Jakarta – Ketika fajar menyingsing di ibu kota pada Senin, 1 September 2025, yang tersisa dari amuk massa akhir pekan lalu adalah puing-puing hangus, pecahan kaca, dan luka mendalam pada rasa aman warga. Namun, di balik keheningan yang mencekam itu, aparat kepolisian bergerak dalam sebuah operasi senyap berskala besar. Tim-tim gabungan dari Reserse Kriminal, Intelijen Keamanan, dan Brigade Mobil (Brimob) menyebar ke seluruh penjuru Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya, melakukan penangkapan terarah terhadap individu-individu yang diduga menjadi pelaku penjarahan dan provokator kerusuhan.
Hingga Senin pagi, Mabes Polri mengonfirmasi bahwa lebih dari 450 orang telah diamankan di berbagai wilayah. Angka ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan pengembangan penyelidikan. Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Ahmad Ramadhan, dalam konferensi pers darurat menyatakan bahwa tindakan hukum ini adalah prioritas utama untuk memulihkan ketertiban.
"Kami memisahkan dengan tegas antara masyarakat yang menyampaikan aspirasi secara damai dan para pelaku kriminal yang memanfaatkan situasi," ujar Irjen Ahmad Ramadhan dengan nada tegas. "Mereka yang melakukan penjarahan, perusakan, dan menyerang petugas bukanlah demonstran. Mereka adalah penjahat, dan akan kami proses sesuai hukum yang berlaku dengan ancaman pidana maksimal."
Fokus utama operasi ini adalah para pelaku penjarahan yang secara brutal menargetkan properti pribadi, termasuk kediaman sejumlah pejabat negara dan anggota DPR seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta anggota parlemen Ahmad Sahroni dan Uya Kuya. Penjarahan ini, menurut polisi, menunjukkan pola yang berbeda dari sekadar aksi spontan massa yang marah. Ada unsur perencanaan dan keberanian yang mengindikasikan adanya kelompok terorganisir di baliknya.
Sebuah tim khusus yang dibentuk oleh Polda Metro Jaya kini tengah membedah ratusan jam rekaman video, baik dari kamera CCTV di sekitar lokasi maupun dari video amatir yang viral di media sosial. Dengan menggunakan teknologi pengenalan wajah (face recognition) dan analisis digital forensik, penyidik bekerja keras mengidentifikasi para pelaku satu per satu.
Salah satu penangkapan yang signifikan terjadi di sebuah rumah kontrakan di kawasan Pademangan, Jakarta Utara, pada Minggu malam. Tim Resmob berhasil meringkus lima pemuda yang terekam kamera sedang mengangkut barang-barang elektronik dari kediaman Ahmad Sahroni. Dari tangan mereka, polisi menyita sebuah televisi layar datar, beberapa unit laptop, dan barang-barang mewah lainnya yang diyakini hasil jarahan.
"Dari pemeriksaan awal, kelompok ini mengaku hanya ikut-ikutan setelah ada yang memprovokasi melalui grup WhatsApp. Mereka mendapat pesan yang menyebutkan bahwa 'rumah koruptor halal untuk dijarah'," ungkap seorang penyidik yang terlibat dalam operasi tersebut. "Sekarang tugas kami adalah melacak siapa penyebar pesan provokatif tersebut. Ini yang kami sebut sebagai aktor intelektual lapangan."
Para pelaku yang ditangkap akan dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan yang ancaman hukumannya bisa mencapai 12 tahun penjara, hingga Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan perusakan barang dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara. Polisi juga tidak segan-segan menerapkan undang-undang darurat jika ditemukan kepemilikan senjata tajam atau senjata api.
Namun, proses hukum ini tidaklah mudah. Banyaknya pelaku dan masifnya aksi membuat polisi kewalahan. Selain itu, ada tantangan dalam memastikan bahwa penangkapan tidak salah sasaran dan tidak melanggar hak asasi manusia. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah membuka posko pengaduan bagi keluarga yang merasa anggotanya ditangkap secara sewenang-wenang.
"Kami mendukung penuh penegakan hukum terhadap pelaku kriminal. Namun, kami juga mengawasi agar aparat tidak bertindak represif dan menggunakan momentum ini untuk membungkam suara-suara kritis," kata Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana. "Harus ada pemisahan yang jelas. Jangan sampai warga sipil yang kebetulan berada di lokasi kejadian ikut terseret tanpa bukti yang kuat."
Selain memburu pelaku di level akar rumput, fokus utama penyelidikan kini mengarah pada pembongkaran jaringan yang lebih besar. Analisis intelijen kepolisian mengendus adanya aliran dana dan logistik yang disalurkan kepada kelompok-kelompok tertentu untuk menciptakan kekacauan. Pola penjarahan yang menargetkan figur-figur spesifik dari partai politik tertentu juga menjadi petunjuk penting bagi penyidik.
"Ini bukan sekadar amuk massa karena lapar atau marah sesaat. Ada desain di baliknya. Targetnya jelas, yaitu menciptakan ketakutan, mengadu domba masyarakat dengan pemerintah, dan pada akhirnya mendelegitimasi kepemimpinan nasional," ujar seorang perwira tinggi di Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri. "Kami sedang menyusun kepingan puzzle ini. Jejak digital dan aliran transaksi keuangan menjadi kunci utama kami."
Operasi penegakan hukum ini menjadi pertaruhan besar bagi institusi Polri. Di satu sisi, mereka harus menunjukkan ketegasan untuk memulihkan wibawa negara dan memberikan rasa keadilan bagi para korban. Di sisi lain, mereka harus melakukannya secara profesional dan transparan untuk menghindari tuduhan brutalitas yang justru bisa menyulut gelombang kemarahan baru. Masyarakat kini menanti, apakah operasi senyap ini hanya akan menyentuh para pelaku lapangan, ataukah mampu membongkar dalang besar yang menari di balik layar kekacauan.