Di Balik Tangis Seorang Komandan: Kisah Kompol Kosmas dan Tragedi yang Mengguncang Korps Bhayangkara


Jakarta – Sebuah video berdurasi kurang dari dua menit berhasil membekukan amarah publik yang sedang mendidih. Di dalamnya, seorang pria tegap berseragam Brigade Mobil (Brimob) dengan pangkat Komisaris Polisi (Kompol) berdiri kaku. Namanya Kompol Kosmas Kaju Gae, Komandan Kompi (Danki) Brimob. Namun, pada momen itu, pangkat dan jabatannya seolah luruh bersamaan dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Ia menangis sesenggukan, sebuah pemandangan kontras dari citra Korps Brimob yang selama ini dikenal keras dan tanpa kompromi. Tangis itu bukan sekadar ekspresi penyesalan; ia adalah puncak dari sebuah tragedi kemanusiaan yang kompleks, sebuah cerita tentang tekanan, kekacauan, dan satu nyawa yang hilang di tengah lautan massa.

Tragedi ini berpusat pada satu nama: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas mengenaskan, terlindas di bawah roda-roda baja kendaraan taktis (rantis) Brimob yang berada di bawah komando Kompol Kosmas. Peristiwa itu terjadi di tengah gejolak demonstrasi besar-besaran yang melumpuhkan ibu kota pada 3 September 2025. Bagi keluarga Affan, ini adalah kehilangan yang tak tergantikan. Bagi jutaan rekan seprofesinya, ini adalah simbol betapa rapuhnya nyawa mereka di jalanan. Dan bagi institusi Polri, ini adalah krisis kepercayaan yang menuntut jawaban cepat dan tegas. Keputusan pun jatuh: Kompol Kosmas diberhentikan secara tidak hormat melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri. Namun, di balik keputusan hitam di atas putih itu, tersimpan kisah yang jauh lebih kelabu tentang manusia di balik seragam.

Untuk memahami apa yang terjadi, kita harus kembali ke suasana hari itu. Jakarta bukan lagi kota yang ramah. Udara dipenuhi asap gas air mata yang pedih, aspal jalanan dipenuhi sisa-sisa batu dan ban yang terbakar. Suara sirene, teriakan massa, dan dentuman sesekali menciptakan simfoni kekacauan yang memekakkan telinga. Dalam kondisi seperti inilah Kompol Kosmas dan pasukannya ditugaskan untuk mengendalikan massa. Rantis, kendaraan lapis baja yang dirancang untuk perang, didorong maju sebagai garda terdepan untuk membubarkan kerumunan. Logika di atas kertas mungkin sederhana: kendaraan besar akan menimbulkan efek gentar. Namun, di lapangan, logika itu berhadapan dengan realitas yang brutal. Massa yang marah tidak gentar, mereka justru semakin merangsek. Ruang gerak menyempit, visibilitas terbatas, dan komunikasi menjadi kacau. Di tengah pusaran itulah, rantis yang bergerak lambat bertemu dengan takdir nahas Affan Kurniawan. Saksi mata memberikan keterangan yang simpang siur, sebagian mengatakan Affan terjatuh, sebagian lain menyebut ia terdorong. Namun hasilnya sama: sebuah nyawa melayang.

Siapakah Kompol Kosmas? Sebelum video tangisnya viral, namanya mungkin hanya dikenal di lingkungan internal kepolisian. Rekan-rekannya (yang meminta anonimitas) menggambarkannya sebagai seorang perwira yang berdedikasi. Pria asal Nusa Tenggara Timur ini meniti karir dari bawah, dikenal sebagai komandan yang disiplin namun peduli pada anak buahnya. Ia bukan tipe perwira yang hanya duduk di belakang meja. Ia adalah "orang lapangan", terbiasa dengan situasi berisiko tinggi. Namun, tidak ada pelatihan yang bisa sepenuhnya mempersiapkan seorang komandan untuk menghadapi dilema seperti ini. Di satu sisi, ia memiliki perintah untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara. Di sisi lain, ia berhadapan dengan warga negaranya sendiri. Tekanan psikologis yang dihadapinya saat itu pastilah luar biasa. Keputusan sepersekian detik yang diambil di tengah kebisingan dan ancaman memiliki konsekuensi yang abadi. "Dia hanya menjalankan perintah," bisik salah seorang rekannya. "Tapi pada akhirnya, komandan di lapangan yang harus menanggung semuanya."

Reaksi publik atas tewasnya Affan begitu cepat dan dahsyat. Tagar #UsutTuntas dan #JusticeForAffan merajai media sosial. Foto-foto jaket hijau yang berlumuran darah menjadi simbol perlawanan. Kemarahan komunitas ojol, yang merasa sebagai tulang punggung ekonomi kota namun selalu menjadi korban, meledak tak terkendali. Institusi Polri berada di bawah sorotan tajam. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit: membela anggotanya atau meredam amarah publik yang bisa memicu gejolak lebih besar. Pilihan jatuh pada yang kedua. Sidang etik digelar dengan cepat, seolah mengejar tenggat waktu dari opini publik. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) menjadi vonis yang tak terhindarkan. Bagi banyak orang, ini adalah keadilan. Namun bagi sebagian pengamat, ini adalah tindakan "pengorbanan" seorang perwira untuk menyelamatkan muka institusi. Kompol Kosmas menjadi personifikasi dari kesalahan sistemik, dan dengan memberhentikannya, institusi berharap dapat menutup babak kelam ini.

Namun, tangis Kosmas setelah vonis justru membuka babak baru. Video itu memanusiakan dirinya. Publik yang tadinya hanya melihatnya sebagai "pelaku" atau "komandan Brimob" kini melihat seorang pria hancur yang kehilangan segalanya: karir, kehormatan, dan mungkin juga masa depannya. Simpati mulai bermunculan, meski lirih. Diskusi bergeser dari sekadar menyalahkan satu orang ke pertanyaan yang lebih fundamental. Apakah penggunaan rantis di tengah kerumunan padat sudah sesuai prosedur? Sejauh mana efektivitas pelatihan pengendalian massa yang dimiliki aparat? Apakah ada kegagalan dalam rantai komando? Tragedi ini bukan lagi hanya tentang kesalahan seorang individu, melainkan cermin dari masalah yang lebih besar dalam doktrin keamanan dan penanganan unjuk rasa di Indonesia. Ia memaksa kita bertanya, apakah negara sudah terlalu sering menggunakan pendekatan militeristik untuk menghadapi masalah sipil?

Kini, Kompol Kosmas harus menghadapi hari-harinya tanpa seragam kebanggaannya. Ia juga masih harus menghadapi proses pidana umum yang menantinya. Di sisi lain, keluarga Affan Kurniawan harus melanjutkan hidup dengan lubang menganga di hati mereka. Tidak ada putusan sidang etik atau proses hukum yang bisa mengembalikan orang yang mereka cintai. Institusi Polri mungkin berhasil meredam gejolak sesaat, namun luka dan ketidakpercayaan publik akan membekas lama. Kisah Kompol Kosmas adalah pengingat yang menyakitkan bahwa dalam sebuah konflik sosial, tidak ada pemenang sejati. Yang ada hanyalah korban. Korban yang kehilangan nyawa, korban yang kehilangan masa depan, dan sebuah bangsa yang kembali terluka oleh kekerasan yang dilakukan oleh dan kepada rakyatnya sendiri. Tangis seorang komandan di ruang sidang itu, pada akhirnya, adalah tangis bagi sebuah sistem yang mungkin telah gagal melindungi semua pihak.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama