Jakarta, Indonesia – Rentetan insiden kekerasan yang mewarnai penanganan aksi unjuk rasa dalam sepekan terakhir, yang berpuncak pada tragedi di Bandung dan kasus tewasnya seorang warga sipil, telah memantik perdebatan serius di kalangan ahli hukum mengenai praktik pengendalian massa di Indonesia. Sejumlah pakar hukum tata negara dan hak asasi manusia (HAM) angkat bicara, mengingatkan kembali aparat keamanan dan negara akan prinsip-prinsip fundamental yang harus dipegang teguh dalam menghadapi eskalasi massa. Pesan utamanya jelas: di tengah situasi sekacau apa pun, negara tidak boleh kehilangan kendali moral dan terperosok ke dalam siklus kekerasan.
Profesor Hukum dari salah satu universitas terkemuka di Jakarta, dalam sebuah wawancara khusus pada Selasa, 2 September 2025, menggarisbawahi bahwa kerangka hukum internasional dan nasional sebenarnya sudah sangat jelas mengatur tentang penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum. "Kita punya Peraturan Kapolri (Perkap) tentang Pengendalian Massa, kita juga terikat pada Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum. Aturannya sudah ada dan sangat detail, masalahnya ada pada implementasi di lapangan," jelasnya.
Menurutnya, ada tiga prinsip kunci yang seringkali diabaikan dalam praktik di lapangan: legalitas, nesesitas (kebutuhan), dan proporsionalitas. Prinsip legalitas berarti setiap tindakan aparat harus memiliki dasar hukum yang jelas. Prinsip nesesitas berarti penggunaan kekuatan, apalagi kekuatan yang mematikan, hanya boleh dilakukan sebagai pilihan terakhir (last resort) ketika cara-cara yang lebih persuasif sudah terbukti tidak efektif untuk mencegah ancaman yang nyata dan segera.
"Pertanyaannya, apakah menembakkan gas air mata ke dalam lingkungan kampus yang sudah menjadi zona aman bisa dibenarkan atas dasar nesesitas? Apakah tindakan melindas massa dengan kendaraan taktis, apa pun situasinya, merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia? Di sinilah letak persoalannya," ujar sang profesor dengan nada prihatin.
Prinsip ketiga, dan yang paling krusial, adalah proporsionalitas. Prinsip ini menuntut agar tingkat kekuatan yang digunakan oleh aparat harus seimbang dengan tingkat ancaman yang dihadapi. Jika massa hanya melakukan aksi damai atau pembangkangan sipil tanpa kekerasan, maka respons aparat sama sekali tidak boleh melibatkan kekerasan fisik. Bahkan ketika ada kelompok kecil yang melakukan provokasi, respons aparat harus terukur dan hanya menargetkan pelaku kekerasan, bukan menyapu rata seluruh massa aksi.
"Menghadapi massa yang melempar botol air mineral tidak bisa dibalas dengan peluru karet atau gas air mata. Menghadapi barikade ban bekas yang dibakar tidak bisa direspons dengan mengerahkan kendaraan lapis baja untuk menyerbu. Itu tidak proporsional. Tindakan semacam itu justru akan memancing eskalasi kekerasan yang lebih besar dan menghilangkan simpati publik," terangnya.
Pakar hukum lainnya, seorang advokat senior yang lama berkecimpung dalam isu-isu HAM, menambahkan dimensi lain, yaitu pentingnya akuntabilitas. Setiap pelanggaran prosedur dan penggunaan kekuatan yang berlebihan harus diusut tuntas dan pelakunya harus dibawa ke pengadilan, baik pengadilan disiplin, etik, maupun pidana. Tanpa adanya akuntabilitas yang tegas, siklus impunitas akan terus berlanjut, dan aparat di lapangan akan merasa bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi.
"Sidang etik yang sekarang berjalan untuk kasus tewasnya Affan Kurniawan adalah langkah awal yang baik, tetapi tidak cukup. Harus ada proses pidana yang transparan. Publik harus melihat bahwa negara serius dalam menghukum anggotanya yang bersalah. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan semakin tergerus hingga ke titik nol," tegasnya.
Ia juga mengkritik narasi "tindakan tegas dan terukur" yang seringkali digaungkan oleh pejabat. Menurutnya, frasa tersebut kini telah mengalami devaluasi makna dan seringkali hanya menjadi justifikasi untuk tindakan represif. "Terukur itu artinya apa? Ukurannya haruslah HAM dan supremasi hukum, bukan selera atau emosi sesaat aparat di lapangan. Tegas bukan berarti beringas. Tegas itu artinya menegakkan hukum tanpa pandang bulu, termasuk kepada anggota sendiri yang melanggar," paparnya.
Para pakar ini sepakat bahwa situasi dilematis yang dihadapi aparat di lapangan tidak bisa diabaikan. Mereka juga berhadapan dengan tekanan psikologis, kelelahan, dan provokasi. Oleh karena itu, solusi jangka panjangnya terletak pada reformasi institusional yang menyeluruh: perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan aparat yang berperspektif HAM, penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal, serta yang terpenting, memastikan bahwa perintah dari level komando tertinggi selalu selaras dengan prinsip-prinsip hukum dan HAM.
Pada akhirnya, para ahli hukum ini mengirimkan sebuah pesan fundamental kepada negara. Penanganan demonstrasi bukan sekadar persoalan teknis keamanan, melainkan cerminan dari watak dan peradaban sebuah bangsa. Ketika negara memilih jalan kekerasan untuk menghadapi kritik dari warganya sendiri, saat itulah ia mulai kehilangan legitimasinya. Menjaga ketertiban umum itu penting, tetapi menjaganya dengan cara-cara yang menghormati martabat kemanusiaan jauh lebih penting. Itulah satu-satunya cara agar negara tidak kehilangan kendali moralnya.