Polri Bentuk Tim Khusus, Buru Aktor Intelektual dan Aliran Dana di Balik Kerusuhan Nasional


Jakarta - Di tengah upaya meredam gejolak sosial yang melanda sejumlah kota besar, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) mengambil langkah ofensif dengan mengumumkan pembentukan tim khusus untuk memburu para "aktor intelektual" yang diduga menjadi dalang, penyandang dana, dan penggerak kerusuhan massal. Pernyataan tegas ini disampaikan langsung oleh Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, yang mengindikasikan bahwa negara tidak akan lagi mentolerir pihak-pihak yang menunggangi aksi unjuk rasa untuk agenda tersembunyi yang bertujuan mendelegitimasi pemerintah dan menciptakan kekacauan.

Langkah ini diambil setelah evaluasi mendalam terhadap pola kerusuhan yang terjadi serentak di beberapa wilayah. Polri mengklaim telah menemukan adanya indikasi kuat bahwa aksi anarkis yang terjadi bukanlah peristiwa spontan, melainkan sebuah gerakan yang terencana, terstruktur, dan sistematis. Tim khusus yang dibentuk ini merupakan gabungan dari berbagai fungsi di kepolisian, mulai dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam), hingga Direktorat Tindak Pidana Siber.

"Kami melihat adanya sebuah pola yang sama dalam eskalasi kekerasan di beberapa titik. Ada kelompok-kelompok tertentu yang datang bukan untuk menyampaikan aspirasi, melainkan untuk memprovokasi dan menciptakan bentrokan dengan aparat," ujar Kapolri dalam sebuah keterangan pers pada Senin, 1 September 2025. "Tugas tim ini adalah untuk mengungkap siapa otaknya, siapa yang mendanai, dan bagaimana mereka mengorganisir massa. Kami akan kejar sampai ke akarnya."

Fokus utama tim ini terbagi menjadi dua. Pertama, melakukan penyelidikan konvensional di lapangan. Ini mencakup pemeriksaan intensif terhadap ratusan provokator yang telah ditangkap, menelusuri afiliasi mereka, dan memetakan jaringan komunikasi di antara para koordinator lapangan. Polisi juga akan mendalami temuan-temuan di lokasi kejadian, seperti bom molotov, batu, dan senjata tajam yang disiapkan secara massal, yang dianggap sebagai bukti adanya perencanaan.

Kedua, dan yang tak kalah penting, adalah penelusuran di dunia maya. Tim siber ditugaskan untuk melacak aliran dana melalui transaksi keuangan yang mencurigakan, serta membedah lalu lintas komunikasi di aplikasi pesan instan dan media sosial. Mereka akan mencari simpul-simpul penyebar hoaks, narasi provokatif, dan instruksi-instruksi pergerakan massa yang disebarkan secara terorganisir.

Pengamat intelijen dan keamanan, Ridlwan Habib, menilai bahwa langkah Polri ini sudah tepat, namun ia mengingatkan akan tantangan besar yang dihadapi. "Membuktikan adanya aktor intelektual dalam sebuah kerusuhan sosial itu sangat sulit. Pelakunya cerdas, mereka seringkali menggunakan banyak lapisan (cut-out) untuk memutus jejak, sehingga para eksekutor di lapangan tidak pernah tahu siapa yang berada di puncak komando," jelas Ridlwan.

Menurutnya, tim khusus ini harus mampu membedakan antara tiga kelompok yang ada di dalam aksi: massa murni yang tulus menyuarakan aspirasi, kelompok anarkis oportunis yang hanya ikut-ikutan, dan kelompok terorganisir yang memang memiliki agenda politik. "Kesalahan dalam mengidentifikasi bisa berakibat fatal. Jika Polri salah tangkap atau menuduh tanpa bukti yang kuat, itu justru akan menjadi bumerang dan memicu kemarahan publik yang lebih besar," tambahnya.

Spekulasi mengenai siapa dalang di balik kerusuhan ini pun berkembang liar di masyarakat. Beberapa narasi yang beredar menuding adanya keterlibatan elite politik lama yang tidak puas dengan hasil pemilu, kelompok bisnis hitam yang kepentingannya terganggu oleh kebijakan pemerintah baru, hingga campur tangan kekuatan asing yang ingin mengdestabilisasi Indonesia.

Pemerintah sendiri, melalui Menko Polhukam, telah memberikan sinyal bahwa mereka mengantongi beberapa nama yang dicurigai. "Intelijen kita sudah bekerja dan mendeteksi adanya gerakan-gerakan ini jauh-jauh hari. Kita punya datanya, tinggal menunggu pembuktian hukum saja," ujar Menko Polhukam tanpa merinci lebih jauh.

Pernyataan ini langsung menuai kritik dari kalangan aktivis demokrasi. Mereka khawatir narasi "aktor intelektual" ini akan dijadikan sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis dan mendelegitimasi gerakan rakyat yang murni. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengingatkan agar aparat tidak menggunakan pendekatan represif yang membabi buta.

"Pemerintah dan Polri harus hati-hati. Jangan sampai isu adanya 'penunggang gelap' ini dijadikan pembenaran untuk memberangus kebebasan berpendapat dan menyalahkan korban," tegas Usman. "Fokus utama seharusnya adalah menjawab substansi tuntutan para demonstran, yaitu masalah kesejahteraan, keadilan, dan arogansi kekuasaan. Jika akar masalah itu tidak diselesaikan, maka akan selalu ada ruang bagi siapa pun untuk 'menunggangi' ketidakpuasan rakyat."

Kini, tim khusus Polri memanggul beban pembuktian yang sangat berat. Keberhasilan mereka dalam mengungkap jaringan dalang kerusuhan tidak hanya akan menjadi kemenangan bagi penegakan hukum, tetapi juga dapat menjadi kunci untuk memulihkan stabilitas nasional. Namun, kegagalan atau kesalahan langkah dalam prosesnya justru berisiko memperdalam krisis kepercayaan dan menyeret Indonesia ke dalam pusaran konflik sosial yang lebih rumit. Seluruh mata kini tertuju pada kerja senyap tim ini, menanti jawaban atas pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang menari di balik layar kekacauan ini?

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama