Makassar/Jakarta – Bau hangus material terbakar masih menusuk hidung di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Senin pagi. Puing-puing Gedung DPRD Sulawesi Selatan yang kini tinggal kerangka hitam menjadi monumen bisu dari amarah yang meledak tak terkendali dua hari sebelumnya. Di sinilah, di tengah kobaran api yang melahap simbol demokrasi lokal itu, empat nyawa melayang, terjebak dalam kobaran api saat sedang menjalankan tugas. Mereka bukan politisi, bukan demonstran. Mereka adalah staf pendukung, pekerja biasa yang berada di tempat dan waktu yang salah.
Salah satunya adalah Abay, seorang staf Humas DPRD yang dikenal ramah oleh para jurnalis. Kisahnya menjadi gambaran tragis dari dampak kerusuhan yang seringkali memakan korban dari kalangan yang paling tidak bersalah. "Dia hanya ingin memastikan dokumen-dokumen penting aman. Saat massa mulai beringas dan api membesar, dia masih di dalam. Kami semua panik, tapi tidak ada yang bisa menembus lautan manusia di luar," tutur seorang rekannya sambil terisak, menunjuk ke sisa-sisa bangunan yang menghitam.
Kisah dari Makassar adalah cerminan dari luka yang lebih dalam dan lebih luas yang kini dirasakan bangsa ini. Gelombang protes yang awalnya dipicu oleh isu kebijakan telah bermutasi menjadi amuk massa yang destruktif, meninggalkan jejak kehancuran tidak hanya secara fisik, tetapi juga sosial.
Di Jakarta, pemandangannya tidak kalah mengerikan. Kawasan Senen, Kwitang, hingga sekitar kompleks Parlemen di Senayan, tampak seperti zona perang. Halte TransJakarta yang menjadi tulang punggung transportasi publik luluh lantak. Rambu-rambu lalu lintas dicabut paksa, dan separator jalan digunakan sebagai barikade oleh massa. Bagi puluhan ribu warga Jakarta, ini berarti penderitaan baru: perjalanan menuju tempat kerja menjadi lebih lama, lebih mahal, dan penuh ketidakpastian.
"Toko kelontong saya habis, Mas. Dijarah total. Kulkas minuman, etalase rokok, bahkan beras pun mereka angkut," kata Pak Budi, 58 tahun, pemilik warung kecil di dekat Mako Brimob Kwitang. Matanya menerawang kosong ke arah tokonya yang kini melompong. "Saya membangun usaha ini 20 tahun. Hilang semua dalam satu malam. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Saya mendukung aspirasi mahasiswa, tapi kalau caranya seperti ini, yang jadi korban ya kami, rakyat kecil ini."
Cerita Pak Budi adalah suara dari mayoritas diam yang terjepit di antara kemarahan demonstran dan respons keras aparat. Kerugian ekonomi akibat kerusuhan ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Pusat perbelanjaan terpaksa tutup lebih awal, aktivitas bisnis di kawasan-kawasan terdampak lumpuh total, dan investor, baik domestik maupun asing, kini mengambil sikap menunggu (wait and see), menunda rencana investasi mereka.
Namun, kerugian yang paling sulit dipulihkan bukanlah materi. Ini adalah tentang terkoyaknya kembali tenun kebangsaan. Di media sosial, polarisasi mencapai titik didih. Narasi saling menyalahkan, fitnah, dan ujaran kebencian menyebar lebih cepat dari api yang membakar gedung DPRD. Tetangga yang berbeda pandangan politik saling curiga, dan garis demarkasi antara "kami" dan "mereka" ditarik semakin tebal.
Dr. Sosiologi dari Universitas Gadjah Mada, Rina Wahyuni, menyebut fenomena ini sebagai "kelelahan sosial" (social fatigue). "Masyarakat sudah terlalu lelah dengan krisis ekonomi, ketidakadilan, dan elite politik yang seolah tuli. Ketika ada pemicu, ledakannya menjadi sangat besar dan seringkali irasional," jelasnya. "Yang berbahaya adalah ketika kekerasan dianggap sebagai jalan keluar yang sah. Ini akan meninggalkan trauma kolektif yang butuh waktu puluhan tahun untuk disembuhkan."
Trauma itu kini nyata dirasakan oleh keluarga para korban. Tidak hanya empat korban tewas di Makassar, tetapi juga keluarga Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas terlindas kendaraan taktis di Jakarta. Kematian mereka menjadi martir bagi sebagian orang, namun bagi keluarga yang ditinggalkan, mereka adalah ayah, suami, dan anak yang hilang selamanya. Duka mereka adalah duka bangsa.
Di tengah puing-puing, secercah harapan muncul dari inisiatif warga. Di beberapa sudut kota, kelompok pemuda secara sukarela membersihkan jalanan dari sisa-sisa kerusuhan. Penggalangan dana untuk korban seperti keluarga Abay dan Pak Budi mulai bermunculan di platform donasi online. Ini adalah bukti bahwa api solidaritas belum sepenuhnya padam di tengah amuk massa.
Meski begitu, jalan menuju pemulihan masih sangat panjang dan terjal. Pemerintah dan aparat keamanan kini fokus pada penegakan hukum, tetapi tugas yang lebih berat menanti: menyembuhkan luka psikologis, membangun kembali kepercayaan publik, dan yang terpenting, merajut kembali tali persaudaraan yang terkoyak akibat amarah. Indonesia sedang berduka, dan duka ini adalah tanggung jawab bersama untuk dipulihkan.