Jakarta – Ketika aspal jalanan ibu kota dan kota-kota besar lainnya berubah menjadi medan pertempuran antara amarah dan aparat, ketika suara sirene lebih nyaring terdengar daripada dialog, bangsa ini seolah menahan napas. Di tengah kekosongan kepemimpinan formal yang terasa, muncul kekuatan lain yang berakar kuat dalam struktur sosial masyarakat Indonesia: suara para ulama, tokoh agama, dan budayawan. Dari mimbar-mimbar masjid, pondok pesantren, hingga linimasa media sosial, seruan-seruan untuk menahan diri, menjaga persatuan, dan mengedepankan akal sehat mulai bergema. Ini bukan sekadar imbauan moral; ini adalah intervensi krusial dari para "pemimpin informal" yang perannya menjadi sangat vital saat negara berada di tubir jurang kekacauan.
Salah satu suara yang paling ditunggu dan paling berpengaruh datang dari Habib Rizieq Shihab. Melalui sebuah pesan yang tersebar cepat di kalangan pengikutnya, ia menyerukan sebuah instruksi yang tegas namun strategis: "tunggu komando". Pernyataan ini memiliki makna ganda yang sangat mendalam. Di satu sisi, ia secara implisit mengakui legitimasi kemarahan umat dan simpatisan terhadap kondisi bangsa, menunjukkan bahwa ia berada di barisan yang sama dengan mereka. Namun di sisi lain, yang lebih penting, ia berfungsi sebagai rem darurat yang kuat. Perintah untuk "menunggu" adalah cara efektif untuk mencegah aksi-aksi anarkis yang sporadis dan tidak terkoordinasi. Ia menarik kembali kendali atas massa yang sebagian mungkin sudah terbakar emosi, mengubah energi destruktif yang liar menjadi sebuah potensi kekuatan yang terorganisir dan bisa diarahkan. Ini adalah sebuah langkah catur politik dan sosial yang menunjukkan pemahaman mendalam tentang psikologi massa.
Namun, upaya menyejukkan bangsa tidak datang dari satu suara saja. Orkestrasi seruan damai ini dimainkan oleh berbagai pihak dari spektrum yang luas. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, melalui para pimpinannya, secara konsisten mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menenangkan. Para kiai dan cendekiawan dari kedua ormas ini menekankan pentingnya akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia) bahkan dalam menyuarakan protes. Mereka mengingatkan bahwa tujuan mulia untuk memperbaiki bangsa tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang merusak dan menimbulkan mudharat (kerugian) yang lebih besar. Seruan ini diperkuat oleh para pemimpin dari komunitas agama lain. Para uskup dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), para pendeta dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), serta para pemuka agama Hindu, Buddha, dan Konghucu, serempak menyuarakan pesan universal tentang cinta kasih, perdamaian, dan pentingnya menjaga keutuhan rumah bersama yang bernama Indonesia.
Di luar lingkup keagamaan, para budayawan dan akademisi juga mengambil peran serupa. Mereka tidak hanya menyerukan ketenangan, tetapi juga mencoba menjernihkan persoalan. Mereka mengingatkan bahwa musuh sesungguhnya bukanlah aparat yang berdiri di seberang barikade, atau sesama warga yang berbeda pandangan, melainkan ketidakadilan, korupsi, dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Dengan menggunakan bahasa yang lebih rasional dan menyentuh nalar, mereka mengajak semua pihak untuk kembali ke akar persoalan dan mendorong dialog sebagai jalan keluar. Peran mereka adalah sebagai "penjernih" di tengah keruhnya informasi dan emosi, mencoba mengangkat diskursus dari sekadar bentrokan fisik menjadi sebuah perdebatan gagasan yang konstruktif.
Intervensi dari para tokoh ini menyoroti sebuah fenomena khas dalam sosiologi politik Indonesia. Di saat kepercayaan terhadap institusi-institusi politik formal seperti pemerintah dan parlemen sedang berada di titik terendah, masyarakat cenderung mencari panduan dari figur-figur yang memiliki "modal moral" dan "modal kepercayaan". Kepercayaan ini tidak dibangun dalam semalam. Ia dipupuk melalui interaksi bertahun-tahun di level akar rumput, melalui pengajian, khotbah, karya-karya budaya, dan keteladanan hidup. Oleh karena itu, ketika mereka berbicara, pesan mereka memiliki resonansi yang seringkali jauh lebih kuat daripada imbauan para pejabat negara. Mereka berbicara dengan bahasa umat, bahasa rakyat, bukan dengan bahasa kekuasaan yang formal dan berjarak.
Pertanyaannya kemudian, apakah seruan-seruan ini efektif? Secara kasat mata, dampaknya mungkin tidak bisa diukur secara kuantitatif. Kerusuhan di beberapa titik mungkin tetap terjadi. Namun, banyak pengamat meyakini bahwa tanpa adanya intervensi dari para tokoh ini, eskalasi kekacauan bisa jadi jauh lebih parah dan meluas. Seruan mereka berhasil menciptakan "kantong-kantong ketenangan" di tengah badai. Mereka memberikan pegangan moral bagi jutaan orang yang mungkin bingung dan bimbang, yang marah pada keadaan tapi juga tidak setuju dengan cara-cara kekerasan. Mereka berhasil memisahkan antara aspirasi sah para demonstran dengan aksi-aksi anarkis para provokator, sebuah pemisahan yang sangat penting untuk mencegah stigmatisasi terhadap seluruh gerakan protes.
Bagi pemerintah, peran para tokoh ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, pemerintah tentu berterima kasih karena seruan mereka membantu tugas aparat dalam mengendalikan situasi. Namun di sisi lain, fenomena ini sekali lagi menunjukkan bahwa dalam situasi krisis, negara tidak bisa berdiri sendiri. Negara membutuhkan legitimasi dan dukungan dari kekuatan-kekuatan masyarakat sipil. Ini adalah pengingat bahwa stabilitas nasional tidak hanya bisa dijaga dengan pengerahan pasukan dan alat keamanan, tetapi juga harus dirawat melalui dialog yang tulus dengan para pemimpin sejati di tengah masyarakat.
Pada akhirnya, gema suara penyejuk dari para ulama dan tokoh bangsa ini adalah bukti ketangguhan jejaring sosial di Indonesia. Di saat struktur formal negara goyah, struktur informal masyarakat bangkit untuk mengambil peran sebagai penjaga tenun kebangsaan. Mereka adalah katup pengaman sosial, jembatan komunikasi di saat dialog tersumbat, dan kompas moral di saat bangsa kehilangan arah. Krisis ini mungkin akan berlalu, namun pelajaran yang bisa dipetik sangatlah berharga: kekuatan sejati sebuah bangsa tidak terletak pada kekuatan militernya, melainkan pada kearifan para tokohnya dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah dengan hati, bukan hanya dengan tangan besi.