Sebuah bisikan yang tak pernah benar-benar hilang dari lorong-lorong kekuasaan di Indonesia adalah soal darurat militer. Ia serupa hantu dari masa lalu yang sesekali muncul dalam perdebatan publik, terutama ketika suhu politik memanas, konflik horizontal mengancam, atau ketika negara terasa gamang menghadapi pemberontakan bersenjata di salah satu sudut wilayahnya. Pertanyaan "akankah Indonesia darurat militer?" bukan sekadar spekulasi kosong. Ia adalah pertanyaan tentang sejauh mana demokrasi kita telah berakar, seberapa kuat supremasi sipil kita, dan seberapa besar godaan untuk kembali ke cara-cara lama dalam menyelesaikan masalah bangsa.
Bagi generasi yang lahir setelah Reformasi 1998, istilah "darurat militer" mungkin terdengar seperti gema dari buku sejarah—sebuah konsep usang dari era Orde Baru yang represif. Namun, bagi mereka yang menyaksikan langsung masa-masa itu, darurat militer adalah memori kolektif tentang jam malam, kebebasan pers yang dibungkam, aktivis yang hilang, dan sepatu lars yang menggema lebih keras daripada suara rakyat.
Artikel ini tidak bertujuan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk melakukan sebuah otopsi intelektual. Kita akan membedah kerangka hukum yang mengatur keadaan bahaya di Indonesia, menelusuri jejak-jejak sejarah di mana negara pernah memberlakukan kebijakan serupa, menganalisis potensi-potensi pemicu di era modern yang bisa mendorong opsi ini ke meja presiden, serta menimbang konsekuensi berat yang harus ditanggung jika pilihan itu benar-benar diambil. Ini adalah perjalanan untuk memahami sebuah pilihan kebijakan paling ekstrem yang bisa diambil oleh sebuah negara.
Apa Sebenarnya Darurat Militer? Membedah Kerangka Hukum
Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus memahami bahwa "darurat militer" bukanlah kebijakan yang bisa diambil sembarangan. Ia memiliki dasar hukum yang jelas, meskipun beberapa kalangan menganggapnya usang dan perlu direformasi. Landasan utamanya tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang."
Pasal ini memberikan kewenangan tunggal kepada Presiden, namun ia tidak absolut. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, sebuah produk hukum dari era Demokrasi Terpimpin yang masih berlaku hingga hari ini. UU inilah yang menjadi "kitab suci" bagi setiap presiden yang mempertimbangkan untuk menyatakan keadaan darurat.
Menurut UU No. 23/1959, ada tiga tingkatan keadaan bahaya:
- Darurat Sipil: Ini adalah tingkatan terendah. Diumumkan ketika keamanan atau ketertiban hukum di suatu wilayah terganggu oleh pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam yang tidak dapat diatasi oleh aparat kepolisian biasa. Wewenang tertinggi berada di tangan penguasa darurat sipil, biasanya gubernur atau bupati/walikota, meskipun mereka tetap berkoordinasi dengan komandan militer setempat. Kewenangan yang diberikan mencakup pembatasan acara publik, pemeriksaan properti, hingga pembatasan penggunaan fasilitas tertentu.
- Darurat Militer: Ini adalah tingkatan yang jauh lebih serius. Dinyatakan jika ancaman—seperti pemberontakan bersenjata atau perang—sudah tidak mungkin dihadapi dengan kekuatan sipil dan kepolisian. Pada tahap ini, kekuasaan tertinggi di wilayah tersebut beralih ke tangan Penguasa Darurat Militer, yang merupakan seorang perwira tinggi TNI. Kekuasaannya sangat luas, meliputi:
- Mengatur atau melarang publikasi dan media.
- Memberlakukan jam malam.
- Membatasi atau melarang orang bepergian.
- Menyita properti untuk kepentingan pertahanan.
- Mengadili pelanggaran peraturan darurat di pengadilan militer, bahkan bagi warga sipil.
- Keadaan Perang: Ini adalah tingkatan tertinggi, yang dinyatakan ketika Indonesia menghadapi agresi militer dari negara lain. Seluruh kekuatan negara, baik sipil maupun militer, dikerahkan untuk perang.
Kunci utama dari sistem ini adalah peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun Presiden yang menyatakan keadaan bahaya, jika DPR tidak bersidang, Presiden harus segera memanggil DPR untuk bersidang. Jika DPR menolak atau tidak menyetujui pernyataan keadaan bahaya tersebut, maka Presiden harus mencabutnya. Ini adalah mekanisme check and balance yang dirancang untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif.
