Gugatan Rp125 Triliun untuk Sang Wakil Presiden: Aksi Hukum Teatrikal yang Menelanjangi Luka Lama Demokrasi


Jakarta – Di tengah hiruk pikuk berita demonstrasi dan krisis nasional, sebuah kabar dari ruang pengadilan berhasil mencuri perhatian dengan gayanya yang unik dan bombastis. Seorang warga negara mengajukan gugatan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan nilai ganti rugi yang fantastis: Rp125 triliun. Angka yang begitu besar hingga terasa absurd ini seketika menjadi viral. Sebagian publik menanggapinya dengan tawa dan menjadikannya bahan lelucon di media sosial. Namun, di balik nilai tuntutan yang sureal itu, gugatan ini sesungguhnya adalah sebuah aksi politik yang sangat serius. Ia bukan tentang uang; ia adalah sebuah pertunjukan teatrikal di panggung hukum yang bertujuan untuk terus mengorek luka lama demokrasi dan menantang legitimasi kekuasaan yang dianggap lahir dari proses yang cacat.

Gugatan ini, yang diklasifikasikan sebagai citizen lawsuit atau gugatan warga negara, tidak menuntut ganti rugi untuk kantong pribadi penggugat. Sebaliknya, ia menuntut agar uang tersebut dikembalikan ke kas negara. Logika hukum yang dibangun oleh penggugat berpusat pada satu titik krusial dalam sejarah politik modern Indonesia: putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan kontroversial yang melibatkan konflik kepentingan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran, dianggap sebagai "dosa asal" yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Menurut penggugat, putusan yang cacat secara etika ini telah menimbulkan kerugian imateriel yang tak ternilai bagi bangsa. Kerugian itu berupa terkikisnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum, rusaknya tatanan demokrasi, dan preseden buruk bagi supremasi hukum. Angka Rp125 triliun kemudian diajukan sebagai upaya simbolik untuk "mengukur" besarnya kerugian tak kasat mata tersebut.

Dilihat dari perspektif hukum murni, peluang gugatan ini untuk dikabulkan oleh pengadilan sangatlah kecil, bahkan mendekati nol. Para ahli hukum tata negara dengan cepat menunjukkan bahwa pengadilan negeri, tempat gugatan ini didaftarkan, tidak memiliki yurisdiksi untuk menilai atau membatalkan dampak dari sebuah putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Namun, para penggugat dan tim hukumnya tampaknya sangat sadar akan hal ini. Kemenangan di ruang sidang mungkin bukanlah tujuan utama mereka. Tujuan yang lebih besar adalah kemenangan di ruang opini publik. Gugatan ini adalah sebuah "kendaraan" hukum yang dirancang untuk satu misi: menjaga agar memori publik tentang kontroversi putusan MK tetap hidup dan menjadi perbincangan. Setiap tahap proses hukumnya—mulai dari pendaftaran, persidangan, hingga putusan—akan menjadi panggung baru untuk mengulang kembali narasi tentang cacatnya proses pencalonan Gibran. Ini adalah strategi perlawanan asimetris, menggunakan alat hukum bukan untuk menang secara harfiah, melainkan untuk terus "mengganggu" narasi kemapanan politik.

Aksi ini juga merefleksikan adanya rasa frustrasi yang mendalam dari sebagian kalangan masyarakat yang merasa bahwa jalur-jalur politik dan hukum formal telah tersumbat. Setelah sengketa hasil pemilu di MK berakhir dengan penolakan gugatan, dan parlemen didominasi oleh koalisi pemerintah, banyak yang merasa tidak ada lagi saluran yang efektif untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Dalam konteks inilah, aksi-aksi kreatif dan simbolik seperti gugatan Rp125 triliun ini muncul. Ia menjadi semacam katarsis kolektif, sebuah cara bagi mereka yang merasa kalah untuk tetap "bertarung" dan menunjukkan bahwa perlawanan belum usai. Ini adalah bentuk perlawanan dari mereka yang tidak memiliki kekuatan politik riil, namun memiliki kecerdikan untuk memanfaatkan celah-celah diskursus publik.

Reaksi dari kubu Wakil Presiden Gibran dan koalisi pendukungnya dapat diprediksi. Mereka cenderung menganggap gugatan ini sebagai tindakan iseng, tidak serius, dan hanya mencari sensasi. Strategi komunikasi mereka adalah dengan mengecilkan signifikansinya, melabelinya sebagai manuver politik dari barisan sakit hati, dan meyakinkan publik bahwa pemerintah sedang fokus bekerja dan tidak akan terganggu oleh "gangguan-gangguan" semacam ini. Namun, dengan meremehkan gugatan ini, mereka mungkin justru kehilangan kesempatan untuk memahami pesan yang lebih dalam di baliknya. Gugatan ini, betapapun aneh kelihatannya, adalah sebuah termometer yang mengukur suhu ketidakpuasan yang masih membara di lapisan bawah masyarakat.

Di jagat maya, gugatan ini menjadi festival konten. Meme-meme lucu yang menggambarkan tumpukan uang triliunan rupiah beredar luas. Diskusi-diskusi serius di kalangan aktivis dan mahasiswa tentang strategi perlawanan hukum juga berkembang. Polarisasi opini yang terjadi selama pemilu seolah menemukan panggung barunya. Bagi para pendukung Gibran, ini adalah bukti bahwa lawan politiknya tidak bisa move on. Bagi para kritikusnya, ini adalah bukti kreativitas perlawanan yang tak pernah padam. Fenomena ini menunjukkan betapa lincahnya masyarakat sipil Indonesia dalam menggunakan berbagai platform—dari jalanan hingga ruang pengadilan—untuk mengekspresikan pandangan politik mereka.

Pada akhirnya, gugatan Rp125 triliun ini akan tercatat dalam sejarah bukan karena nilai nominalnya, melainkan karena nilai simbolisnya. Ia adalah sebuah monumen pengingat tentang sebuah episode kontroversial dalam demokrasi Indonesia. Entah akan ditolak di tahap awal atau berlanjut menjadi drama persidangan yang panjang, gugatan ini telah berhasil mencapai salah satu tujuannya: memaksa publik untuk sekali lagi berbicara tentang etika, hukum, dan kekuasaan. Ia adalah sebuah pertanyaan besar yang diajukan dalam bentuk dokumen hukum: jika demokrasi telah dilukai, berapa harga yang harus dibayar untuk memulihkannya? Jawaban atas pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah ditemukan di ruang pengadilan, tetapi gugatan ini memastikan bahwa pertanyaan itu akan terus menggema.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama