Jakarta, Indonesia – Di tengah riuh rendah suara demonstran di jalanan, sebuah peristiwa hukum yang signifikan terjadi pada Selasa pagi, 2 September 2025, yang seketika memicu gelombang kemarahan baru, khususnya dari kalangan pegiat hak asasi manusia dan masyarakat sipil. Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif lembaga bantuan hukum dan HAM terkemuka, Lokataru, ditangkap oleh aparat kepolisian di kediamannya. Penangkapan salah satu figur paling vokal dalam mengkritik kebijakan pemerintah dan advokasi korban ini sontak dibaca sebagai sebuah eskalasi serangan terhadap kebebasan sipil dan upaya sistematis untuk membungkam suara-suara kritis.
Kabar penangkapan Delpedro pertama kali menyebar melalui akun media sosial resmi Lokataru. Dalam sebuah utas yang diunggah beberapa saat setelah kejadian, tim hukum Lokataru menjelaskan kronologi penjemputan paksa yang mereka sebut sarat akan kejanggalan prosedural. Menurut mereka, belasan petugas berpakaian preman datang tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan yang sah pada awalnya. Delpedro kemudian dibawa ke markas kepolisian daerah dengan dalih untuk dimintai keterangan, namun statusnya dengan cepat dinaikkan menjadi tersangka.
Dasar hukum yang digunakan untuk penangkapan ini adalah dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong dan penghasutan yang menimbulkan keonaran di tengah masyarakat. Tuduhan ini disebut-sebut berkaitan dengan beberapa unggahan di akun media sosial pribadi Delpedro dan Lokataru yang secara aktif mengomentari, mengkritik, dan menyebarkan informasi terkait gelombang aksi massa serta insiden kekerasan aparat yang terjadi dalam sepekan terakhir.
Sontak, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari puluhan LSM, organisasi bantuan hukum, dan kelompok pro-demokrasi lainnya bergerak cepat. Mereka menggelar konferensi pers darurat pada Selasa siang. Dalam pernyataan sikap bersama yang dibacakan, koalisi mengutuk keras penangkapan tersebut dan menilainya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis HAM. "Ini adalah sebuah pesan intimidasi yang sangat jelas dari negara. Pesannya adalah: 'Jika Anda berani bersuara kritis, kami akan datang menjemput Anda'. Ini adalah praktik era Orde Baru yang coba dihidupkan kembali untuk membungkam kritik," tegas seorang perwakilan koalisi dengan suara bergetar.
Para pegiat HAM menyoroti beberapa poin krusial yang membuat penangkapan ini sangat problematis. Pertama, penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang selama ini memang telah dikritik karena multitafsir dan kerap dijadikan alat untuk memberangus kebebasan berekspresi. Apa yang dilakukan Delpedro, menurut mereka, adalah bagian dari kerja-kerja pemantauan dan advokasi HAM yang sah dan dilindungi oleh konstitusi, bukan tindakan penghasutan. Menyebarkan informasi mengenai kekerasan aparat atau mengajak publik untuk bersolidaritas dengan korban adalah bagian dari kebebasan sipil.
Kedua, prosedur penangkapan yang dinilai cacat hukum. Ketiadaan surat perintah yang jelas di awal dan proses penetapan tersangka yang terkesan terburu-buru menimbulkan kecurigaan bahwa kasus ini dipaksakan. "Proses hukumnya tampak seperti formalitas untuk melegitimasi sebuah keputusan politik yang sudah diambil sebelumnya. Tujuannya bukan penegakan hukum, melainkan pembungkaman," ujar seorang pengacara publik yang turut mendampingi kasus ini.
Ketiga, momentum penangkapan yang sangat berdekatan dengan eskalasi protes nasional. Delpedro dan Lokataru adalah salah satu simpul penting dalam jaringan advokasi bagi para korban kekerasan selama aksi. Penangkapan direkturnya dapat dibaca sebagai upaya untuk melumpuhkan salah satu pusat bantuan hukum dan informasi bagi para demonstran, dengan harapan dapat melemahkan moral dan soliditas gerakan perlawanan.
Pihak kepolisian, dalam keterangannya kepada media, bersikukuh bahwa penangkapan telah dilakukan sesuai prosedur dan didasarkan pada bukti-bukti permulaan yang cukup. Juru bicara kepolisian menyatakan bahwa beberapa unggahan yang dipermasalahkan dianggap telah melampaui batas kritik dan masuk ke dalam ranah penyebaran disinformasi yang berpotensi memperkeruh suasana dan memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindakan anarkistis. "Kebebasan berpendapat ada batasnya. Batasnya adalah ketika sudah mengganggu ketertiban umum dan menghasut orang lain untuk melanggar hukum. Negara harus hadir untuk menjaga stabilitas," kata juru bicara tersebut.
Namun, argumen ini tidak memuaskan para pembela kebebasan sipil. Mereka berpendapat bahwa negara gagal membedakan antara kritik, hasutan, dan informasi yang tidak menyenangkan bagi penguasa. Penangkapan Delpedro Marhaen kini menjadi sebuah test case penting bagi kesehatan demokrasi Indonesia. Kasus ini akan menjadi barometer yang mengukur seberapa jauh negara bersedia mentolerir perbedaan pendapat dan suara-suara kritis. Bagi para aktivis, pertarungannya kini tidak hanya lagi di jalanan, tetapi juga di ruang-ruang pengadilan, untuk mempertahankan pilar terakhir demokrasi: hak untuk berbicara tanpa rasa takut. Gelombang protes atas penangkapan ini diprediksi akan terus menguat, menambah satu lagi lapisan tuntutan dalam daftar panjang kegelisahan publik.