Jakarta - Di saat api amarah berkobar di jalanan dan gas air mata menyesakkan pernapasan, sebuah perang lain yang tak kalah berbahayanya berlangsung senyap di genggaman jutaan orang: perang informasi. Di tengah gelombang demonstrasi besar yang mengguncang stabilitas nasional, ruang digital Indonesia, khususnya media sosial dan aplikasi pesan instan, dibanjiri oleh tsunami hoaks, disinformasi, dan narasi provokatif yang dirancang secara sistematis untuk memperkeruh suasana, mengadu domba, dan membakar emosi publik.
Salah satu hoaks yang paling viral dan memiliki dampak destruktif adalah kabar tentang pembakaran rumah dinas Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak, dan penjarahan total kediaman pribadi Menkeu Sri Mulyani. Kabar ini menyebar dengan kecepatan kilat, lengkap dengan foto-foto dan video bangunan terbakar yang diambil dari konteks yang sama sekali berbeda—beberapa di antaranya bahkan berasal dari peristiwa kerusuhan di negara lain bertahun-tahun lalu.
Narasi yang dibangun sangat provokatif: massa yang marah telah menyerang simbol-simbol negara dan pejabat tinggi. Hoaks ini tidak hanya memicu kepanikan, tetapi juga kebencian. Di satu sisi, ia memvalidasi kemarahan sebagian kelompok masyarakat. Di sisi lain, ia memancing reaksi keras dari kelompok pro-pemerintah, menciptakan polarisasi yang semakin tajam di dunia maya. Butuh waktu berjam-jam bagi pihak berwenang dan keluarga terkait, seperti Arumi Bachsin, istri Emil Dardak, untuk mengeluarkan bantahan resmi dan mengklarifikasi bahwa kabar tersebut adalah kebohongan total. Namun, layaknya api, meski sumbernya telah dipadamkan, asapnya telah menyebar luas dan kerusakannya telah terjadi.
Pakar forensik digital, Ruby Alamsyah, menjelaskan bahwa apa yang terjadi bukanlah sekadar penyebaran berita bohong biasa. "Jika kita analisis polanya, ini adalah sebuah operasi disinformasi yang terkoordinasi. Bukan lagi kerjaan iseng satu-dua orang," ujar Ruby. "Kita melihat penggunaan jaringan akun-akun bot dan buzzer yang secara bersamaan menyebarkan narasi yang sama dalam waktu singkat. Tujuannya jelas, yaitu information laundering—mencuci informasi bohong hingga terlihat seperti kebenaran karena disuarakan oleh banyak akun."
Selain hoaks pembakaran rumah pejabat, jenis disinformasi lain yang marak beredar adalah:
- Narasi Penggantian Aktor: Muncul video dan foto yang menarasikan bahwa korban tewas, Affan Kurniawan, bukanlah pengemudi ojek online, melainkan seorang provokator bayaran. Atau sebaliknya, bahwa oknum aparat Brimob yang terlibat dalam insiden tersebut telah "diganti" atau "diamankan" untuk menghilangkan jejak. Narasi ini bertujuan untuk mendelegitimasi status korban dan mengaburkan fakta kejadian.
- Keterlibatan Tokoh Tertentu: Nama-nama besar seperti pengusaha Riza Chalid dan beberapa tokoh politik oposisi secara masif dituding sebagai penyandang dana utama kerusuhan. Tuduhan ini seringkali disebarkan tanpa bukti konkret, hanya berdasarkan "cocoklogi" dan potongan informasi yang tidak utuh, dengan tujuan membentuk persepsi publik dan mengarahkan kambing hitam.
- Provokasi Berbasis SARA: Yang paling berbahaya adalah munculnya konten-konten yang mengaitkan kerusuhan dengan sentimen suku, agama, dan ras. Beredar seruan-seruan untuk menyerang kelompok etnis tertentu yang dianggap mendominasi ekonomi, sebuah upaya jahat untuk mengubah kerusuhan sosial-politik menjadi konflik horizontal.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengaku kewalahan menghadapi badai disinformasi ini. Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan "take down" ribuan konten hoaks dan provokatif setiap harinya. Namun, ia mengakui bahwa kecepatan produksi hoaks jauh lebih tinggi daripada kemampuan pemerintah untuk membersihkannya.
"Ini seperti permainan kucing dan tikus. Satu akun kami blokir, seribu akun baru muncul. Kami butuh kerja sama dari semua pihak, terutama platform media sosial untuk lebih proaktif, dan yang terpenting adalah literasi digital dari masyarakat itu sendiri," kata Budi Arie.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menyerukan agar publik lebih waspada dan tidak mudah terpancing emosi. Mereka menyarankan langkah-langkah sederhana namun efektif: saring sebelum sharing. "Jika Anda menerima informasi yang terlalu heboh, terlalu provokatif, atau terdengar luar biasa, berhentilah sejenak. Cek dulu kebenarannya di media-media arus utama yang kredibel. Jangan ikut-ikutan menyebar hanya karena sesuai dengan emosi atau pandangan politik Anda," ujar salah seorang presidium Mafindo.
Perang informasi ini menunjukkan betapa rentannya ekosistem digital Indonesia. Ia telah menjadi medan pertempuran baru di mana kebenaran menjadi korban pertama. Dampaknya jauh melampaui kebingungan sesaat; ia merusak tatanan sosial, mengikis kepercayaan, dan dapat memicu kekerasan di dunia nyata. Di tengah upaya aparat memadamkan api di jalanan, tugas yang tak kalah penting bagi seluruh elemen bangsa adalah memadamkan api fitnah di dunia maya, karena dari sanalah seringkali bensin disiramkan ke dalam konflik yang sebenarnya. Krisis kali ini menjadi pengingat pahit bahwa di era digital, jari bisa lebih tajam dari pedang dan sebuah kebohongan, jika diulang-ulang, bisa menjelma menjadi kebenaran yang mengerikan.