tetapi bara ketidakpuasan di hati rakyat masih menyala, menunggu waktu untuk kembali berkobar jika akar persoalannya tidak pernah benar-benar diselesaikan.