Pakar hukum tata negara dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, sering menekankan bahwa UU ini sangat rentan disalahgunakan karena memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada militer atas sipil. "Undang-undang ini adalah produk zaman otoriter. Ia memberikan cek kosong kepada militer untuk menangguhkan hak-hak sipil yang fundamental. Dalam konteks demokrasi modern, ini sangat berbahaya," ujarnya dalam sebuah diskusi publik.
Jejak Sejarah—Ketika Sepatu Lars Mengatur Negeri
Untuk memahami betapa seriusnya darurat militer, kita harus menengok ke belakang. Indonesia memiliki sejarah panjang dan kelam terkait penerapan kekuasaan militer atas sipil, baik secara de jure (resmi) maupun de facto (dalam praktik).
Era Orde Lama dan Pemberontakan Daerah: Pada tahun 1950-an, Presiden Soekarno beberapa kali menetapkan "Keadaan Perang" (Staat van Oorlog en Beleg - SOB) di berbagai daerah untuk menumpas pemberontakan seperti PRRI/Permesta dan DI/TII. Kebijakan ini memberikan legitimasi bagi tentara untuk melakukan operasi militer skala besar dan memegang kendali pemerintahan di daerah-daerah tersebut. Ini adalah awal dari menguatnya peran militer dalam politik dan pemerintahan di Indonesia.
Tragedi 1965 dan Lahirnya Orde Baru: Meskipun bukan darurat militer dalam terminologi UU 1959, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) secara efektif memberikan Jenderal Soeharto kekuasaan tak terbatas untuk "memulihkan keamanan dan ketertiban". Dengan mandat ini, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap menteri-menteri yang loyal kepada Soekarno, dan secara bertahap mengambil alih kekuasaan. Ini adalah contoh bagaimana sebuah mandat keamanan dapat digunakan sebagai kendaraan untuk transisi kekuasaan yang berujung pada rezim otoriter selama 32 tahun. Di bawah Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dilembagakan, yang menempatkan militer tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik.
DOM di Aceh dan Papua: Praktik paling brutal dari kekuasaan militer terjadi melalui status Daerah Operasi Militer (DOM) yang diterapkan di Aceh (1989-1998) dan juga secara tidak resmi di Papua. DOM bukanlah status darurat militer formal, melainkan sebuah kebijakan keamanan internal yang memberikan keleluasaan luar biasa bagi TNI untuk memberantas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hasilnya adalah periode kekerasan sistematis, penghilangan paksa, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum. Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ribuan kasus pelanggaran HAM berat selama periode ini. DOM di Aceh baru dicabut oleh Presiden B.J. Habibie pada tahun 1998 setelah tekanan publik yang masif pasca-Reformasi.
Darurat Militer di Aceh (2003-2004): Ini adalah contoh paling modern dan paling relevan dari penerapan darurat militer secara resmi di Indonesia. Pada 19 Mei 2003, setelah perundingan damai dengan GAM di Tokyo gagal, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan status Darurat Militer di Nanggroe Aceh Darussalam melalui Keppres No. 28/2003.
Selama setahun, Aceh menjadi zona tertutup. Jurnalis asing dilarang masuk, aktivis lokal diawasi ketat, dan operasi militer besar-besaran dilancarkan. Panglima Komando Operasi saat itu diberi wewenang untuk melakukan penggeledahan, penangkapan, dan pembatasan pergerakan penduduk. Menurut laporan Human Rights Watch berjudul "Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War", periode ini diwarnai oleh peningkatan tajam kasus pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penangkapan sewenang-wenang.
Meskipun pemerintah mengklaim operasi ini berhasil melumpuhkan kekuatan militer GAM, biayanya sangat mahal—baik dari segi anggaran negara maupun korban jiwa dan penderitaan rakyat sipil. Darurat militer ini kemudian diturunkan statusnya menjadi Darurat Sipil pada Mei 2004, sebelum akhirnya proses damai kembali dimulai pasca-bencana tsunami dahsyat pada Desember 2004.
Sejarah ini memberikan pelajaran pahit: setiap kali militer diberi kekuasaan atas sipil, ongkos kemanusiaan dan demokrasinya sangatlah tinggi.
