Jika ada yang mengira amuk massa yang melumpuhkan Jakarta sejak pertengahan pekan lalu adalah masalah lokal ibu kota, mereka salah besar. Bara api kemarahan yang tersulut di Senayan ternyata memiliki daya rambat yang mengerikan. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 48 jam, percikannya telah melompati lautan, menyulut kobaran api serupa di berbagai daerah, mengubah krisis politik lokal menjadi sebuah gejolak keamanan berskala nasional.
Pemandangan paling dramatis datang dari Pulau Dewata, Bali. Pulau yang selama ini dikenal sebagai surga dunia dengan ketenangan dan keindahan budayanya, pada Jumat malam, menunjukkan wajah yang berbeda. Ribuan orang, mayoritas adalah anak-anak muda yang terorganisir melalui media sosial, turun ke jalanan Denpasar. Tuntutan mereka senada dengan apa yang diteriakkan di Jakarta: protes terhadap kebijakan pemerintah dan ketidakadilan sosial.
Aksi yang semula terkonsentrasi di depan Gedung DPRD Provinsi Bali itu dengan cepat memanas. Negosiasi yang buntu dan provokasi dari oknum tak dikenal mengubah aksi damai menjadi anarkis. Massa yang marah merangsek maju, menjebol barikade polisi. Puncaknya, gedung DPRD Bali yang megah menjadi sasaran amuk. Kaca-kaca dipecahkan, fasilitas di dalamnya dirusak, dan sebagian kecil dari bangunan itu bahkan sempat terbakar sebelum petugas pemadam kebakaran berhasil tiba di lokasi. Asap hitam yang membubung di atas Denpasar menjadi sinyal bahwa gelombang protes telah benar-benar melintasi pulau.
"Kami syok. Kami tidak pernah melihat Bali seperti ini," ujar Wayan Sudira, seorang pemilik warung di dekat lokasi kejadian. "Turis-turis ketakutan, banyak yang membatalkan pesanan. Ini bukan hanya merusak gedung, ini merusak citra pariwisata yang menjadi napas hidup kami semua di sini." Pernyataan Wayan mewakili kegelisahan banyak warga Bali. Kerusuhan ini menjadi pukulan telak bagi industri pariwisata yang baru saja mulai bangkit.
Sementara itu, di Jakarta, eskalasi kekerasan mencapai level yang lebih membahayakan. Target massa bukan lagi hanya simbol-simbol kekuasaan politik, tetapi juga institusi keamanan negara. Markas Komando (Mako) Korps Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, yang merupakan salah satu jantung kekuatan kepolisian, diserang oleh sekelompok massa pada Sabtu dini hari.
Penyerangan ini menunjukkan tingkat keberanian dan kenekatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ratusan orang dengan pakaian serba hitam melempari Mako Brimob dengan bom molotov, batu, dan petasan. Tembakan-tembakan peringatan yang dilepaskan petugas seolah tak digubris. Beberapa bagian depan markas sempat terbakar, menciptakan pemandangan yang sureal: benteng pertahanan polisi justru sedang diserang habis-habisan. Butuh waktu lebih dari dua jam bagi pasukan tambahan untuk membubarkan massa dan mengamankan situasi. Belum jelas siapa dalang di balik penyerangan terorganisir ini, namun insiden ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa aparat keamanan kini juga menjadi musuh utama bagi sebagian kelompok.
Dampak dari meluasnya kerusuhan ini paling dirasakan oleh warga biasa. Fasilitas publik yang menjadi urat nadi kehidupan sehari-hari menjadi korban. Di berbagai sudut Jakarta, mulai dari Jakarta Timur hingga Jakarta Barat, puluhan halte TransJakarta dirusak dan dibakar. Halte-halte yang menjadi tempat warga menunggu transportasi publik kini hanya menyisakan kerangka hitam yang hangus. Akibatnya, layanan bus TransJakarta lumpuh total di beberapa koridor, memaksa ribuan warga untuk mencari alternatif transportasi yang lebih mahal dan sulit.
"Saya jadi susah mau kerja. Biasanya naik busway murah dan cepat, sekarang harus naik ojek online yang harganya tiga kali lipat. Gaji saya tidak seberapa, ini benar-benar menyusahkan," keluh Siti, seorang karyawati swasta yang ditemui sedang kebingungan di dekat halte bus yang telah hancur.
Pola yang terjadi di berbagai daerah ini menunjukkan adanya sebuah benang merah. Kemarahan yang dipicu oleh isu ekonomi dan politik di Jakarta dengan cepat direspons dan direplikasi di daerah lain, menandakan bahwa perasaan ketidakpuasan ini sebenarnya telah lama terpendam di berbagai lapisan masyarakat di seluruh negeri. Media sosial berperan besar dalam mempercepat penyebaran informasi dan mengorganisir massa, namun akar masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar tagar yang sedang tren.
Pemerintah dan aparat keamanan kini dihadapkan pada tantangan yang luar biasa berat. Mereka tidak lagi hanya menghadapi satu titik api di Jakarta, melainkan beberapa kebakaran besar yang terjadi serentak di berbagai wilayah. Salah langkah dalam penanganan dapat memperburuk situasi dan menyeret Indonesia ke dalam krisis yang lebih dalam. Bara api itu telah menjalar, dan memadamkannya akan membutuhkan lebih dari sekadar water cannon dan gas air mata.