Jakarta – Di tengah riuhnya pemberitaan media yang didominasi oleh gambar-gambar bentrokan, asap gas air mata, dan kobaran api, sebuah pemandangan kontras justru mekar di lanskap digital. Linimasa media sosial—dari Instagram, X (sebelumnya Twitter), hingga TikTok—secara serentak berubah warna. Foto-foto profil jutaan pengguna, dari remaja biasa, selebritas papan atas, hingga para aktivis, mendadak diselimuti oleh gradasi warna merah muda (pink) dan hijau. Gelombang visual ini disertai dengan satu tagar yang menggema kuat: #BravePinkHeroGreen. Ini bukan sekadar tren estetika sesaat. Gerakan digital ini adalah sebuah pernyataan sikap massal, sebuah bentuk "demonstrasi senyap" yang dilakukan melalui jutaan piksel, menyuarakan pesan perdamaian dan empati sebagai tandingan dari narasi kekerasan yang sedang berlangsung di dunia nyata.
Untuk memahami kekuatan fenomena ini, kita harus terlebih dahulu membedah lapis-lapis makna di balik pilihan warnanya. Brave Pink (Merah Muda yang Berani) bukanlah warna merah muda yang diasosiasikan dengan kelembutan pasif. Dalam konteks gerakan ini, ia ditafsirkan sebagai simbol keberanian untuk menunjukkan empati dan welas asih di tengah situasi yang mengeras. Ia adalah representasi solidaritas terhadap para korban kekerasan, baik itu warga sipil maupun aparat yang terluka. Merah muda menjadi lambang perlawanan terhadap budaya kekerasan dengan menawarkan antitesisnya: kepedulian. Ia adalah keberanian untuk tidak ikut terbawa arus amarah, keberanian untuk tetap menjadi manusia.
Sementara itu, Hero Green (Hijau Sang Pahlawan) membawa makna harapan, ketenangan, dan kehidupan. Di Indonesia, warna hijau sangat lekat dengan citra kesejukan dan kesuburan, sebuah warna yang menenangkan jiwa. Dalam gerakan ini, hijau menjadi simbol dari dambaan kolektif akan sebuah resolusi damai. Ia juga dimaknai sebagai penghargaan bagi para "pahlawan" tak dikenal di tengah kekacauan: para tenaga medis yang merawat korban tanpa pandang bulu, para relawan yang membagikan air dan makanan, para jurnalis yang berisiko demi menyampaikan informasi, hingga para pengemudi ojek online yang membantu mengevakuasi warga yang terjebak. Hijau adalah warna untuk mereka, para pahlawan sehari-hari yang menjaga api kemanusiaan tetap menyala. Ketika kedua warna ini digabungkan, mereka menciptakan sebuah pesan yang utuh dan kuat: sebuah seruan untuk perdamaian yang berani dan penghargaan bagi kepahlawanan yang berbasis pada kemanusiaan.
Tentu saja, kritik klasik terhadap gerakan semacam ini tak terhindarkan. Suara-suara sinis yang melabelinya sebagai "slacktivism" atau aktivisme malas segera bermunculan. "Apa gunanya mengganti foto profil jika tidak turun ke jalan?" demikian argumen mereka. Mengubah sebuah gambar memang tindakan yang mudah dan berisiko rendah. Namun, meremehkan dampaknya sebagai sekadar "klik" adalah sebuah kekeliruan dalam memahami dinamika kekuatan digital di era modern. Kekuatan #BravePinkHeroGreen tidak terletak pada tindakan individual, melainkan pada efek kumulatifnya. Ketika jutaan orang melakukan tindakan simbolis yang sama secara serentak, ia menciptakan sebuah tsunami visual. Tsunami ini memiliki beberapa fungsi penting. Pertama, ia membangun rasa solidaritas dan kebersamaan. Seseorang yang merasa cemas dan sendirian melihat linimasanya dipenuhi warna pink dan hijau akan merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas besar yang merasakan hal yang sama. Ini adalah penawar psikologis yang kuat di masa krisis.
Kedua, gerakan ini adalah sebuah perebutan narasi. Media konvensional dan algoritma media sosial cenderung menyorot gambar-gambar yang paling dramatis dan penuh kekerasan. Gerakan #BravePinkHeroGreen adalah upaya sadar dari masyarakat sipil untuk menyodorkan narasi alternatif. Ia seolah berkata, "Di balik semua kekacauan yang kalian lihat, ketahuilah bahwa ada jutaan dari kami yang mendambakan perdamaian." Ia menyeimbangkan lanskap informasi, memastikan bahwa keinginan untuk resolusi damai juga mendapatkan porsi "ruang tayang" yang masif di ruang publik digital. Ketiga, ia memiliki efek tekanan sosial. Ketika sebuah gerakan menjadi begitu besar dan viral, ia memaksa para tokoh publik, politisi, dan media untuk menanggapinya. Ia menjadi sebuah agenda-setting yang tidak bisa diabaikan.
Partisipan gerakan ini datang dari berbagai kalangan, namun motor penggeraknya adalah generasi muda—milenial dan Gen Z. Bagi mereka, ruang digital adalah perpanjangan tangan dari ruang publik. Aktivisme digital bukanlah pengganti, melainkan pelengkap dari aktivisme di dunia nyata. Mereka fasih menggunakan bahasa simbol, meme, dan tagar untuk mengartikulasikan pandangan politik mereka. Keterlibatan para influencer dan selebritas kemudian berfungsi sebagai akselerator yang melipatgandakan jangkauan pesan ini hingga ke sudut-sudut masyarakat yang mungkin apolitis sekalipun.
Tentu, seperti halnya semua tren viral, ada risiko kooptasi. Beberapa jenama komersial mungkin mencoba menunggangi gelombang ini untuk kepentingan pemasaran. Beberapa politisi mungkin ikut mengganti foto profil mereka untuk mencitrakan diri sebagai sosok yang damai, meskipun kebijakan mereka mungkin bertentangan dengan semangat gerakan itu. Namun, komunitas digital biasanya memiliki mekanisme pertahanan diri yang cerdas. Upaya kooptasi yang tidak tulus seringkali dengan cepat diidentifikasi dan diejek, menjaga kemurnian gerakan dari eksploitasi.
Pada akhirnya, fenomena #BravePinkHeroGreen adalah sebuah studi kasus yang menarik tentang bagaimana masyarakat di era digital mengekspresikan harapan dan ketahanannya. Ia lebih dari sekadar tagar; ia adalah sebuah doa kolektif yang divisualisasikan, sebuah permadani digital yang ditenun dari jutaan harapan individu untuk sebuah Indonesia yang lebih baik. Gerakan ini membuktikan bahwa perlawanan tidak selalu harus berwujud kepalan tangan yang diacungkan ke udara. Terkadang, perlawanan yang paling kuat justru hadir dalam bentuk jutaan piksel berwarna lembut yang dengan berani menolak untuk menyerah pada kegelapan.