Potensi Pemicu di Era Modern—Api dalam Sekam
Lalu, apa yang bisa mendorong Indonesia kembali ke jurang darurat militer di masa sekarang? Beberapa skenario, meskipun tidak kita harapkan, memiliki potensi untuk menjadi pemicu.
1. Eskalasi Konflik Bersenjata di Papua: Ini adalah skenario yang paling sering diperbincangkan. Konflik antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) terus memanas. Serangan terhadap warga sipil, pekerja konstruksi, dan aparat keamanan semakin sering terjadi. Pemerintah telah melabeli kelompok ini sebagai "kelompok teroris", sebuah langkah yang memberikan justifikasi hukum untuk penindakan yang lebih keras.
Jika TPNPB-OPM berhasil menguasai sebuah wilayah secara signifikan atau melakukan serangan skala besar yang melumpuhkan pemerintahan sipil di sebuah kabupaten, tekanan publik dan politik bagi pemerintah pusat untuk mengambil tindakan "luar biasa" akan meningkat. Opsi darurat militer di satu atau beberapa kabupaten di Papua bisa menjadi pilihan yang dianggap paling cepat untuk memulihkan kendali.
Namun, Al Araf, Direktur Imparsial, sebuah LSM yang fokus pada isu hak asasi dan keamanan, mengingatkan bahayanya pendekatan ini. "Menetapkan darurat militer di Papua hanya akan mengulang kegagalan di Aceh. Itu akan menyuburkan spiral kekerasan, memperdalam luka kolektif rakyat Papua, dan mempersulit jalan menuju dialog damai yang sejati. Ini adalah solusi jangka pendek yang menciptakan masalah jangka panjang," katanya.
2. Ketidakstabilan Politik Pasca-Pemilu: Pemilihan umum di Indonesia selalu berisiko tinggi. Polarisasi politik yang tajam, penyebaran hoaks dan disinformasi, serta mobilisasi massa yang dimotori oleh elite politik dapat menciptakan situasi yang rawan. Bayangkan skenario di mana hasil pemilu presiden ditolak oleh salah satu kubu, yang kemudian mengerahkan jutaan pendukungnya ke jalan. Jika protes ini berlangsung berhari-hari, melumpuhkan ibu kota, dan berujung pada kerusuhan massal yang tidak bisa dikendalikan oleh Polri, Presiden yang berkuasa akan berada di bawah tekanan besar.
Dalam situasi seperti itu, bisikan untuk "menurunkan tentara" dan memberlakukan Darurat Sipil atau bahkan Darurat Militer di ibu kota bisa datang dari lingkaran kekuasaan. Tujuannya adalah untuk membubarkan massa dan memulihkan stabilitas dengan cepat. Namun, langkah ini akan sangat kontroversial dan bisa dianggap sebagai cara untuk membungkam oposisi politik, yang pada akhirnya akan mencederai demokrasi itu sendiri.
3. Krisis Ekonomi yang Memicu Kerusuhan Sosial: Sejarah Indonesia mencatat bahwa krisis ekonomi seringkali menjadi ibu dari kerusuhan sosial. Krisis moneter 1997-1998 yang memicu inflasi tak terkendali dan PHK massal adalah pemicu utama gerakan Reformasi yang menumbangkan Orde Baru.
Di masa depan, kombinasi dari kenaikan harga bahan pokok yang ekstrem, kelangkaan energi, dan tingkat pengangguran yang meroket dapat memicu kemarahan publik. Demonstrasi yang awalnya damai bisa berubah menjadi penjarahan dan perusakan fasilitas umum. Jika skala kerusuhan ini terjadi serentak di beberapa kota besar dan melampaui kapasitas kepolisian, pemerintah mungkin melihat darurat militer sebagai satu-satunya cara untuk mencegah negara jatuh ke dalam anarki.
4. Ancaman Terorisme Skala Besar: Meskipun kekuatan kelompok teroris di Indonesia telah banyak dilemahkan oleh Densus 88, ancaman "serangan spektakuler" tidak pernah hilang. Sebuah serangan teroris yang terkoordinasi di beberapa lokasi strategis—mirip dengan serangan Mumbai 2008 atau Paris 2015—dapat menciptakan kepanikan nasional dan melumpuhkan aktivitas ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, darurat militer bisa diberlakukan dengan dalih untuk memburu jaringan teroris secara lebih leluasa dan memberikan rasa aman kepada publik.
