Jakarta - Di tengah gemuruh suara demonstran di jalanan dan ketegangan politik yang mencapai titik didih, sebuah pemandangan di Istana Negara pada Senin, 1 September 2025, justru memicu lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Saat Presiden Prabowo Subianto, didampingi oleh jajaran lengkap ketua umum partai politik koalisi dan tokoh-tokoh senior bangsa, memberikan pernyataan pers yang krusial untuk menenangkan negara, satu sosok penting justru tidak terlihat: Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Absennya Gibran dalam momen yang dianggap sebagai ujian kepemimpinan pertama dan terberat bagi pemerintahan baru ini sontak menjadi pusat spekulasi, memantik desas-desus tentang keretakan di internal kekuasaan hingga dugaan adanya manuver politik yang lebih besar.
Konferensi pers yang digelar sore itu bukanlah acara biasa. Ruangan itu penuh sesak dengan wajah-wajah paling berpengaruh di republik ini. Dari Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, hingga para pimpinan ormas besar, semua hadir menunjukkan persatuan dan soliditas di belakang Presiden Prabowo. Tujuannya jelas: mengirim pesan kuat kepada publik bahwa negara stabil dan pemerintah bersatu padu dalam menghadapi gelombang unjuk rasa yang berujung anarkis. Namun, kekosongan kursi yang seharusnya diisi oleh Gibran terasa begitu mencolok, sebuah anomali visual yang tak bisa diabaikan oleh kamera media maupun mata para pengamat politik.
Pihak Istana Kepresidenan bergegas memberikan klarifikasi. Melalui juru bicaranya, disampaikan bahwa Wakil Presiden Gibran pada saat yang bersamaan memiliki agenda kerja lain yang tidak dapat ditinggalkan. "Bapak Wakil Presiden sedang menjalankan tugas kenegaraan lain yang sudah terjadwal jauh-jauh hari dan memiliki urgensi yang sama pentingnya. Tidak ada maksud lain. Koordinasi antara Presiden dan Wakil Presiden terus berjalan lancar setiap saat," ujar sang juru bicara kepada wartawan.
Namun, penjelasan normatif tersebut gagal memuaskan dahaga publik akan kepastian. Di era politik yang sarat dengan simbolisme, ketidakhadiran Gibran ditafsirkan dalam berbagai makna. Pengamat politik dari Lembaga Survei Nusantara, Adi Prayitno, menilai bahwa apa pun alasan resminya, absennya Gibran adalah sebuah "blunder komunikasi politik" yang serius di masa krisis.
"Dalam situasi genting seperti ini, simbol persatuan adalah segalanya. Kehadiran lengkap Presiden dan Wakil Presiden, berdiri berdampingan, akan memberikan efek psikologis yang luar biasa menenangkan bagi pasar dan masyarakat," jelas Adi. "Ketika Wapres tidak ada, ruang interpretasi menjadi liar. Orang mulai bertanya-tanya, apakah ada perbedaan pandangan dalam menyikapi krisis ini? Apakah Gibran sengaja 'menjaga jarak' untuk tujuan politik jangka panjang? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan berbahaya yang seharusnya bisa dihindari dengan mudah."
Spekulasi yang paling santer beredar adalah kemungkinan adanya perbedaan strategi antara kubu Prabowo dan lingkaran politik yang masih loyal kepada mantan Presiden Joko Widodo, ayah Gibran. Beberapa analis menduga, Gibran dan kelompoknya mungkin lebih memilih pendekatan yang lebih lunak dan akomodatif terhadap tuntutan para demonstran, kontras dengan sikap Prabowo yang dalam pidatonya terdengar sangat tegas dan tanpa kompromi, bahkan menyinggung adanya upaya makar.
"Kita tidak boleh lupa bahwa Gibran adalah representasi dari kekuatan politik Jokowi. Gaya kepemimpinan Jokowi selama ini adalah merangkul dan berdialog. Mungkin saja ada kalkulasi bahwa memperlihatkan wajah yang terlalu keras di awal pemerintahan berisiko menggerus basis dukungan populer yang mereka bangun," ujar seorang analis politik dari Universitas Paramadina. "Absennya Gibran bisa jadi adalah cara untuk 'menyeimbangkan' pesan. Prabowo menunjukkan ketegasan, sementara Gibran, dengan ketidakhadirannya, secara tidak langsung memposisikan diri sebagai figur yang lebih moderat, sebuah aset untuk masa depan."
Teori lain yang tak kalah menarik adalah bahwa ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memisahkan citra Gibran dari bayang-bayang Prabowo. Sebagai politisi muda dengan ambisi yang jelas untuk kontestasi pemilu di masa depan, Gibran perlu membangun persona kepemimpinannya sendiri. Dengan tidak selalu tampil "mengekor" di setiap acara penting presiden, ia mungkin sedang berusaha menunjukkan independensinya.
Namun, di tengah krisis nasional, strategi semacam ini dianggap sangat berisiko. Oposisi politik tentu tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk "menggoreng" isu keretakan internal. Sudah mulai muncul narasi di media sosial yang membingkai absennya Gibran sebagai bukti bahwa pemerintahan ini tidak solid dan bahkan ada "matahari kembar" di pucuk pimpinan.
Seorang anggota parlemen dari fraksi oposisi, yang meminta namanya tidak disebutkan, menyatakan keprihatinannya. "Kami tidak ingin berspekulasi, tapi ini pemandangan yang aneh. Saat negara butuh kepemimpinan yang utuh, sang wakil pemimpin justru tidak ada. Rakyat berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam istana. Apakah mereka satu suara, atau masing-masing punya agenda sendiri?"
Pada akhirnya, bola kini ada di tangan Gibran. Penampilan publiknya dalam beberapa hari ke depan akan sangat menentukan bagaimana narasi ini akan berkembang. Apakah ia akan muncul dan memberikan pernyataan yang menegaskan kesolidannya dengan Presiden Prabowo, ataukah ia akan terus bermanuver dalam diam? Jawaban atas pertanyaan itu tidak hanya akan membentuk citra pemerintahannya, tetapi juga dapat menentukan arah stabilitas politik Indonesia dalam beberapa bulan mendatang. Satu hal yang pasti, kekosongan satu kursi di panggung utama Istana telah berhasil mencuri perhatian seluruh negeri, mengalihkan sejenak fokus dari kobaran api di jalanan ke potensi bara api di pusat kekuasaan.