Jakarta – Di tengah kobaran api amarah jutaan rakyat yang turun ke jalan, sebuah pernyataan dari seorang tokoh intelijen senior meletup seperti bensin yang disiramkan ke bara. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, dengan keyakinan penuh melontarkan sebuah tudingan yang telah menjadi semacam mantra sakti dalam setiap gejolak politik di Indonesia: adanya "dalang asing" yang menunggangi dan mendanai kerusuhan. Pernyataan ini, yang disampaikan di tengah puncak ketegangan nasional, seketika membelah opini publik. Sebagian menyambutnya sebagai sebuah pengungkapan kebenaran yang menyingkap tabir konspirasi. Sebagian besar lainnya melihatnya sebagai sebuah narasi usang, sebuah upaya berbahaya untuk mendelegitimasi gerakan rakyat dan mengalihkan perhatian dari akar masalah yang sesungguhnya.
Tudingan Hendropriyono bukanlah barang baru dalam leksikon politik Indonesia. Narasi tentang "tangan-tangan tak terlihat" dari luar negeri yang ingin mengacaukan stabilitas nasional telah berulang kali didengungkan sejak era Orde Lama hingga pasca-Reformasi. Retorika ini memiliki daya pikat yang luar biasa karena ia bekerja pada level emosi yang paling dasar: nasionalisme dan patriotisme. Ia menyajikan sebuah skenario yang sederhana dan mudah dicerna: "Kita" (bangsa Indonesia yang cinta damai) sedang diadu domba oleh "Mereka" (pihak asing yang jahat dan berkepentingan). Dalam skema ini, masalah-masalah internal yang kompleks seperti ketidakadilan ekonomi, korupsi, atau undang-undang yang kontroversial menjadi kabur, tertutup oleh bayang-bayang musuh dari luar. Ini adalah strategi komunikasi politik klasik yang bertujuan untuk menyederhanakan masalah, mempersatukan publik melawan musuh bersama, dan yang terpenting, melepaskan tanggung jawab pemerintah untuk introspeksi.
Namun, ketika kita mencoba membedah pernyataan tersebut dengan pisau analisis yang lebih tajam, narasi itu mulai terlihat rapuh. Kritik utama yang dilontarkan oleh para analis politik dan sosiolog adalah minimnya, atau bahkan ketiadaan, bukti konkret yang menyertainya. Siapakah "pihak asing" yang dimaksud? Negara mana? Organisasi apa? Bagaimana mekanisme pendanaan dan provokasi itu dilakukan? Tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, tudingan tersebut hanya akan menjadi sebuah hipotesis liar yang melayang di udara, sebuah "hantu" yang sengaja diciptakan untuk menakut-nakuti. Para kritikus berpendapat bahwa pemerintah dan para pendukungnya seharusnya tidak perlu mencari kambing hitam hingga ke seberang lautan. Akar dari gelombang protes ini, menurut mereka, tertanam kuat di dalam negeri.
Untuk membuktikannya, kita hanya perlu melihat esensi dari tuntutan massa itu sendiri, yang terangkum dalam "17+8 Tuntutan Rakyat". Tuntutan-tuntutan tersebut sangat spesifik dan berakar pada persoalan domestik. Isu-isu seperti penolakan terhadap Omnibus Law yang dianggap merugikan buruh, tuntutan pemberantasan korupsi yang dinilai semakin melemah, kritik terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok, penolakan terhadap pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP, hingga seruan untuk keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Apakah ini semua adalah agenda asing? Sulit untuk mempercayai bahwa sebuah kekuatan asing akan begitu peduli pada nasib buruh pabrik di Cikarang atau pasal-pasal karet dalam sistem hukum Indonesia. Tuntutan-tuntutan ini adalah jeritan hati rakyat yang merasa bahwa aspirasi mereka tidak didengar, bahwa kebijakan negara lebih berpihak pada elite dan korporasi ketimbang pada warga biasa. Mengabaikan substansi tuntutan ini dan menggantinya dengan narasi konspirasi asing adalah sebuah penghinaan terhadap kecerdasan kolektif bangsa.
Secara politik, peluncuran isu "dalang asing" ini memiliki beberapa tujuan strategis. Pertama, ia berfungsi sebagai alat untuk mendelegitimasi gerakan protes. Dengan melabeli para demonstran sebagai "boneka" atau "pion" asing, pemerintah dapat mengikis simpati publik terhadap mereka. Kedua, ia memberikan justifikasi bagi aparat keamanan untuk melakukan tindakan represif. Jika yang dihadapi bukan lagi warga negara yang menyampaikan aspirasi, melainkan "antek asing", maka penggunaan kekerasan seolah-olah menjadi sah demi menjaga "kedaulatan negara". Ketiga, ini adalah cara untuk mengkonsolidasikan kekuatan internal dan membungkam suara-suara kritis. Siapa pun yang terus menyuarakan kritik terhadap pemerintah bisa dengan mudah dicap sebagai bagian dari konspirasi asing tersebut.
Namun, strategi ini juga mengandung risiko yang tidak kecil. Di era keterbukaan informasi, publik tidak lagi mudah menelan narasi tunggal dari penguasa. Masyarakat, terutama generasi muda yang melek digital, memiliki akses ke berbagai sumber informasi dan mampu melakukan verifikasi silang. Alih-alih memadamkan api, tudingan tak berdasar ini justru bisa menjadi bumerang, semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Selain itu, pada level internasional, tudingan semacam ini dapat memperburuk citra Indonesia. Negara akan dianggap paranoid dan tidak mampu menyelesaikan masalah internalnya sendiri secara dewasa, malah menyalahkan pihak lain. Ini dapat berdampak pada hubungan diplomatik dan kepercayaan investor.
Pada akhirnya, polemik tentang "dalang asing" ini adalah sebuah persimpangan. Di satu jalan, ada keinginan untuk mencari jawaban yang mudah dan nyaman, menyalahkan entitas tak terlihat atas semua masalah bangsa. Di jalan lain, ada tuntutan untuk melakukan refleksi yang jujur dan menyakitkan, mengakui adanya persoalan-persoalan fundamental di dalam negeri yang harus segera diatasi. Memilih jalan pertama mungkin akan memberikan kelegaan sesaat, namun ia tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Ia hanya akan menunda ledakan yang lebih besar di masa depan. Sementara memilih jalan kedua membutuhkan keberanian, kerendahan hati, dan kemauan politik yang kuat dari para pemimpin. Jawaban atas krisis nasional yang sedang terjadi tidak akan ditemukan di kedutaan-kedutaan besar negara asing atau dalam laporan intelijen tentang konspirasi global. Jawaban itu ada di pasar-pasar yang harga pangannya melambung tinggi, di pabrik-pabrik tempat buruh cemas akan masa depannya, dan di ruang-ruang diskusi mahasiswa yang mendambakan sebuah negeri yang lebih adil. Sudah saatnya berhenti mengejar bayangan dan mulai menghadapi kenyataan.