PBB Soroti Protes di Indonesia, DPR Menjawab: "Kami Punya Mekanisme Hukum Sendiri"


Jakarta, Indonesia – Gelombang demonstrasi besar-besaran yang melanda Indonesia dalam sepekan terakhir ternyata tidak hanya menjadi sorotan di dalam negeri. Perhatian komunitas internasional pun mulai tertuju pada dinamika sosial-politik di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR), secara resmi menyuarakan keprihatinannya atas laporan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka serta dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) oleh aparat keamanan dalam menangani aksi massa. Pernyataan dari badan dunia ini sontak memanaskan tensi politik nasional dan memicu respons cepat dari para legislator di Senayan.

Dalam pernyataan resminya yang dirilis pada Selasa, 2 September 2025, juru bicara OHCHR di Jenewa, Swiss, menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghormati hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat, berekspresi, dan berkumpul secara damai. PBB mendesak adanya investigasi yang cepat, menyeluruh, dan imparsial terhadap semua insiden kekerasan, terutama yang mengakibatkan kematian dan luka serius pada warga sipil, termasuk kasus yang menimpa pengemudi ojek online, Affan Kurniawan. "Kami mendesak pihak berwenang untuk memastikan bahwa setiap penggunaan kekuatan oleh aparat keamanan selalu mematuhi prinsip-prinsip legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas," tegas juru bicara tersebut.

Sorotan dari PBB ini dengan cepat menjadi berita utama di berbagai media nasional dan internasional, memberikan tekanan tambahan bagi pemerintah dan aparat keamanan. Isu ini pun tak luput dari perhatian para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dalam sebuah rapat dengar pendapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, sejumlah anggota dewan dari berbagai fraksi memberikan tanggapan mereka.

Ketua salah satu Komisi di DPR RI, dalam sesi interupsi, menyatakan bahwa meskipun masukan dari komunitas internasional dihormati, Indonesia adalah negara yang berdaulat dengan sistem hukumnya sendiri. "Kami menghargai perhatian dari PBB. Namun, perlu dicatat bahwa Indonesia memiliki mekanisme hukum dan lembaga-lembaga nasional yang kredibel, seperti Komnas HAM dan Ombudsman, untuk menangani isu-isu semacam ini. Biarkan proses hukum berjalan sesuai koridor yang berlaku di negara kita," ujarnya dengan nada tegas.

Senada dengan itu, seorang legislator dari partai koalisi pemerintah menambahkan bahwa situasi di lapangan seringkali lebih kompleks daripada yang terlihat dari jauh. Ia berargumen bahwa aparat keamanan juga dihadapkan pada kelompok-kelompok perusuh yang anarkistis dan sengaja memancing bentrokan. "Jangan hanya melihat dari satu sisi. Aparat kita juga banyak yang menjadi korban. Ada upaya sistematis untuk mendelegitimasi negara. Intervensi narasi dari luar seringkali tidak memahami konteks domestik kita secara utuh," paparnya. Menurutnya, pemerintah dan DPR saat ini sedang bekerja untuk merespons tuntutan substantif dari masyarakat, seperti evaluasi tunjangan pejabat dan percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset.

Namun, tidak semua suara di Senayan seragam. Beberapa anggota dewan dari fraksi oposisi justru memandang pernyataan PBB sebagai sebuah "tamparan" dan cermin dari kegagalan pemerintah dalam mengelola krisis. "Pernyataan PBB ini seharusnya menjadi bahan introspeksi mendalam bagi kita semua, terutama pemerintah dan aparat. Ini adalah sinyal bahwa dunia internasional mengawasi kita. Jangan sampai citra demokrasi Indonesia yang kita bangun dengan susah payah tercoreng oleh tindakan-tindakan represif yang tidak perlu," kata seorang anggota dewan dari fraksi oposisi.

Ia juga mengkritik respons koleganya yang dianggap terlalu defensif dan anti-kritik. "Bersembunyi di balik tameng kedaulatan nasional sambil membiarkan pelanggaran HAM terjadi adalah sebuah kekeliruan. Justru karena kita negara berdaulat, kita harus bisa menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu menyelesaikan masalah kita sendiri dengan cara yang adil, transparan, dan beradab," tegasnya.

Dialog antara sorotan internasional dan respons domestik ini mencerminkan sebuah dilema klasik dalam politik global. Di satu sisi, ada prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara. Di sisi lain, ada norma-norma hak asasi manusia universal yang pengawasannya bersifat lintas batas. Bagi para aktivis pro-demokrasi, perhatian dari PBB dianggap sebagai angin segar dan dukungan moral yang penting. Ini memberikan legitimasi internasional bagi perjuangan mereka dan dapat menjadi alat penekan tambahan agar pemerintah lebih serius dalam menindaklanjuti tuntutan keadilan.

Pemerintah Indonesia kini berada dalam posisi yang delikat. Mengabaikan seruan PBB dapat merusak reputasi diplomatik negara di panggung dunia. Namun, mengakomodasinya secara penuh juga dapat dianggap sebagai tanda kelemahan di mata sebagian kalangan nasionalis. Langkah yang akan diambil selanjutnya akan menjadi ujian penting bagi kematangan demokrasi Indonesia: apakah negara ini mampu membuktikan bahwa mekanisme internalnya cukup kuat untuk menjamin keadilan bagi warganya, atau justru membutuhkan tekanan dari luar untuk bergerak ke arah yang benar. Jawaban DPR yang beragam menunjukkan bahwa bahkan di tingkat elite pun, pandangan mengenai hal ini masih terbelah.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama