Jakarta – Langit Jakarta masih menyisakan kelabu pada Minggu petang, 31 Agustus 2025, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena asap tebal ketegangan sosial yang mengepul di seluruh negeri. Di tengah suasana genting itu, Istana Kepresidenan menjadi panggung utama sebuah manuver politik tingkat tinggi. Presiden Prabowo Subianto mengumpulkan seluruh ketua umum partai politik koalisi pemerintah dalam sebuah pertemuan darurat yang disebut-sebut sebagai upaya krusial untuk membentengi stabilitas nasional yang berada di ambang kerapuhan.
Pertemuan yang digelar secara tertutup itu bukanlah sekadar rapat rutin. Ini adalah sebuah pertunjukan kekuatan dan persatuan di saat fondasi kekuasaan diguncang oleh gelombang demonstrasi paling masif dalam dua dekade terakhir. Wajah-wajah elite politik yang hadir menunjukkan keseriusan situasi. Terlihat Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, serta pimpinan partai pendukung lainnya. Kehadiran mereka seolah mengirimkan pesan: pemerintah dan seluruh elemen pendukungnya berdiri solid.
Sumber internal Istana yang tidak ingin disebutkan namanya membisikkan bahwa suasana di dalam ruangan rapat jauh dari kata santai. "Tegang, namun terkendali. Bapak Presiden membuka pertemuan dengan nada yang sangat serius, memaparkan data intelijen mengenai skala kerusuhan, potensi eskalasi, dan dugaan adanya pihak ketiga yang menunggangi aksi murni masyarakat," ujarnya. Menurutnya, Presiden Prabowo menekankan bahwa ini bukan lagi soal kritik terhadap kebijakan, melainkan sudah mengarah pada upaya sistematis untuk mendelegitimasi pemerintahan yang sah.
Puncak dari konsolidasi ini adalah konferensi pers bersama yang digelar sesaat setelah pertemuan. Berdiri diapit oleh para pimpinan partai, Presiden Prabowo Subianto tampil dengan raut wajah keras dan tegas. Dalam pidatonya yang disiarkan langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional, Prabowo tidak lagi menggunakan bahasa diplomatis. Ia berbicara langsung ke jantung persoalan.
"Kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, dan kami mendengarkan setiap aspirasi rakyat. Namun, kebebasan itu berhenti ketika berubah menjadi anarki, perusakan, dan penjarahan," tegas Prabowo, dengan tatapan tajam ke arah kamera. "Negara tidak akan tinggal diam. Saya telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk menindak tanpa pandang bulu siapa pun yang melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum."
Pernyataan ini adalah sebuah sinyal jelas bahwa periode pendekatan persuasif telah berakhir. Negara kini akan menunjukkan taringnya. Namun, yang lebih menarik untuk dianalisis adalah kesatuan suara yang ditampilkan oleh para ketua umum partai. Megawati Soekarnoputri, dalam kesempatan yang langka berbicara di forum seperti ini, memberikan pernyataan singkat namun menusuk. "PDI Perjuangan berdiri teguh bersama Presiden untuk menjaga Pancasila dan keutuhan bangsa. Jangan biarkan provokator memecah belah kita," ucapnya.
Bagi pengamat politik, kesolidan yang ditampilkan ini adalah sebuah kalkulasi politik yang cermat. Dr. Aditya Nugraha, seorang analis politik dari Universitas Indonesia, melihat pertemuan ini sebagai langkah "sapu bersih" untuk memastikan tidak ada pengkhianatan dari dalam. "Di saat krisis seperti ini, loyalitas adalah segalanya. Prabowo perlu memastikan tidak ada satu pun dari mitranya yang bermain dua kaki atau mencoba mengambil keuntungan dari situasi," jelas Aditya. "Dengan mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan dan membuat komitmen publik bersama, ruang untuk bermanuver bagi para oportunis politik menjadi sangat sempit."
Lebih jauh, konsolidasi ini juga menjadi pesan bagi lawan-lawan politik di luar pemerintahan dan kelompok-kelompok yang mungkin mendanai atau mengorganisir kerusuhan. Pesannya adalah bahwa seluruh mesin politik—dari eksekutif, legislatif, hingga struktur partai di tingkat akar rumput—akan bergerak serempak untuk melawan setiap upaya destabilisasi. Ini adalah pertaruhan besar. Jika langkah ini berhasil meredam gejolak, maka posisi tawar pemerintahan Prabowo akan semakin kuat. Namun, jika gelombang massa tidak surut, citra pertemuan elite ini justru bisa menjadi bumerang, dianggap sebagai bukti bahwa para pemimpin hanya sibuk menyelamatkan kekuasaan mereka sendiri, terisolasi dari penderitaan rakyat.
Di balik pintu Istana, para pemimpin ini tidak hanya membahas strategi keamanan. Mereka juga menyusun paket respons kebijakan yang cepat. Keputusan untuk secara resmi membatalkan tunjangan perumahan DPR dan menonaktifkan sementara beberapa anggota dewan yang kontroversial adalah buah dari pertemuan ini. Ini adalah "gula-gula" politik yang diberikan kepada publik, sebuah pengakuan bahwa pemerintah telah melakukan kesalahan dan bersedia mengoreksinya. "Langkah tersebut krusial untuk mengambil kembali simpati publik. Tanpa itu, pidato sekeras apa pun dari Presiden tidak akan efektif," tambah Aditya.
Pertemuan di Istana pada Minggu petang itu akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu momen paling menentukan bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Di sana, di antara secangkir kopi dan diskusi penuh ketegangan, nasib stabilitas sebuah negara dengan lebih dari 280 juta penduduk dipertaruhkan. Hasil dari konsolidasi ini baru akan terlihat dalam beberapa hari ke depan, di jalanan-jalanan kota yang kini menjadi arena pertarungan antara amarah rakyat dan otoritas negara.