Presiden Perintahkan Tindak Tegas Terhadap Demonstran Anarkis, Ruang Dialog Tetap Terbuka


Jakarta – Di tengah gelombang unjuk rasa yang melanda beberapa kota besar dalam sepekan terakhir, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, akhirnya angkat bicara. Dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan secara mendadak di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat malam (30/8/2025), Presiden dengan nada tegas memerintahkan jajaran aparat keamanan untuk menindak tanpa pandang bulu setiap aksi anarkisme yang menyertai demonstrasi. Namun, di saat yang sama, beliau juga menegaskan bahwa pintu dialog dengan para perwakilan massa akan selalu terbuka untuk mencari solusi bersama.

Pernyataan keras dari kepala negara ini datang sebagai respons atas eskalasi kekerasan yang terjadi dalam demonstrasi menolak RUU Kebijakan Fiskal terbaru. Unjuk rasa yang pada mulanya berjalan damai di kota-kota seperti Surabaya, Makassar, dan Medan, berujung pada kericuhan. Fasilitas publik dilaporkan mengalami kerusakan, beberapa pos polisi dibakar, dan terjadi bentrokan fisik antara massa dengan aparat keamanan yang mengakibatkan puluhan orang dari kedua belah pihak menderita luka-luka.

"Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang. Pemerintah menghormati dan melindungi hak tersebut," buka Presiden dalam pidatonya yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi nasional. Raut wajahnya tampak serius, memancarkan pesan bahwa kesabaran negara ada batasnya.

"Namun," lanjutnya dengan intonasi yang lebih tinggi, "kebebasan itu harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, dengan menghormati hak-hak warga negara lain, dan yang terpenting, dengan tidak merusak tatanan serta fasilitas umum yang kita bangun bersama dengan susah payah. Tindakan anarkisme, vandalisme, perusakan, apalagi penyerangan terhadap petugas, bukanlah bagian dari demokrasi. Itu adalah tindakan kriminal yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara."

Presiden kemudian secara eksplisit memberikan instruksi kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, yang turut mendampinginya dalam konferensi pers tersebut. "Saya perintahkan Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk tidak ragu-ragu mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang tegas, terukur, dan profesional terhadap siapa pun yang melakukan tindakan anarkis. Negara tidak boleh kalah oleh premanisme dan perusuh yang berlindung di balik jubah demokrasi."

Akar Masalah dan Eskalasi di Lapangan

Gelombang protes ini dipicu oleh pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebijakan Fiskal yang dianggap oleh sebagian besar aliansi buruh dan mahasiswa akan memberatkan masyarakat kecil. Beberapa pasal kontroversial di dalamnya, seperti penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok dan pengurangan subsidi energi, menjadi bahan bakar utama pergerakan massa.

Awalnya, aksi-aksi yang dikoordinasi oleh berbagai elemen masyarakat sipil ini berlangsung dengan tertib. Namun, situasi mulai memanas pada hari Rabu (28/8) di Makassar. Massa yang tidak berhasil menemui perwakilan pemerintah daerah mulai melakukan blokade jalan dan membakar ban. Aksi ini kemudian memicu bentrokan setelah aparat mencoba membubarkan paksa kerumunan.

Keesokan harinya, api kerusuhan seolah menyebar ke Surabaya. Gedung DPRD provinsi menjadi sasaran amuk massa. Pagar dirobohkan, kaca-kaca jendela pecah dilempari batu, dan beberapa kendaraan dinas yang terparkir di halaman gedung dibakar. Asap hitam membubung tinggi di atas pusat kota, menciptakan suasana yang mencekam. Aparat keamanan merespons dengan menembakkan gas air mata dan meriam air, membuat situasi semakin kacau.

Puncak dari eskalasi ini menjadi alasan utama di balik pernyataan tegas Presiden. Pemerintah menilai bahwa aksi massa telah ditunggangi oleh kelompok-kelompok provokator yang sengaja ingin menciptakan instabilitas sosial dan politik.

Respons Beragam dari Berbagai Pihak

Menanggapi instruksi Presiden, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan kesiapannya. "Kami akan laksanakan perintah Presiden. Identifikasi terhadap para provokator dan pelaku perusakan sudah kami lakukan melalui analisis rekaman CCTV dan media sosial. Proses penegakan hukum akan berjalan secara transparan dan akuntabel. Kami akan memisahkan dengan jelas antara demonstran yang murni menyuarakan aspirasi dengan para perusuh," ujar Listyo dalam kesempatan yang sama.

Namun, seruan untuk "tindak tegas" ini menimbulkan kekhawatiran dari kalangan aktivis hak asasi manusia. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (KMSD), sebuah gabungan dari beberapa LSM, merilis pernyataan yang mengingatkan pemerintah dan aparat untuk tidak menggunakan pendekatan represif.

"Kami sangat prihatin dengan pernyataan Presiden yang berpotensi menjadi legitimasi bagi penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) di lapangan," tulis Direktur Eksekutif KMSD, Budi Santoso, dalam siaran persnya. "Aparat harus ingat bahwa tugas utama mereka adalah mengayomi, bukan memukul rata semua demonstran. Anarkisme memang harus ditindak, tetapi jangan sampai mengorbankan hak-hak peserta aksi damai lainnya. Akar masalahnya, yaitu kebijakan yang tidak pro-rakyat, harus menjadi fokus utama pemerintah."

Pendapat serupa juga datang dari pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Arya Wibisana. Menurutnya, pernyataan Presiden memiliki dua sisi mata uang. "Di satu sisi, ini adalah langkah yang diperlukan untuk menunjukkan wibawa negara dan melindungi warga dari dampak kerusuhan. Ini bisa menenangkan sebagian publik yang resah. Namun di sisi lain, jika implementasinya salah, ini bisa menjadi bumerang. Pendekatan keamanan yang terlalu keras justru bisa menyulut solidaritas yang lebih besar dari massa aksi dan memperburuk situasi," analisis Arya.

Dr. Arya menambahkan bahwa pemerintah juga perlu melakukan introspeksi. "Mengapa demonstrasi ini bisa begitu besar dan mudah tersulut? Ini menunjukkan adanya sumbatan komunikasi dan partisipasi publik yang serius dalam proses pembuatan kebijakan. Pernyataan tegas harus diimbangi dengan langkah konkret untuk membuka dialog yang tulus dan substantif, bukan sekadar basa-basi politik."

Pintu Dialog yang Masih Terbuka

Seakan menyadari potensi kritik tersebut, Presiden di akhir pidatonya mencoba menyeimbangkan ketegasannya dengan pesan yang lebih lunak. Beliau menegaskan bahwa pemerintah tidak anti-kritik dan siap berdialog.

"Saya ingin menegaskan sekali lagi, mari kita jaga rumah kita bersama, Indonesia. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, saya mengundang perwakilan dari aliansi mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya untuk datang ke Istana, berdialog dengan saya dan para menteri terkait. Sampaikan aspirasi Anda secara langsung, mari kita bedah bersama pasal-pasal yang dianggap memberatkan itu. Kita cari jalan keluar yang terbaik untuk bangsa," tutup Presiden.

Kini, bola panas berada di tangan semua pihak. Aparat keamanan dihadapkan pada tantangan untuk menerapkan perintah Presiden secara presisi tanpa melanggar HAM. Sementara itu, para koordinator aksi demonstrasi dihadapkan pada pilihan: menyambut undangan dialog dari Istana atau melanjutkan tekanan melalui aksi jalanan. Masyarakat pun menanti dengan cemas, berharap agar ketegangan ini dapat segera mereda dan solusi yang adil dapat ditemukan tanpa harus ada lagi kekerasan dan kerusakan.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama