Jakarta – Di tengah kobaran api kerusuhan dan hiruk pikuk politik, sebuah rumor menyebar dengan cepat dan mampu mengguncang pilar ekonomi nasional: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dikabarkan akan mengundurkan diri dari jabatannya. Isu ini mencuat deras setelah kediaman pribadinya di Jakarta menjadi salah satu target penjarahan brutal oleh massa pada Sabtu malam. Meskipun dengan sigap dibantah oleh para elite politik, termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, desas-desus ini telah membuka kotak pandora mengenai tekanan luar biasa yang dihadapi sang bendahara negara.
Penjarahan rumah Sri Mulyani bukanlah sekadar aksi kriminal biasa. Dalam lanskap politik Indonesia, serangan terhadap properti pribadi seorang pejabat tinggi adalah sebuah pesan simbolis yang sangat kuat. Ini bukan lagi kritik kebijakan, melainkan sebuah serangan personal yang bertujuan untuk meneror dan mengintimidasi. Pertanyaannya, pesan dari siapa dan untuk apa?
Kalangan analis melihat penargetan Sri Mulyani dari berbagai sudut pandang. Pertama, ia adalah wajah dari kebijakan fiskal pemerintah yang saat ini dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Kebijakan seperti kenaikan pajak, pemotongan subsidi, dan alokasi anggaran yang dianggap kurang tepat sasaran menjadikannya "musuh bersama" bagi kelompok masyarakat yang merasa terhimpit secara ekonomi. Menyerang rumahnya adalah cara paling primitif untuk melampiaskan frustrasi terhadap kebijakan-kebijakan tersebut.
Namun, ada analisis yang lebih dalam. Sri Mulyani, dengan reputasi internasionalnya yang mentereng dan integritasnya yang diakui lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia dan IMF, seringkali menjadi "batu sandungan" bagi kepentingan-kepentingan politik dan bisnis yang ingin bermain-main dengan anggaran negara. Ketegasannya dalam menjaga disiplin fiskal, menolak proposal-proposal proyek yang tidak masuk akal, dan upayanya menutup celah korupsi melalui reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan telah menciptakan banyak musuh kuat.
"Sri Mulyani adalah jangkar kredibilitas ekonomi Indonesia di mata dunia. Selama ada dia, investor internasional merasa lebih tenang," ujar Faisal Basri, seorang ekonom senior. "Justru karena posisinya yang sangat strategis inilah, ia menjadi target utama bagi pihak-pihak yang ingin mendestabilisasi pemerintahan Prabowo dari sektor ekonomi. Membuat Sri Mulyani tidak nyaman, tertekan, hingga akhirnya mundur adalah cara paling efektif untuk menciptakan kepanikan pasar."
Jika Sri Mulyani benar-benar mundur, dampaknya bisa sangat dahsyat. Pasar keuangan akan segera merespons negatif. Nilai tukar Rupiah diprediksi akan anjlok, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa terjun bebas, dan kepercayaan investor asing akan runtuh. Dalam situasi ekonomi global yang sudah tidak menentu, kepergian seorang teknokrat sekaliber Sri Mulyani akan menjadi pukulan telak yang bisa menyeret Indonesia ke dalam krisis ekonomi yang lebih dalam.
Isu pengunduran dirinya juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik internal kabinet. Sejak lama, beredar kabar mengenai adanya friksi antara tim ekonomi teknokrat yang dipimpin Sri Mulyani dengan tim ekonomi yang lebih berorientasi politik. Perbedaan pandangan mengenai skala belanja negara, utang luar negeri, dan proyek-proyek strategis seringkali terjadi di balik layar. Krisis sosial saat ini bisa menjadi momentum bagi faksi-faksi politik tertentu untuk menekan Presiden Prabowo agar "menyingkirkan" figur-figur yang dianggap sebagai penghalang agenda mereka.
Pernyataan Sri Mulyani sendiri setelah insiden penjarahan itu sangat menyentuh dan penuh makna. Melalui akun media sosialnya, ia menulis, "Rumah dan isinya bisa hilang, tapi jangan pernah biarkan rasa cinta kita pada Indonesia ini dijarah oleh amarah dan kebencian." Kalimat ini menunjukkan ketegarannya, namun juga menyiratkan adanya kesedihan mendalam. Ini adalah seruan seorang abdi negara yang rumahnya dilanggar, sebuah ironi menyakitkan bagi seseorang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga "rumah" yang lebih besar, yaitu keuangan Republik Indonesia.
Bantahan dari Istana dan para menteri lainnya memang berhasil meredam kepanikan pasar untuk sementara. Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Sri Mulyani tetap solid di dalam kabinet dan fokus bekerja. Namun, bara dalam sekam tetap ada. Insiden ini telah menunjukkan betapa rentannya posisi seorang profesional seperti Sri Mulyani di tengah pusaran politik yang keras.
Kini, bola ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Dukungan penuh dan jaminan keamanan dari Presiden menjadi sangat krusial untuk mempertahankan Sri Mulyani di posnya. Keberadaannya bukan lagi sekadar urusan teknis pengelolaan APBN, tetapi telah menjadi simbol dari pertarungan antara profesionalisme dan kepentingan politik, antara akal sehat ekonomi dan populisme yang destruktif. Nasib stabilitas ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu ke depan mungkin akan sangat bergantung pada seberapa kuat Istana mampu melindungi sang bendahara negara dari berbagai gempuran, baik fisik maupun politik.