Konsekuensi—Harga yang Terlalu Mahal untuk Dibayar
Jika salah satu skenario di atas menjadi kenyataan dan Presiden memutuskan untuk menekan "tombol nuklir" kebijakan ini, apa konsekuensinya bagi Indonesia?
1. Penangguhan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia: Ini adalah konsekuensi yang paling langsung dan paling pasti. Begitu darurat militer berlaku, banyak hak sipil yang kita nikmati akan ditangguhkan. Kebebasan berekspresi akan dibatasi, media akan disensor, hak untuk berkumpul akan dicabut, dan privasi individu akan dilanggar atas nama keamanan. Institusi peradilan sipil akan dilemahkan, digantikan oleh peradilan militer yang seringkali tidak transparan dan akuntabel. Ini adalah langkah mundur yang sangat besar bagi demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah selama lebih dari dua dekade.
2. Potensi Pelanggaran HAM Berat yang Sistematis: Sejarah membuktikan bahwa ketika militer diberi kekuasaan tanpa pengawasan yang memadai, pelanggaran HAM akan meningkat. Dengan dalih menumpas musuh negara, aparat di lapangan bisa bertindak represif terhadap siapa pun yang dicurigai sebagai lawan. Warga sipil yang tidak bersalah seringkali menjadi korban salah tangkap, penyiksaan, atau bahkan pembunuhan. Trauma kolektif yang dihasilkan dari kekerasan negara ini akan bertahan selama beberapa generasi.
3. Dampak Ekonomi yang Merusak: Pemberlakuan darurat militer akan menjadi sinyal bahaya bagi investor domestik dan internasional. Ketidakpastian politik dan keamanan akan membuat mereka menahan investasi atau bahkan menarik modalnya keluar dari Indonesia (capital flight). Sektor pariwisata akan hancur, perdagangan akan terganggu, dan pertumbuhan ekonomi akan anjlok. Pada akhirnya, rakyat kecillah yang akan menanggung beban terberat dari krisis ekonomi yang diakibatkannya.
4. Isolasi Diplomatik dan Citra Buruk di Mata Internasional: Di era keterbukaan informasi, dunia akan mengawasi dengan cermat. Pemerintah yang memberlakukan darurat militer akan menghadapi kecaman keras dari negara-negara demokratis, PBB, dan organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional. Indonesia bisa dianggap sebagai negara paria, yang akan merusak posisi diplomatik dan pengaruh kita di kancah global.
Sebuah Pilihan yang Harus Dihindari
Jadi, mungkinkah Indonesia kembali ke era darurat militer? Secara hukum, kemungkinannya ada. Kerangka hukumnya tersedia, dan potensi pemicunya nyata, meskipun bersifat laten. Namun, pertanyaannya bukanlah "mungkinkah?", melainkan "haruskah?".
Jawabannya adalah tidak. Darurat militer adalah jalan pintas yang menawarkan ilusi solusi cepat, tetapi pada kenyataannya ia adalah racun bagi demokrasi dan hak asasi manusia. Ia mengobati gejala penyakit (ketidakstabilan) dengan cara membunuh pasiennya (demokrasi). Pengalaman sejarah, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, menunjukkan bahwa solusi keamanan yang militeristik hampir selalu gagal menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Sebaliknya, ia justru melanggengkan konflik dan menabur benih kebencian baru.
Jalan ke depan bagi Indonesia bukanlah dengan memperkuat opsi-opsi represif, melainkan dengan memperkuat fondasi demokrasi itu sendiri: supremasi hukum yang berkeadilan, institusi sipil yang kuat dan akuntabel (terutama Kepolisian), dialog yang inklusif untuk menyelesaikan konflik, serta pembangunan ekonomi yang merata untuk mengurangi ketimpangan sosial.
Ancaman terhadap keamanan nasional itu nyata, tetapi melawannya dengan menanggalkan prinsip-prinsip demokrasi adalah sebuah kekalahan dari awal. Bangsa ini telah membayar terlalu mahal untuk keluar dari cengkeraman otoritarianisme. Kembali lagi ke jalan itu, atas alasan apa pun, adalah sebuah pengkhianatan terhadap cita-cita Reformasi dan masa depan generasi yang akan datang. Darurat militer harus tetap menjadi hantu masa lalu, bukan pilihan untuk masa depan.
Mantap, terimakasih informasinya
BalasHapus