Bandung, Indonesia – Selasa dini hari, 2 September 2025, menjadi malam yang kelam bagi dunia pendidikan dan kebebasan sipil di Indonesia. Suasana mencekam menyelimuti kawasan sekitar kampus Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Pasundan (UNPAS) di Jalan Tamansari, Bandung. Bukan oleh hingar bingar kehidupan malam kota kembang, melainkan oleh rentetan suara tembakan gas air mata dan kepulan asap pedih yang memaksa masuk hingga ke dalam lingkungan akademik. Peristiwa ini, yang oleh banyak pihak disebut sebagai serangan terhadap mimbar kebebasan, menjadi pemicu lahirnya gelombang kemarahan digital yang terwujud dalam tagar #AllEyesOnBandung. Dalam sekejap, tagar ini merajai puncak percakapan di berbagai platform media sosial, mengubah sorotan nasional dari hiruk pikuk politik Jakarta ke tragedi kemanusiaan di jantung Kota Bandung.
Kronologi peristiwa, yang direkonstruksi dari berbagai kesaksian mahasiswa, rekaman video amatir, dan rilis pers lembaga bantuan hukum, dimulai setelah aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat mereda pada Senin malam. Sejumlah massa aksi, yang sebagian besar adalah mahasiswa, kembali ke sekitar area kampus mereka. Situasi yang semula kondusif berubah menjadi tegang ketika aparat keamanan dalam jumlah besar mulai bergerak mendekati kawasan Tamansari. Menurut kesaksian di lapangan, tanpa provokasi yang berarti, aparat mulai melakukan tindakan represif untuk membubarkan kerumunan yang masih tersisa di luar gerbang kampus.
Puncaknya terjadi ketika tembakan gas air mata tidak lagi diarahkan ke jalanan, melainkan secara sengaja dilontarkan melewati gerbang, jatuh dan meledak di pelataran masjid dan gedung-gedung perkuliahan UNISBA serta UNPAS. Video-video yang beredar luas menunjukkan kepanikan luar biasa. Mahasiswa yang tengah beristirahat, relawan medis yang bersiaga, hingga petugas keamanan kampus yang berjaga, semuanya menjadi korban. Mereka berlarian mencari perlindungan, mata memerah dan napas sesak, di dalam sebuah institusi yang seharusnya menjadi zona aman dan steril dari kekerasan.
"Kami tidak sedang berkonfrontasi. Kami berada di dalam rumah kami sendiri, di dalam kampus. Tiba-tiba kami diserang. Asap memenuhi ruangan, kami tidak bisa bernapas. Ini bukan lagi pembubaran massa, ini adalah teror," ungkap seorang mahasiswi UNPAS sambil terisak dalam sebuah rekaman suara yang viral. Kesaksian lain menyebutkan adanya korban luka akibat terkena peluru karet, termasuk seorang petugas keamanan kampus yang mencoba melindungi mahasiswa.
Dunia digital merespons dengan kecepatan kilat. Tagar #AllEyesOnBandung bukan sekadar menjadi label, melainkan sebuah gerakan solidaritas masif. Warganet, aktivis, jurnalis warga, hingga selebritas serentak mengunggah ulang video-video mencekam dari lokasi kejadian. Mereka berbagi informasi mengenai titik aman, kebutuhan medis darurat, dan nomor-nomor kontak bantuan hukum. Linimasa media sosial berubah menjadi papan pengumuman darurat sekaligus galeri bukti digital atas apa yang terjadi. Foto-foto selongsong gas air mata yang ditemukan di dalam perpustakaan, video petugas keamanan kampus yang terkapar, hingga tangkapan layar percakapan mahasiswa yang ketakutan terkepung, semuanya menjadi amunisi perlawanan terhadap narasi resmi yang mungkin akan dibangun kemudian.
Gerakan #AllEyesOnBandung menjadi contoh sempurna bagaimana solidaritas digital dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial dan alat penekan yang kuat. Ketika media arus utama mungkin membutuhkan waktu untuk verifikasi dan terikat oleh berbagai pertimbangan redaksional, media sosial memberikan ruang bagi suara-suara korban untuk terdengar secara langsung dan tanpa filter. Kekuatan kolektif warganet berhasil memaksa isu ini menjadi agenda utama nasional. Dalam hitungan jam, hampir semua portal berita besar menaikkan berita tentang insiden di Bandung, mengutip kesaksian-kesaksian yang sebelumnya hanya beredar di media sosial.
Kecaman datang dari berbagai penjuru. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan akan segera menurunkan tim untuk melakukan investigasi mendalam. Ikatan alumni dari kedua universitas mengeluarkan pernyataan sikap yang keras, mengutuk tindakan aparat dan menuntut pertanggungjawaban dari Kapolda Jawa Barat. Para akademisi dari berbagai universitas di Indonesia turut menyuarakan keprihatinan mereka, menyebut insiden ini sebagai ancaman serius terhadap otonomi kampus dan kebebasan akademik yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Di sisi lain, pihak kepolisian, dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa siang, memberikan versi yang berbeda. Mereka mengklaim bahwa tindakan tersebut merupakan respons atas adanya provokasi dari massa yang melemparkan bom molotov dari sekitar area kampus. Klaim ini langsung dibantah oleh pihak rektorat kedua universitas dan tim advokasi mahasiswa, yang menyatakan tidak ada bukti kuat yang mendukung tuduhan tersebut. Perang narasi pun tak terhindarkan, namun bukti-bukti digital yang telah tersebar luas membuat publik cenderung lebih skeptis terhadap pernyataan resmi aparat.
Insiden Tamansari dan ledakan tagar #AllEyesOnBandung adalah sebuah pelajaran mahal. Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya batas antara penegakan ketertiban dan pelanggaran hak asasi manusia. Lebih dari itu, ia membuktikan bahwa di era transparansi digital, setiap tindakan represif akan selalu meninggalkan jejak. Ketika kampus sebagai benteng terakhir akal sehat dan nurani dilukai, maka solidaritas dari seluruh negeri akan bangkit, memastikan bahwa mata semua orang benar-benar tertuju pada Bandung, menuntut keadilan dan pertanggungjawaban.