Jakarta - Kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas mengenaskan diduga setelah terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat aksi unjuk rasa 28 Agustus lalu, telah menjadi percikan api yang menyulut kembali bara tuntutan reformasi institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dari lorong-lorong media sosial hingga mimbar-mimbar orasi jalanan, gema kemarahan publik kini mengerucut pada satu desakan yang semakin menguat: audit total dan reformasi struktural Polri, bahkan hingga tuntutan ekstrem untuk membubarkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Tragedi yang menimpa Affan bukan lagi sekadar duka bagi keluarga yang ditinggalkan, melainkan telah menjadi simbol akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap potret aparat keamanan yang dinilai semakin represif dan jauh dari perannya sebagai pengayom. Video amatir yang merekam detik-detik insiden tersebut menyebar dengan kecepatan kilat, membakar emosi kolektif dan mengubah duka menjadi amarah yang terorganisir. Tagar seperti #ReformasiPolri dan #BubarkanDensus88 merajai lini masa, menjadi manifesto digital dari ketidakpercayaan publik yang mencapai titik nadir.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menjadi salah satu lembaga yang paling vokal menyuarakan tuntutan ini. Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar, dalam konferensi pers pada Senin, 1 September 2025, menyatakan bahwa kasus Affan adalah puncak gunung es dari praktik kekerasan berlebihan dan minimnya akuntabilitas di tubuh Polri.
"Ini bukan insiden tunggal, ini adalah pola yang berulang. Dari Tragedi Kanjuruhan, kasus KM 50, hingga kini Affan Kurniawan, kita melihat sebuah kultur impunitas yang terus dilestarikan," ujar Rivanlee. "Hukuman disipliner atau sidang etik tidak akan pernah cukup. Yang kita butuhkan adalah reformasi total yang menyentuh akar masalah: doktrin keamanan, sistem pengawasan, dan kultur organisasi yang cenderung melihat warga sipil sebagai musuh, bukan sebagai masyarakat yang harus dilindungi."
Tuntutan reformasi kali ini terdengar lebih spesifik dan radikal. Publik tidak lagi puas dengan janji-janji perbaikan internal. Poin-poin utama yang disuarakan oleh aliansi masyarakat sipil antara lain: pertama, mengevaluasi total penggunaan kekuatan dan senjata dalam penanganan unjuk rasa. Kedua, membentuk sebuah badan pengawas eksternal yang independen dan memiliki wewenang untuk menyelidiki dan menuntut oknum aparat yang melanggar hukum, di luar mekanisme Propam dan Inspektorat.
Namun, yang paling mengejutkan adalah meluasnya tuntutan pembubaran Densus 88. Satuan elite yang dibentuk untuk memerangi terorisme ini kini menjadi sasaran kemarahan publik. Alasannya, Densus 88 dianggap telah mengalami "mission creep" atau pergeseran misi yang berbahaya. Keterlibatan mereka dalam pengamanan unjuk rasa, yang notabene adalah aktivitas sipil, dipertanyakan. Peralatan dan taktik tempur yang mereka miliki dianggap tidak proporsional dan sangat berbahaya jika digunakan untuk menghadapi demonstran.
"Mengapa Densus 88 yang diturunkan untuk menghadapi mahasiswa dan buruh? Apakah negara sudah menganggap para pengunjuk rasa ini sebagai teroris?" tanya seorang aktivis dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). "Ini adalah penyalahgunaan wewenang yang fatal. Densus dibentuk dengan dana besar dan dilatih untuk perang asimetris melawan teroris, bukan untuk mengendalikan massa. Ketika mereka diturunkan ke jalanan, cara pandang mereka terhadap massa aksi pun menjadi berbeda, dan hasilnya adalah tragedi seperti yang menimpa Affan."
Pakar kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menjelaskan bahwa pelibatan satuan non-organik seperti Densus dalam tugas-tugas polisional umum adalah gejala dari masalah yang lebih dalam. "Ini menunjukkan adanya kepanikan dan kegagalan fungsi intelijen dalam memetakan potensi ancaman. Alih-alih melakukan pendekatan persuasif, aparat justru memilih jalan pintas dengan pengerahan kekuatan maksimal, yang pada akhirnya justru kontraproduktif dan memicu eskalasi kekerasan," jelasnya.
Menanggapi gelombang tuntutan ini, pihak Mabes Polri menyatakan telah membentuk tim investigasi khusus untuk mengusut tuntas kasus kematian Affan Kurniawan. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol. Sandi Nugroho, berjanji bahwa proses hukum akan berjalan transparan dan akuntabel. "Bapak Kapolri telah memerintahkan agar kasus ini diusut sampai tuntas tanpa ada yang ditutup-tutupi. Siapa pun yang bersalah, akan ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku," ujar Sandi.
Terkait tuntutan pembubaran Densus 88, Polri menegaskan bahwa peran satuan tersebut masih sangat vital dalam menjaga negara dari ancaman terorisme. Namun, mereka menyatakan akan melakukan evaluasi internal terkait prosedur pengerahan pasukan dalam situasi unjuk rasa.
Meski demikian, janji-janji tersebut disambut skeptis oleh publik. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak kasus kekerasan aparat yang berakhir tanpa kejelasan hukum yang memuaskan bagi korban dan keluarganya. Kini, tekanan ada di pundak pemerintah dan DPR untuk merespons tuntutan reformasi ini secara serius. Jika tidak, tragedi Affan Kurniawan tidak hanya akan menjadi catatan kelam dalam sejarah demokrasi Indonesia, tetapi juga akan terus menjadi api dalam sekam yang siap membakar habis sisa-sisa kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukumnya. Peristiwa ini telah menjadi referendum tidak resmi atas kinerja Polri, dan hasilnya menunjukkan bahwa rakyat menuntut perubahan yang fundamental, bukan sekadar perbaikan kosmetik.