Jakarta – Kurang dari 24 jam, jalanan di sekitar kompleks Parlemen Senayan diperkirakan akan kembali menjadi lautan manusia. Konfederasi serikat buruh telah mengonfirmasi rencana aksi unjuk rasa besar-besaran yang akan digelar pada Kamis, 28 Agustus 2025. Aksi ini, yang diperkirakan akan diikuti oleh ribuan pekerja dari berbagai sektor industri di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya, menjadi alarm keras pertama bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Tiga isu utama menjadi bahan bakar utama pergerakan ini: penolakan terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), tuntutan pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), dan desakan kenaikan upah minimum yang signifikan untuk tahun 2026.
Suasana di kantong-kantong industri seperti Bekasi, Cikarang, dan Tangerang sudah mulai memanas sejak beberapa hari terakhir. Spanduk-spanduk berisi tuntutan telah terpasang di gerbang-gerbang pabrik. Para koordinator lapangan dari berbagai serikat pekerja, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), sibuk melakukan konsolidasi akhir. Titik-titik kumpul telah ditentukan, dan armada bus disiapkan untuk mengangkut massa aksi menuju Jakarta. Ini bukan sekadar unjuk rasa rutin; ini adalah sebuah pertaruhan politik dan ekonomi yang krusial di awal masa pemerintahan.
Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu (27/8), menyatakan bahwa aksi ini adalah puncak dari kekecewaan kaum buruh yang merasa suara mereka tidak didengar. "Kami sudah menempuh jalur dialog, audiensi, dan lobi. Namun, kebijakan-kebijakan yang lahir justru semakin memberatkan beban hidup kami. Tapera adalah contoh nyata bagaimana negara memaksakan iuran tanpa memberikan jaminan kepastian. Ini bukan tabungan, ini adalah pungutan paksa," tegas Iqbal dengan suara berapi-api.
Menurutnya, kebijakan Tapera yang memotong gaji pekerja sebesar 2,5% setiap bulan adalah sebuah ironi. Di satu sisi, pemerintah berjanji meningkatkan kesejahteraan, namun di sisi lain, daya beli pekerja justru digerogoti oleh berbagai iuran wajib. "Bagaimana kami bisa membeli rumah jika untuk makan sehari-hari saja sudah sulit? Upah kami tergerus inflasi, sementara harga kebutuhan pokok terus meroket. Iuran ini hanya akan menambah penderitaan," tambahnya.
Tuntutan kedua, yakni pencabutan UU Cipta Kerja, adalah lagu lama yang kembali dinyanyikan dengan nada yang lebih keras. Sejak disahkan, undang-undang sapu jagat ini dianggap sebagai biang keladi dari kemunduran hak-hak pekerja. Fleksibilitas pasar kerja yang diusung UU tersebut, menurut serikat buruh, telah diterjemahkan menjadi kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), meluasnya penggunaan tenaga kerja kontrak (outsourcing) tanpa batas yang jelas, dan hilangnya kepastian kerja. "UU Cipta Kerja telah menciptakan 'perbudakan modern'. Pekerja tidak lagi memiliki posisi tawar. Kami ingin negara hadir untuk melindungi yang lemah, bukan hanya melayani kepentingan investor," kata Elly Rosita Silaban, Presiden KSBSI, dalam kesempatan terpisah.
Tuntutan ketiga, mengenai kenaikan upah minimum, menjadi isu yang paling konkret dan mendesak. Dengan inflasi yang terus menunjukkan tren kenaikan dan harga pangan global yang bergejolak, para buruh menuntut kenaikan upah minimum untuk tahun 2026 setidaknya sebesar 15%. Angka ini jauh di atas formula kenaikan upah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah turunan UU Cipta Kerja, yang hanya mendasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. "Formula yang ada saat ini tidak adil. Kenaikannya sangat kecil, tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup. Kami menuntut pemerintah untuk mengeluarkan diskresi dan menetapkan kenaikan upah yang layak dan manusiawi," seru seorang koordinator aksi dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Menghadapi gelombang protes yang siap datang, pemerintah dan aparat keamanan tidak tinggal diam. Polda Metro Jaya telah mengumumkan skema pengamanan berlapis di sekitar Gedung DPR/MPR dan Istana Negara. Ribuan personel gabungan dari Polri dan TNI akan diturunkan. Rekayasa lalu lintas juga telah disiapkan untuk mengantisipasi kemacetan total di ruas-ruas jalan protokol. "Kami mengimbau kepada para peserta aksi untuk menyampaikan aspirasinya dengan tertib dan damai. Hak untuk berpendapat dijamin konstitusi, namun jangan sampai mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas publik," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi.
Dari sisi pemerintah, respons yang diberikan masih terkesan hati-hati. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa pemerintah selalu terbuka untuk berdialog. "Pintu kami tidak pernah tertutup. Mari kita duduk bersama, mencari solusi terbaik. Terkait upah, kita harus mempertimbangkan semua aspek, termasuk kelangsungan dunia usaha," katanya. Namun, pernyataan normatif ini tampaknya belum cukup untuk meredam amarah kaum buruh yang merasa sudah terlalu lama menunggu solusi konkret.
Aksi 28 Agustus ini akan menjadi ujian pertama bagi gaya kepemimpinan Presiden Prabowo dalam menghadapi tekanan dari masyarakat sipil. Apakah pemerintah akan memilih pendekatan dialogis yang substantif, atau justru mengambil sikap yang lebih represif? Pilihan langkah yang diambil akan sangat menentukan persepsi publik terhadap watak pemerintahan baru ini. Bagi kaum buruh, ini adalah pertarungan untuk menjaga dapur tetap mengepul. Bagi pemerintah, ini adalah ujian untuk membuktikan klaim keberpihakan pada wong cilik. Apapun hasilnya, esok hari, mata seluruh bangsa akan tertuju ke jalanan Senayan, tempat suara kaum pekerja akan menggema, menuntut keadilan.